Selasa, 11 Desember 2012

Ketika Cemburu Menyelinap



Ketika cemburu menyelinap di celah hati. Ada riak-riak amarah yang mengebu dan mengendap. Getar-getar yang bergemetar. Berhembus membisik dan menelisik relung. Retak-gemertak meretakkan jiwa berkeping-keping.
***
Han, seharusnya kau bersyukur karena dirimu memiliki otak ber-IQ tinggi. Tuhan menciptakanmu dengan kecerdasan dan wajah yang tampan pula. Siapa pun perempuan yang menatap mata sipitmu, pasti akan terpesona. Apabila jika kau sedang tersenyum, kedua lesung pipit itu akan terlihat jelas. Ya, sebuah senyuman yang karismatik.
Kau kerap mengisi acara seminar, perdebatan dan talk show keliling kota maupun ke luar negeri. Di usia yang masih terbilang muda, kau bisa dikatakan orang yang telah meraih kesuksesan.
Tetapi, kau memang lelaki yang sukar dijinakkan, terlebih dirimu –lelaki yang gemar berpetualang. Ya, kau-lah sang tualang. Entah sudah berapa banyak hati perempuan yang kau jelajahi. Kebiasaanmu itu adalah salah satu hal yang paling aku benci. Tak jarang hatiku terbakar cemburu. Bukan hanya sekali, tapi terlalu sering aku mencoba mengerti dan memahamimu.
Memang kuakui selama kau bersamaku, kau tak pernah mendua. Kau tidak mempermainkan hatiku. Tapi, aku tak percaya kalau kebiasaan buruk itu dapat langsung lenyap seketika. Tidak, tidak semudah itu untuk ber-metaformosis. Makanya setiap saat, aku mempelajari tentang dirimu, memahami karaktermu. Aku kerapkali menoleransi sifat-sifatmu yang membuat hati menggurutu. Namun, untuk sekali ini aku tak mampu menepisnya. Kau menunjukkan sikap yang berlebihan terhadap sahabatku sendiri.     
Ya, kau-lah sang idola yang kerap dikejar-kejar para penggemar. Setiap peluncuran buku terbarumu, mereka berduyun-duyun menggerumungi dirimu. Meminta segurat kalimat plus tandatangan dan foto bersama. Ada juga perempuan yang nekad mengajakmu dinner atau hanya sekadar jalan-jalan.
“Ra, bila Shah Jahan membangunkan Taj mahal untuk Arjumand Banu-nya, maka aku akan mempersembahkan seribu sajak hanya untukmu sebagai lambang kesetiaanku padamu.”
            “Kesetianmu hanya milik Tuhan bukan milikku. Janganlah kau menduakan-Nya. Cemburu-Nya lebih dan lebih daripada diriku. Oya ya, aku lupa bukankah hal itu merupakan hobimu?”
            “Jangan tuduh aku begitu! Aku bingung harus bagaimana lagi meyakinkan hatimu. Sudah seribu kali kukatakan aku ini uda berubah. Itu masa laluku.”
            “Tuduh? Tidak, aku tidak menuduhmu. Kau memang sang tualang yang ulung . Dan itu adalah sifatmu yang tak kan pernah bisa berubah kan?” ucapku nanar.
            “Ya, kau benar. Tapi, sekarang aku hanya berpetualang denganmu. Tidak ada yang lain.”
            “Oya.”
Bagiku kau bagaikan kupu-kupu, Han. Yang tiap perkembangannya harus selalu kupahami. Berawal dari kepompong dan akhirnya menjadi kupu-kupu yang indah. Lantas, kau terbang ke tempatku dengan warna sayap yang menawan.
Seperti embun yang basah. Setitik rasa menjelma segumpal rasa. Ada yang berdenyut dan bergelayut dalam relung. Hadirmu mengharmonisasikan perjalanan hidupku. Nada-nada bermelodi sederhana. Senar-senar berdenting nan lembut. Kau-lah lelaki yang mengisi ruang jiwa. Mewarnai hari dengan kuas merah muda.
Namun, aku tak pernah ada seutuhnya hadir dalam kehidupanmu. Mungkin kau pun dapat merasakannya. Aku tidak pernah melibatkan dirimu dalam urusan yang lain, kecuali urusan tentang hati. Sekalipun berada di kota asing ini.
Di sini –di tempat asing ini, aku hanya mengenalmu. Tak ada sanak saudara maupun teman yang menemaniku. Aku perempuan yang tak mau bergantung kepada orang lain termasuk dirimu. Ingat Han, tujuan utamaku berada di sini adalah belajar bukan karena kau. Maaf, bila kau merasa aku menduakanmu dengan segala macam kegiatanku.
“Ra, aku merasa kau tak pernah  memberi hatimu seutuhnya padaku. Kau mencicilnya, layaknya aku ini tukang kredit.” 
”Kalau aku memberimu secara cash, itu tidak sesuai dengan prinsip hidup cerdas. Hanya si idiot saja yang akan melakukannya.”
“Lantas, sampai kapan kau akan melunasinya?”
“Rasa itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Kau hanya perlu bersabar.”
“Ya, dan aku akan menangihnya setiap hari.”
“Baiklah sang kolektor.”
***
Gugusan awan berarak-arak di atas mobil berwarna hitam yang berjalan. Langit mengembang tirai mendung. Sama seperti sekelabu hatiku. Ah, kau lelaki pecemburu. Aku  tak menyangka, cemburumu lebih dari padaku. Dia sahabatmu bukan rivalmu, Han.   
Ya, memang betapa lucunya kau, Han. Ternyata sang tualang juga bisa cemburu dan marah-marah tak menentu. Bahkan sahabatmu terheran-heran melihat sikap anehmu itu. Seperti anak kecil yang merengek-rengek karena permintaannya tidak dituruti.
Akhirnya, sang tualang bertekuk letut jua. Sekarang kau tahu kan rasanya bagaimana? Rasa cemburu dan tak dihargai keberadaannya. Kau telah menggiris-iris hatiku. Dan aku melakukan hal yang sama padamu. Aku itu bayanganmu, apa yang kau lakukan itu yang akan kulakukan.
Jalanan yang berkelok-kelok dihiasi dengan deretan pohon pinus –berbaris rapi di sayap kiri-kanan yang mulus. Desau dedaunan mendesah menyusup ke relung yang meragu. Suara kicauan riang bernyanyi menyambut kedatanganku dan rombongan keluargamu, Han. Aroma sejuk yang kerap kurindukan tiap pagi.
Bukannya, aku tak ingin. Tapi, kau melakukan semua ini karena semata-mata cemburu. Aku masih ingin menyelami lautan ilmu dan mewujudkan mimpi-mimpiku. Mengapa harus sekarang? Ini terlalu cepat. Dan mungkin kau pun merasakan keraguan hatiku, membaca ketidaksetujuanku. Namun, kau menepisnya.
“Ra, menurutmu pinanganku bakal diterima nggak sama orangtuamu?”
“Aku berharap semoga ditolak.”
“Kalau begitu, aku akan langsung menculikmu.”
“Terus kau jadi WANTED dech.”
“Kita akan bersembunyi di lubang jepang.”
“Dan kita akan mati membusuk.”
“Kenapa harus berakhir dramatis gitu?”
“Aku kan penulisnya. Jadi, aku yang menentukan ending-nya.”
“Kau egois.”
“Apa nggak sebaliknya.”
Keheningan tercipta sepanjang perjalanan. Kita terdekap bisu. Tak ada keluh maupun perdebatan. Namun, hati saling bergemuruh. Pikiran kita menerawang entah ke mana. Ingin menyapa tapi dibunuh oleh kerasnya hati.
Han, dalam hubungan itu harus ada keyakinan dan kepercayaan lebih dari sekadar cincin yang melimgkar di jemari manis kita. Sebuah Cincin hanya simbolik saja. Yang penting itu adalah hati kita. Sedangkan keyakinan dan kepercayaan itulah pondasinya.
Kau tahu? Kau merupakan jauhku sekaligus dekatku yang paling mungkin. Ya, terkadang aku merasa kau jauh dan kadang pula kau dekat. Seperti saat ini aku merasa kau menjauh dari hatiku.
Catatan: Terinspirasi dari novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy
Dunia KOMA, 16-07-12
Ayu Sundari Lestari, mahasiswa Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah Medan dan bergiat di KOMA Medan.

# Dimuat di Harian Mimbar Umum, 01 Desember 2012