Rabu, 22 Januari 2014

Mengeja Relung Ibu



Ibu, perempuan yang paling mulia yang pernah ada di dalam kehidupanku. Entah sudah berapa ribu luka yang tergores di relungnya, entah berapa banyak putik airmata yang luruh dari sudut matanya, karena kelakakuanku. Jujur, ku tak berani menghitungnya.
Cinta dan kasihnya selalu bermuara padaku dari segala arah tanpa henti, tanpa terbendung, tanpa kuminta. Tapi, kenapa cintaku tidak bisa seperti itu? Kenapa? Hingga aku mengutuk diri ini, karena tak mampu sejajar dengan cintanya, jangankan sejajar, setengahnya pun ku tak mampu. Sungguh, ini membuatku sangat malu. 

Ibu, bukanlah sekadar ibu bagiku, ia  sekaligus sahabat karib –tempat menumpahkan segala penat pikiran, menemani tiap derap langkah, dan pendengar keluh yang paling takzim. Aku berharap dapat membahagiakan dirinya suatu hari nanti, meski sama sekali ia tidak mengharapkan itu. Karena ibu tak pernah menggantungkan hidupnya kepada siapa pun.

Tangan ibu kerapkali membelai kepalaku dengan lembut, sangat lembut. Yang entah kenapa tiap sentuhannya mampu meredam amarah dan gelisah hatiku. Teduh. Dari tangannya juga tercipta masakkan yang terasa amat lezat. Bahkan, bila kumulai mengeluh kesakitan, telapak tangannya akan menyentuh dahiku. Ah, surga itu juga terletak di telapak tangan ibu.

Ibu, selalu menjadi orang pertama yang menyambut pagi. Lalu, membanguni diriku untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Selepas subuh biasanya aku kembali tidur. Ini salah satu keburukkanku –membiarkan ibu sendirian di dapur, membiarkanya sendiri membuka kedai. Aku tidak akan mencari alasan maupun beralasan, kenapa bisa setega itu? Karena itu membuatku terlihat seperti orang yang munafik saja. Hanya sesekali aku menemani dan membantuinya di dapur, hanya sesekali.

Begitu banyak perbedaan antara diriku dengan ibu. Ya, ibu adalah orang yang tebuka, tidak dapat menyembunyikan luka, resah dan bebannya. Ia akan berceloteh dengan derai airmata, atau pun dengan wajah yang tegang. Ia pun begitu telaten dan teliti dalam mengurus rumah tangga, beda dengan diriku yang kerap ceroboh dan pelupa.

Ibu akan menangis bila hatinya terluka, ia akan menjerit jika tak sanggup lagi memikul beban. Itulah ibuku wanita yang terbuka dan apa adanya. Aku tidak sepenuhnya seperti itu. Lantas, apa kesamaan kami? Kami sama-sama sulit terbenam dalam lelap. Dan itu membuat kami menyukai dunia menulis.

Dulu, semasa remaja, ibu juga suka menulis. Tulisannya selalu di kirimkan ke radio-radio di kota kami, lalu dibacakan oleh penyiarnya. Tulisan tangan ibu sudah entah berlalangbuana ke mana saja. Sahabat penanya sangat banyak. Dalam satu hari, bisa dua atau tiga surat datang ke rumah. Aku paling suka mendengar ibu bercerita tentang perjalanan kehidupannya, terutama pengalamannya dalam menulis.

“Menulislah dari hati, insya Allah kan sampai ke hati juga, Din.” Nasihat ibu suatu hari, saat aku sedang berkutat dengan pena dan kertas. Aku menjawab dengan anggukkan kepala. “Kadang mengungkapkan pikiran dan perasaan terasa jauh lebih nyaman lewat ujung penamu itu, ketimbang secara lisan,” lanjut ibu sambil menunjuk penaku.
“Kenapa, Bu?” tanyaku polos.
“Karena suara Dinda sangat cepreng, entar menganggu telinga orang pula nanti,” ucap ibu tertawa.
“I…bu,” rengekku protes.
“Lakukanlah apa yang membuat hatimu nyaman, karena itu akan membahagiakan dirimu, Din,” nasihat ibu.
***

Jika ibu sedang dirundung masalah, perasaannya berkecamuk, bergemuruh seperti ombak dan akhirnya pecah dengan jeritan histeri. Inilah yang membuatnya sering keluar-masuk rumah sakit. Penyakitnya kabuh; maag. Ada saja perkara yang harus dihadapi ibu, karena ulah anak-anaknya yang lain, mungkin juga ulahku.

Diam-diam aku sering menemukan ibu duduk sendirian di depan jendela. Tak jarang airmatanya luruh. Tapi, entah mengapa aku enggan mendekati dan menanyainya. Kakiku terasa berat untuk melangkah atau aku tak punya keberanian. Beban itu dipikul ibu sendirian. Sendirian.

Mengapa aku tak bisa mengurangi bebannya? Seperti ibu yang selalu membantuku dalam memecahkan masalah yang kuhadapi. Mengapa aku hanya terpaku? Membiarkan ibu terbenam dalam pikirannnya sendiri. Mengapa aku tak bisa melakukan seperti yang ibu lakukan untukku?

Itulah aku, anak yang tidak mempunyai keberanian mencampuri masalah ibu. Meski hatiku meronta, memberontak “Dinda, kau tak boleh begini saja?” Ya, selama ini aku hanya berada di belakang ibu, menjadi pengamat. Mungkin kalau ada bahaya yang mengancamnya, aku dapat langsung menarik ibu.  

Setiap kali ibu masuk rumah sakit, aku-lah yang menjaga dan menemaninya sendirian. Hanya kami berdua. Kurasa kami bagaikan dua sisi mata uang. Ya, jika ada salah satu di antara kami yang sakit, pasti hati kami tak kan tenang.

Pernah suatu hari hatiku dicekam rasa ketakutan yang sangat hebat. Saat ibu sedang dirawat di rumah sakit. Suhu badannya sangat panas. Ibu berceracau dalam ketidaksadarannya, yang semakin membuatku ketakukan. Aku terus-menerus mengkopresinya dan berdoa. Sungguh, hal yang paling menakutkan bagiku adalah kehilangan ibu. Aku tak kan berarti apa pun tanpa ibu ada dalam kehidupanku.

Sayup-sayup kumendengar petikkan gitar akustik lagu Iwan Fals, yang selalu membuat hatiku terenyuh. Kali ini, airmata pun turut membasahi pipiku. Sungguh, hari ini, esok, seterusnya, aku ingin memeluknya dengan erat, menggenggam tangannya, sembari mengatakan terimakasih telah melahirkan Adinda ke dunia ini, dan menjadi ibuku selama 8153 hari yang telah kulalui. Terimakasih ibu.
15.12.13;00.00