Minggu, 18 Januari 2015

Ending Pinocchio; semanis coklat






“Kebahagian yang berasal dari kebohongan tidak akan bertahan lama.”
–Choi Dal Po/Park Hye Ryun-


            Terkadang cobaan datang dari keluarga sendiri. Inilah yang dialami Reporter muda kita Choi Dal Po, Choi In Ha, Yoon Yoo Rae, dan Seo Bum Jo. Mereka bercita-cita untuk menjadi seorang reporter yang sebenarnya, tapi harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan.  Orang-orang yang mereka sayangi justru memberikan luka yang sangat perih. 


salam perpisahan

Choi In Ha yang sangat merindukan ibunya dan mengira ibunya adalah orang yang baik. Justru adalah orang yang menghancurkan keluarga Choi Dal Po, pria yang ia cintai. Kakak yang sangat disayangi Choi Dal Po ternyata membunuh orang karena dendam, untung sebelum ada korban selanjutnya Ki Jae Myung bertemu dengan Choi Dal Po. Ibu yang lembut dan penyayang siapa sangka merupakan dalang atas segala kekacauan yang ada, membuat Reporter Song Cha Ok mengalihkan opini publik dan menjadikan kak Ki Jae Myung seorang pembunuh dan melakukan terror terhadap Choi Dal Po, Choi Ina, dan Song Cha Ok.    

Mereka bertiga mengalami pergulatan batin yang luar biasa, antara mempertahankan idealisme sebagai reporter atau melindungi orang-orang yang mereka sayangi. Tapi kenyataan adalah kenyataan, yang bersalah tetap bersalah. Choi Dal Po tetap melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang reporter. Ia melaporkan berita atas kejahatan yang dilakukan oleh kakaknya. Choi In Ha yang berusaha mendesak ibunya meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Seo Bum Jo yang diam-diam menyelidiki ibunya bahkan menjadi umpan, agar ibunya mau mengakui semua kesalahannya. Para reporter kita memilih caranya sendiri-sendiri dalam mengungkapkan kebenaran kepada dunia. Memberitahukan apa yang seharusnya publik ketahui.    
     
Drama ini dikemas secara apik dengan plot dan alur cerita yang sangat rapi. Setiap bagian cerita saling berkaitan satu sama lain dan sangat berperan penting dalam cerita.  Dari awal kita mengenal ibu Seo Bum Jo alias Nyonya Ro Sa yang baik hati dan sangat polos. 


Ny. Ro Sa adalah klimaks yang sangat menghentakkan cerita. Siapa sangka Ny Ro Sa lebih buruk dari Reporter Song Cha Ok, bahkan kewarasannya pun perlu dipertanyakan. Namun sangat berhasil menjadi seorang ibu yang Seo Bum Jo. Ia sama sekali tidak membiarkan anaknya terkena percikan ‘kotoran’ yang telah ia lakukan. Tapi yang terpenting Seo Bum Jo tumbuh menjadi anak yang baik, sahabat yang setia, pria yang gentleman dalam menerima penolakkan In Ha dan kenyataan tentang ibunya.


Drama Pinocchio sungguh sempurna. Semua hal tertuangkan secara alami mulai dari bagian sosialnya, politik, persaingan dunia reporter, romance, persahabatan yang begitu mengaharukan, kekeluarga yang hangat, dan bumbu komedinya. Ramuan yang benar-benar lezat.


“Peterpan” menjadi judul kecil di episode terakhir Pinocchio. Novel Peterpan merupakan karya J.M Barrie yang menceritakan bahwa seorang anak yang bisa terbang menganalogikan sebuah kebebasan, sangat egois karena tak memikul tanggung dan tidak mau tumbuh menjadi dewasa dan hanya suka bermain-main saja di pulau Neverland yang terkenal akan keindahannyga. 


Para tokoh dalam drama ini juga berubah menjadi orang yang lebih dewasa. Song Cha Ok yang akhirnya mennyadari kalau ia bukanlah seorang reporter. Ki Jae Myung yang tidak lagi menyimpan dendam pada Song Cha Ok, Choi Dal Po yang mampu menahan emosinya saat mewawancarai Ny Ro Sa dan bersabar menunggu kakek merestui hubungannya denga Choi In Ha. Kakek yang pada akhrinya melepaskan Choi Dal Po sebagai anaknya dan merestui hubungan Choi In Ha.

 
Adegan termanis  semanis coklat pun sebagai penutup drama ini. Sebuah Gaun nan elegan seperti putrid duyung dikenakan  Choi In Ha. Klasik tuksedo dengan kerah kecil pakaian kasual yang sedang trend di kalangan anak muda dikenakan Choi Dal Po.  Pasangan kita sedang fiting baju pengantin dan memperlihatkan pada ayah In Ha dan kakek. Jadi kita anggap saja kalau merekan akan menikah. Tirai pun tertutup. Sebuah tanya mencuat mengingatkan kita pada episode awal. 


Cho In Ha: Ada yang ingin aku tanya.
Choi Dal Po: Apa?
Choi In Ha: Saat kita SMA, kenapa kau sangat ingin ikut kuis itu?
Choi Dal Po: Karena aku menyukaimu. Karena aku sangat menyukai….


-TAMAT-

* Terimakasih buat penulis, sutradara, para kru, aktor/aktris, dan orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan drama Pinocchio dan telah bekerja keras menyajikan drama yang berbobot tiap minggunya. 

 sampai jumpa lagi di drama berikutnya

Jumat, 16 Januari 2015

Mutia



Sudut malam kutemui tubuh mungil itu meringkuk kedinginan. Di antara gelimpangan manusia yang nasib telah menyingkirkan mereka dari mata dunia. Seluruh lengan ia tercecar memar. Wajahnya pucat. Ujung bibir pun menelurkan darah. Dia membungkam dalam perih yang menyelubung kegetiran. 
Ya, baru tadi siang aku bercengkrama dengan dirinya. Mutia, begitulah ia menyebut namanya padaku, saat  tangan kami terpaut dalam jabatan. Jujur, sebenarnya aku telah lama memerhatikan sosok bocah itu. Seorang bocah bertubuh ringkih namun memiliki semangat yang tinggi.
Pertemuan pertamaku dengan Mutia di depan restoran seminggu yang lalu, meluruhkan jiwaku. Entahlah, ada rasa yang tak mampu aku katakan. Saat itu, Mutia sedang mengais sisa makanan dari tong sampah. Aku mencoba mendekati dengan menyodorkan sebungkus makanan. Namun, ia berlari. Aku ingin mengejar, tapi diriku harus segera ke kantor, ada jadwal rapat penting yang tak bisa diundurkan.
Keesokkan harinya, aku kembali ke restoran yang sama. Secangkir kopi dan sepotong roti kupesan pada pelayan. Aku duduk di teras restoran sambil menyeruput hangatnya kopi, pandanganku terlempar keluar.
“Mana anak itu? Kenapa hari ini tidak terlihat?” bertanya pada diri sendiri.
Senja hampir menjemput di cakalang, anak itu tak jua datang.  Pesanan pun telah habis, mau tidak mau aku harus pulang. Ada seorang wanita yang pasti telah menunggu di rumah, wanita yang sangat berjasa dalam hidupku. Aku tak ingin membuatnya cemas.
Hey! ternyata anak itu berbaur di antara debu dan asap knalpot. Aku ingin ke sana menghampirinya, bertanya mengapa semalam ia berlari dariku, tapi langkah terhenti. Kuputuskan untuk tidak mendekatinya. Aku hanya memerhatikan dia dari jarak yang jauh. Mungkin itu yang terbaik.
***
Tapak tanganku mendarat di atas keningnya. Tubuh ringkih itu panas. Sorot mata Mutia mulai meredup. Aku menggendong ia ke dalam mobil dengan gontai. Namun, Seorang lelaki bertubuh tegap, berkumis tebal menghadang kami. Siapakah dia?
Ups! Dia adalah lelaki yang diceritakan Mutia kepadaku. Pak Kadir, orang yang telah membawanya dari bencana dahsyat itu. Entahlah, aku kurang tahu. Bencana apa yang sebenarnya dialami Mutia. Mungkinkah Tsunami di Aceh?
 Ya, berdasarkan info yang aku dapat dari teman Pak Kadir, seseorang yang tidak ingin kusebut namanya. Sebenarnya, Mutia memang berasal dari Aceh. Mutia dari keluarga yang berada. Konon, disebut-sebut sebagai keluarga yang terpandang di daerah asalnya itu. Kebetulan, saat itu, Pak Kadir adalah salah satu relawan dari Medan.  
“Mau ke mana kau bawa anak ini?” tanya lelaki itu dengan mata yang tajam. Suaranya seketika melolong ruang sunyi. Hampir membuatku mati kutu.
“Aku mau bawa dia ke rumah sakit. Badanya panas tinggi,” ujarku mencoba tenang
“Tak boleh! Kau tak berhak membawa anak itu pergi. Biarkan anak itu tetap di sini!” sekali lagi riuhnya membelah buana. Pak Kadir tetap kukuh melarang aku membawa Mutia.
“Ini bukan masalah berhak atau tidak. Ini tentang keselamatan anak manusia. Di mana letak kemanusianmu sebagai manusia?”
“Aku tak mau tahu, yang penting anak ini jangan kaubawa!”
“Aku mohon! izinkan aku membawanya. Apa Anda tak kasihan melihat keadaannya? Dia sudah sekarat!” sergahku.
Karena aku malas melayani Pak Kadir yang mulai dikuasai emosi, aku memberikan ia uang untuk menghentikan ocehannya. Aku segera masuk ke mobil, lantas tancap gas menuju rumah sakit. Di sela dedaunan angin meniupkan desir kebekukan malam. Jalanan sunyi.
Kejadian tujuh tahun silam adalah titik awal Mutia diselimuti kabut. Betapa tidak? Saat dia berusia enam bulan, Mutia sudah harus memeluk kenyataan sebagai yatimpiatu. Bahkan, ia sebatang kara. Bencana dashyat itu telah merenggut semua keluarganya. Di tempat pengungsianlah Mutia dipunggut Pak Kadir. Lantas, diasuh bersama istrinya, yang kebetulan belum dianugerahi anak.
Kehadiran Mutia memberikan kebahagian di rumah sederhana Pak Kadir. Tapi, kebahagian itu hanya sesaat. Ya, sejak kematian istrinya, kebahagian mulai memudar. Konon, istri Pak Kadir meninggal karena mendonorkan ginjalnya untuk Mutia.
Pak Kadir yang terlalu mencintai istrinya, tiada henti menyalahkan Mutia. Dia menganggap Mutia-lah penyebabnya. Sejak hari itu pula, Pak Kadir kerap melampiaskan amarahnya kepada Mutia. Jejak memar pun tak terelak terukir di seluruh badan anak malang itu. Mereka pun kehilangan rumah, akibat penggusuran dan tinggal di jalanan.
***
“Kita mau ke mana, kak?” tanya Mutia dengan suara getir.
“Kita akan ke rumah sakit, Tia?”
“Mutia gak mau ke rumah sakit. Mutia mau pulang, balik ke tempat yang tadi,” pintanya.
“Mutia kan lagi sakit! Kita harus ke rumah sakit,” aku berusaha membujuknya.
“Tidak! Mutia tidak mau!”
Dia meronta, membanting-bantingkan kepalanya ke jendela mobil. Keningnya semakin terluka, darah mengalir seperti anak sungai di pipinya. Aku berusaha menenangkan Mutia dengan memberikan permen polipop yang kebetulan ada di mobilku. Dia sedikit tenang. Aku pun mendongengkan cerita Cinderella padanya. Dia diam.
Senyum tadi siang yang sempat tergurat di bibirnya kini tiada lagi terlihat dari wajah yang berlumur darah itu. Mutia, bocah yang tangguh, yang pernah kukenal. Hidupnya bagaikan menantang matahari. Ya, selama aku memperhatikan Mutia secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Tak pernah kumelihat dia meneteskan bulir air mata, apalagi mengeluh pada nasib.
Mutia menghabiskan waktunya di jalanan, merebut sisa makanan dengan lalat dan cacing dari tong sampah hanya demi menyambung nafas. Koin-koin yang tertabung dalam bungkus plastik itu, hanya disetorkan kepada Pak Kadir yang ia sebut ayah.
Ketika aku bertanya tentang asalnya ia hanya tersenyum padaku. Mutia memang tak pernah tahu dari rahim siapa ia dilahirkan ke dunia yang kejam ini. Sejak lahir, ia sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Hidup bersama Pak Kadir dan istrinya yang dianggap Mutia sebagai orang tua. Aku kagum pada Mutia, tak sedikit pun mengeluh. Dia hidup bahagia bersama teman-temanya. Tertawa, bergurau, bersenandung di bawah langit yang getir. Meski dia tak pernah tahu bahwa kehidupan sangat kejam.
Mutia adalah sang pemimpi. Ya,  mimpinya cukup sederhana. Dia hanya ingin tidur di tempat yang tenang. Aku menawarkan dia untuk tinggal bersamaku. Namun, Mutia menolak. Dia tak mau meninggalkan Pak Kadir . Aku berusaha membujuknya.
“Nanti di rumah kakak, Mutia bisa tidur di kasur yang lembut. Mutia pun bisa bersekolah, punya teman yang lebih banyak lagi,” bujukku.
“Sekolah itu apa, kak?” tanya Mutia. Cetus yang membuatku terperangah.
Akhirnya, Mutia luluh. Dia mau tinggal bersamaku. Dengan syarat, aku akan menjemputnya nanti malam. Aku memeluknya erat dalam dekapanku, tak sabar lagi menuggu malam, membawa cecah langkah mungilnya ke rumahku. Sungguh, aku bahagia.
Mutia melangkah ke jalanan berbaur dengan temannya. Dia berbalik arah melemparkan senyum padaku. Senyuman yang paling indah. Kecerian jelas tersemat di wajah lugunya. Senandung kembali ia sembahkan kepada penghuni angkot.
***
Setiba di rumah sakit, Mutia langsung dirawat di UGD. Para dokter dan perawat mengerumungi dia. Jarum infus sudah tertanam di urat nadinya. Aku tak tega melihat jarum berkuasa menusuk kulit halus Mutia, dan selang menjajah di tubuhnya. Aku keluar dari ruangan itu. Lantas, berarah ke mushola meminta pada-Nya agar diberi kesempatan merawat Mutia.
Pihak dokter memberikan diagnosa, memar dan lukanya akibat tindakkan kekerasan. kepalanya terbentur benda tumpul dan tangannya bekas pukulan, yang merenggut nafas malaikat kecil itu. Mutia banyak kehilangan darah. Ah, apa pun itu, selamat buatmu Mutia. Malam ini, mimpi sederhanamu terwujud. Tidur di tempat yang paling tenang. Di surga.
Dunia KOMA, Nopember 2011-2014

            *diterbitkan di harian Analisa edisi 14 Januari 2014

Rabu, 14 Januari 2015

Pinocchio; aku tak mampu berbohong



Jika pinokio yang kita kenal berhidung panjang, setiap kali berbohong, maka pinokio yang satu ini akan cegukan terus-menerus jika berbohong. Jadi, mau tak mau ia harus berbicara jujur. Ia dijuluki penyihir blak-blakan oleh teman-teman sekelasnya. Ia adalah seorang perempuan cantik yang mengindam sindrom pinokio yang bernama Choi In Ha (Park Shin Hye).


Drama ini dibuka dengan pemandangan suasana sekolah. Seorang guru mengumumkan bahwa nanti ada acara Quiz Show Challenge di stasiun tipi YGN yang ikuti oleh teman mereka Ahn Can Soo (Lee Ju Seung).  Terlihat di dalam kelas para murid dan guru bersiap menonton acara kuis tersebut. Acara pun dimulai dengan memperlihatkan Ahn Can Soo yang duduk di kursi sebagai pemenang minggu lalu. Lalu pembawa acara memperkenalkan seseorang yang akan menjadi lawan Ahn Can Soo, yaitu Choi Dal Po (Lee Jong Suk). *ampun deh, gaya Lee Jong Suk bener-bener gokil di sini dengan wig rambutnya yang super aneh*


Sontak saja membuat Ahn Can Soo dan seluruh kelas terkejut, pasalnya Choi Dal Po juga teman sekelas mereka yang terkenal dengan julukan All-Zero karena semua mata pelajaran ia mendapatkan nilai nol.    

Acara kuis pun dimulai hingga pada pertanyaan yang mengingatkan Dal Po pada masa lalunya. Di mana saat ayahnya mengajukan pertanyaan yang sama. Sebenarnya nama Choi Dal Po adalah Ki Ha Myung. Ia mempunyai seorang kakak laki-laki yang bernama Ki Jae Myung (Yoon Gyu Sang), ibu dan ayah. Mereka semua hidup bahagia. Abang beradik Ki adalah anak-anak jenius, hingga ayahnya memamerkan kejeniusan anak-anaknya kepada teman kerja dan tetangga. 



Sayangnya, kebahagian itu menghilang seperti tulisan di pasir yang terhapus ombak. Sebuah tragedi yang menjadi trendic topic di ruang masyarakat yaitu, kebakaran di sebuah pabrik merenggut nyawa ayahnya yang berprofesi sebagai kepala pemadam kebakaran. Kesedihan itu semakin bertambah, ayahnya dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas tewasnya rekan-rekan kerjanya. Bahkan, diberitakan masih hidup dan bersembunyi. Kabar itu pun didukung oleh kesaksian seseorang yang mengidam sindrom pinokio dan tidak ditemukan mayat ayahnya. Para repoter pun semakin memanas-manasi suasana, terutama reporter Song Cha Ok (Jin Kyung) yang memojoki ayahnya.
 


Keluarga Choi Dal Po pun sangat depresi. Ibunya mengajak bunuh diri dengan melompat ke laut. Lalu ia ditemukan oleh seorang kakek di tengah lautan dan menjadikan ia sebagai anak karena mirip dengan anaknya telah hilang. Sejak saat itu, ia bernama Choi Dal Po sekaligus paman Choi In Ha yang bukan lain adalah anak Song Cha Ok. Choi Dal Po sangat dilema menghadapi Choi In Ha. Di satu sisi ia menyukainya tapi di sisi lain adalah adalah putri dari musuh bebuyutannya. Dan inilah yang akan menjadi konflik dalam hubungan mereka.


Secara keseluruhan drama ini bercerita tentang dunia repoter dari sisi negatifnya. Seorang reporter dapat mempengaruhi pendapat publik. Ia dapat mengubah seseorang sebagai pahlawan maupun  penjahat.  Untuk itulah, seorang reporter harus sangat berhati-hati dalam memberitakan sesuatu. Seperti yang dikatakan Choi Dal Po. “seharusnya seorang pinikio dan reporter harus mengetahui fakta bahwa orang tanpa syarat percaya pada apa pun yang mereka katakan dan menyadari betapa mematikannya kata-kata mereka bagi orang lain. Sudut pandang yang tak jelas dapat menghancurkan sebuah keluarga yang bahagia.“




Tapi bagaimana jika seorang reporter justru sengaja mengalihkan alur cerita ke tempat yang tidak seharusnya. Inilah tugas berat reporter muda kita, Choi Dal Po, Choi In Ha, Yoon Yoo Rae (Lee Yoo Bi), dan Seo Bum Jo (Kim Young Kwang) untuk memperbaiki alur cerita yang menyimpang dan menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.



Dua stasiun tv dalam drama ini yaitu YGN dan MSC mengingatkanku pada dua stasiun tv di negara kita. Warna logo dan seragam mereka pun sama, tapi tentu kisah kedua stasiun itu berbeda dengan YGN dan MSC. Liat kedua Mic dipegang kedua reporter tersebut.
 


Satu per satu misteri pun terkuak, kakek Choi In Ha yang menyadari bahwa Choi Dal Po bukanlah anaknya, mayat ayah Choi Dal Po yang ditemukan, dalang yang membuat Song Cha Ok menjadi reporter yang suka mengalihkan kebenaran, ibu Seo Bum Jo yang terlihat tidak semanis dan sebaiknya selama ini, kasus yang sama dengan tragedi keluarga Choi Dal Po terungkap kembali ke publik, para pengusaha dan politisi yang licik, dan akhirnya bermuara pada satu alasan yaitu karena uang. Dan ini mengingatkanku pada drama Lee Seung Gi Your Are All Surronded.




Lalu apa hubungannya dengan judul “aku tak mampu berbohong”, seperti kita ketahui bahwa Choi In Ha selalu cegukan setiap kali berbohong. Bahkan ia tak mampu menyembunyikan perasaannya sendiri. Begitu juga dengan Choi Dal Po meski ia bersikeras menjatuhkan Song Cha Ok, ia tetap membela Song Cha Ok dalam kasus memanipulasi sertifikat kematian. Ia melakukan itu bukan karena kasian melihat Choi In Ha yang terusan cegukan tapi karena ia tahu bahwa hal itu tidak seharusnya dilakukan oleh seorang repoter. Ia tidak bisa melawan hati nuraninya dan prinsipnya. Jadi, baik Choi In Ha maupun Choi Dal tidak mampu berbohong.          



Nah, bagaimana dengan kelanjutan ceritanya? Dapatkah menjawab penasaran kita pada episode terakhirnya? Kalau ditanya maunya saya, saya sih berharap drama ini berakhir bahagia.

 


Detail Drama
Judul Drama : Pinocchio atau Pinokio
Jenis: Komedi Romantis, MeloDrama
Jumlah Episode: Dua Puluh (20)
Channel TV: SBS (Seoul Broadcasting Station)
Jadwal: Setiap Hari Rabu dan Kamis
Negara: Korea Selatan
Sutradara: Jo Soo Won
Penulis: Park Hye Ryun
Drama Sebelumnya: My Lovely Girl 
Drama Selajutnya: Jekyll And I (2015)

4 Pemeran Utama:
Lee Jong-Suk menjadi Choi Dal-Po/ Ki Ha Myung
Park Shin-Hye menjadi Choi In-Ha
Lee Yoo-Bi Yoon menjadi  Yoo-Rae
Kim Young-Kwang menjadi  Seo Bum-Jo 


 
Pemeran Pendukung:
Jin Kyung menjadi Song Cha-Ok (Ibu In-Ha)
Yoon Gyun-Sang menjadi Ki Jae-Myeong (Kakak Laki-laki Dal-Po's )
Kang Shin-Il menjadi Anchor Lee Young-Tak
Kim Kwang-Kyu menjadi  Kim Gong-Joo
Byun Hee-Bong menjadi Choi Gong-Pil
Shin Jung-Keun menjadi Choi Dal-Pyeong 
Min Sung-Wook menjadi Jang Hyun-Gyu
Jung In-Gi menjadi Ki Ho-Sang
Choo Soo-Hyun menjadi Reporter Im Jae-Hwan
Lee Pil-Mo menjadi PD Hwang Gyo-Dong
Kim Young-Hoon menjadi Lee Il-Joo