Rabu, 11 Mei 2011

Catatan Perjalanan


             Rinai hujan menyuruk ranah. Debu bergegas menyingkir seolah tak ingin menjadi penghalang antara rinai hujan dan ranah yang hendak menandaskan rindu. Semilir angin menyapa denagn lembut. Dedaunan pun riang menari-nari. Seakan tak mau ketinggalan momentum. Dinding udara menembus dingin. Sementara aku masih berdiri di tepi daun pintu menanti bunda pulang.

Hari ini ada janji yang harus segera ditunaikan. Janji untuk bersua dengan mereka, keluargaku. Sudah seminggu kami tak bertatap muka hingga mencuat rindu dalam benak. Kami akan melingkar di istana Dina.

Hati semakin tercengkram gelisah. Sebab bunda belum jua pulang. Hujan pun belum reda. Justru menggila semakin deras. Sedangkan jarum jam telah berada di angka dua. Kaki nan mulai mengeluh sedari tadi berdiri tegak di bibir pintu. Kuseret bangku dari ruang tamu menuju pintu. Lalu merebahkan badan di atas bangku sambil membaca sebuah novel, guna menguburkan gulana dan membunuh waktu. Segurat senyuman terlukis dari wajahku ketika bunda telah tiba di rumah dan hujau turut reda. Hanya jarum-jarum halus yang masih terserak.

Tanpa mencecerkan waktu, aku dan bang Aan menyusuri badan jalan stasiun dengan mengendarai sepeda motor.kami pun membelah gerimis dan kuberharap esok penyakit tidak menyerbu tubuh ini. Jalan tampak tenang tak ada kendaraan yang melintas. Selain suara sepeda motorkami yang menggeming ruang jalanan. Padahal hari ini adalah hari libur. Meskipun sisi kiri-kanan jalan dihiasi pemakaman tionghoa dan di tengah ruas kiri tersisip pemakaman umat islam. Tak berarti jalanan  ini sesunyi ini. Justru sebaliknya jalanan ini banyak dilintasi berbagai macam kendaraan mulai dari truk pengakut pasir sampai kendaraan beroda dua.

Tiba-tiba aroma tak sedap merayap di dinding hidungku  walau tanpa permisi terlebih dahulu. Ternyata di ruas kanan jalan ada tumpukkan sampah yang menjulang tinggi. Segala macam bau bercampur jadi satu. Melahirkan bau yang membinasakan ruang udara. Sedangkan di depannya ada sebuah kafe berpagar tepas dan di sampingnya ada permukiman penduduk yang tak layak lagi dihuni. Mirisnya hatiku melihat ini semua. Bagaimana mereka bisa hidup di tempat ini. Berada di tengah bau yang menyesakkan rongga paru. Ditambah banyak bibit penyakit yang kapan pun bisa mengancam mereka. Apakah tanah di kota Medan sudah tak cukup untuk menampung mereka? Mungkin jawabnya ya. Sekarang tanah Medan telah dikikis oleh gedung-gedung yang lantang berdiri tinggi di angkasa. Entahlah, namun, itu realitanya.

Aku masih berada di atas sepeda motor. Kami melewati jembatan kecil sungai batuan. Biasanya ayah sering mencuci sepeda motornya di sini. Di sekitar sungai terdapat kolam ikan yang cukup banyak. Kalau sang mentari telah hampir menutup tirainya, tempat ini akan menjadi lautan manusia. Kesibukkan pun tergambar jelas saat para pemancing membuat perangkap untuk ikan buruan mereka.

Sepeda motor terus melaju hingga tercegat di persimpangan Marendal. Akibat lalu lintas mendadak macet. Butir halus air masih setia mengiringi kami. Udara pun menyaup dingin yang semakin membuatku beku. Kukeluarkan jaket merah dari dalam tas untuk mencari kehangatan.

Deretan kendaraan harus bersabar dalam antrian. Untung kendaraan kami si bentuk mungil. Jadi tidak perlu lama-lama terjerembab dalam kemacetan. Ternyata kemacetan dipicu adanya kecelakaan mobil kijang dan truk. Kepala kijang remuk sedangkan kepala truk hanya sedikit penyot. Dua orang penghuni kijang tewas di tempat. Supir truk hanya mengalami luka-luka. Sirine ambulan pun datang membawa korban kecelakaan itu. Tempat Kejadian Perkara (TKP) telah di garis polisi. Dercak darah masih membekas di tempat itu.

Kami pun melewati persimpangan Marendal lalu menyisir jalan kongsi hingga tiba di persimpangan tiga. Di hadapan kami terbentang jalan Patumbak. Namun, kebingungan melilit diriku. Harus ke manakah kami berarah, kiri atau kanan. Maklum ini baru pertama kalinya aku ke rumah Dina. Aku pun bertanya dengan seseorang wanita paruh baya.
            “Maaf bu, numpang tanya. Kira-kira  sekolah MAN sudah lewat apa belum bu?”
            “Belum dik, sekolah MAN ada di sana. Masih jauh dari sini”
            “O… makasih ya bu.”

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Menyisir jalan Patumbak. Anehnya di tengah perjalanan aku bertemu dengan sesuatu. Dia mengikuti jejak sepeda motor kami.
            “ Eh... ngapai kamu di rokku. “
            “ Aku ingin ikut denganmu. “
            “ Ah ! ikut ? “
            “ Ya, aku mau ikut sama kamu. Aku gak mau berada di jalan ini. “
            “ Tapi…”
            “ Aku mohon. Izinkan aku berada di rokmu. “
            “ Tapi, kamu udah ngotori rokku. “
            “ Sekali lagi aku mohon, izinkanlah aku di sini. “
            Aku pun tak kuasa menolak permintaannya. Kubiarkan ia tetap melekat di rokku. Tapi, setelah tiba di rumah Dina, aku akan segera mengusirnya. Sekalipun dia mengiba-iba padaku. Aku tetap mengusirnya. Untung saja, bang Aan tidak mendengar pembicaraanku denganya. Kalau tidak, bang Aan akan menertawakan diriku.
Tak lama kemudian, kami melewati sekolah MAN, berarti  sebentar lagi kami akan tiba di rumah Dina. Aku senang sekali  karena sebentar lagi kuakan mengusir mereka yang sedari tadi tidak merekahkan genggaman dari rokku. Lama namun pasti kami tiba di rumah Dina.
            “ Assalammualaikum ! ” salamku memecah keseriusan mereka.
            “ Walaikumsalam ! ” jawab mereka serentak.
            “ Kok, pada aneh lihati aku. Ada apa sih ? “
            “ Itu, kenapa rokmu ? “ tanya Ula
            “ Yah ne, ada makhluk aneh yang maksa ikut ke sini. Mungkin ingin bertemu dengan Dina. “
            “Ah… ah… ah… “ tawa merekah.
            “ Kalau gitu sekalian aja ikut melingkar. “ tambah kak Indri
            “Oh tidak bisa. “  sambar Ula

Setelah menyalami semua keluargaku dan rindu pun sudah terkandaskan, aku langsung ke kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, kuusir dia  dari rokku tanpa sedikit pun mendengar tangisan Dia. Dasar Lumpur !
Dunia Koma, Februari 2011