Jumat, 16 Januari 2015

Mutia



Sudut malam kutemui tubuh mungil itu meringkuk kedinginan. Di antara gelimpangan manusia yang nasib telah menyingkirkan mereka dari mata dunia. Seluruh lengan ia tercecar memar. Wajahnya pucat. Ujung bibir pun menelurkan darah. Dia membungkam dalam perih yang menyelubung kegetiran. 
Ya, baru tadi siang aku bercengkrama dengan dirinya. Mutia, begitulah ia menyebut namanya padaku, saat  tangan kami terpaut dalam jabatan. Jujur, sebenarnya aku telah lama memerhatikan sosok bocah itu. Seorang bocah bertubuh ringkih namun memiliki semangat yang tinggi.
Pertemuan pertamaku dengan Mutia di depan restoran seminggu yang lalu, meluruhkan jiwaku. Entahlah, ada rasa yang tak mampu aku katakan. Saat itu, Mutia sedang mengais sisa makanan dari tong sampah. Aku mencoba mendekati dengan menyodorkan sebungkus makanan. Namun, ia berlari. Aku ingin mengejar, tapi diriku harus segera ke kantor, ada jadwal rapat penting yang tak bisa diundurkan.
Keesokkan harinya, aku kembali ke restoran yang sama. Secangkir kopi dan sepotong roti kupesan pada pelayan. Aku duduk di teras restoran sambil menyeruput hangatnya kopi, pandanganku terlempar keluar.
“Mana anak itu? Kenapa hari ini tidak terlihat?” bertanya pada diri sendiri.
Senja hampir menjemput di cakalang, anak itu tak jua datang.  Pesanan pun telah habis, mau tidak mau aku harus pulang. Ada seorang wanita yang pasti telah menunggu di rumah, wanita yang sangat berjasa dalam hidupku. Aku tak ingin membuatnya cemas.
Hey! ternyata anak itu berbaur di antara debu dan asap knalpot. Aku ingin ke sana menghampirinya, bertanya mengapa semalam ia berlari dariku, tapi langkah terhenti. Kuputuskan untuk tidak mendekatinya. Aku hanya memerhatikan dia dari jarak yang jauh. Mungkin itu yang terbaik.
***
Tapak tanganku mendarat di atas keningnya. Tubuh ringkih itu panas. Sorot mata Mutia mulai meredup. Aku menggendong ia ke dalam mobil dengan gontai. Namun, Seorang lelaki bertubuh tegap, berkumis tebal menghadang kami. Siapakah dia?
Ups! Dia adalah lelaki yang diceritakan Mutia kepadaku. Pak Kadir, orang yang telah membawanya dari bencana dahsyat itu. Entahlah, aku kurang tahu. Bencana apa yang sebenarnya dialami Mutia. Mungkinkah Tsunami di Aceh?
 Ya, berdasarkan info yang aku dapat dari teman Pak Kadir, seseorang yang tidak ingin kusebut namanya. Sebenarnya, Mutia memang berasal dari Aceh. Mutia dari keluarga yang berada. Konon, disebut-sebut sebagai keluarga yang terpandang di daerah asalnya itu. Kebetulan, saat itu, Pak Kadir adalah salah satu relawan dari Medan.  
“Mau ke mana kau bawa anak ini?” tanya lelaki itu dengan mata yang tajam. Suaranya seketika melolong ruang sunyi. Hampir membuatku mati kutu.
“Aku mau bawa dia ke rumah sakit. Badanya panas tinggi,” ujarku mencoba tenang
“Tak boleh! Kau tak berhak membawa anak itu pergi. Biarkan anak itu tetap di sini!” sekali lagi riuhnya membelah buana. Pak Kadir tetap kukuh melarang aku membawa Mutia.
“Ini bukan masalah berhak atau tidak. Ini tentang keselamatan anak manusia. Di mana letak kemanusianmu sebagai manusia?”
“Aku tak mau tahu, yang penting anak ini jangan kaubawa!”
“Aku mohon! izinkan aku membawanya. Apa Anda tak kasihan melihat keadaannya? Dia sudah sekarat!” sergahku.
Karena aku malas melayani Pak Kadir yang mulai dikuasai emosi, aku memberikan ia uang untuk menghentikan ocehannya. Aku segera masuk ke mobil, lantas tancap gas menuju rumah sakit. Di sela dedaunan angin meniupkan desir kebekukan malam. Jalanan sunyi.
Kejadian tujuh tahun silam adalah titik awal Mutia diselimuti kabut. Betapa tidak? Saat dia berusia enam bulan, Mutia sudah harus memeluk kenyataan sebagai yatimpiatu. Bahkan, ia sebatang kara. Bencana dashyat itu telah merenggut semua keluarganya. Di tempat pengungsianlah Mutia dipunggut Pak Kadir. Lantas, diasuh bersama istrinya, yang kebetulan belum dianugerahi anak.
Kehadiran Mutia memberikan kebahagian di rumah sederhana Pak Kadir. Tapi, kebahagian itu hanya sesaat. Ya, sejak kematian istrinya, kebahagian mulai memudar. Konon, istri Pak Kadir meninggal karena mendonorkan ginjalnya untuk Mutia.
Pak Kadir yang terlalu mencintai istrinya, tiada henti menyalahkan Mutia. Dia menganggap Mutia-lah penyebabnya. Sejak hari itu pula, Pak Kadir kerap melampiaskan amarahnya kepada Mutia. Jejak memar pun tak terelak terukir di seluruh badan anak malang itu. Mereka pun kehilangan rumah, akibat penggusuran dan tinggal di jalanan.
***
“Kita mau ke mana, kak?” tanya Mutia dengan suara getir.
“Kita akan ke rumah sakit, Tia?”
“Mutia gak mau ke rumah sakit. Mutia mau pulang, balik ke tempat yang tadi,” pintanya.
“Mutia kan lagi sakit! Kita harus ke rumah sakit,” aku berusaha membujuknya.
“Tidak! Mutia tidak mau!”
Dia meronta, membanting-bantingkan kepalanya ke jendela mobil. Keningnya semakin terluka, darah mengalir seperti anak sungai di pipinya. Aku berusaha menenangkan Mutia dengan memberikan permen polipop yang kebetulan ada di mobilku. Dia sedikit tenang. Aku pun mendongengkan cerita Cinderella padanya. Dia diam.
Senyum tadi siang yang sempat tergurat di bibirnya kini tiada lagi terlihat dari wajah yang berlumur darah itu. Mutia, bocah yang tangguh, yang pernah kukenal. Hidupnya bagaikan menantang matahari. Ya, selama aku memperhatikan Mutia secara diam-diam tanpa sepengetahuannya. Tak pernah kumelihat dia meneteskan bulir air mata, apalagi mengeluh pada nasib.
Mutia menghabiskan waktunya di jalanan, merebut sisa makanan dengan lalat dan cacing dari tong sampah hanya demi menyambung nafas. Koin-koin yang tertabung dalam bungkus plastik itu, hanya disetorkan kepada Pak Kadir yang ia sebut ayah.
Ketika aku bertanya tentang asalnya ia hanya tersenyum padaku. Mutia memang tak pernah tahu dari rahim siapa ia dilahirkan ke dunia yang kejam ini. Sejak lahir, ia sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Hidup bersama Pak Kadir dan istrinya yang dianggap Mutia sebagai orang tua. Aku kagum pada Mutia, tak sedikit pun mengeluh. Dia hidup bahagia bersama teman-temanya. Tertawa, bergurau, bersenandung di bawah langit yang getir. Meski dia tak pernah tahu bahwa kehidupan sangat kejam.
Mutia adalah sang pemimpi. Ya,  mimpinya cukup sederhana. Dia hanya ingin tidur di tempat yang tenang. Aku menawarkan dia untuk tinggal bersamaku. Namun, Mutia menolak. Dia tak mau meninggalkan Pak Kadir . Aku berusaha membujuknya.
“Nanti di rumah kakak, Mutia bisa tidur di kasur yang lembut. Mutia pun bisa bersekolah, punya teman yang lebih banyak lagi,” bujukku.
“Sekolah itu apa, kak?” tanya Mutia. Cetus yang membuatku terperangah.
Akhirnya, Mutia luluh. Dia mau tinggal bersamaku. Dengan syarat, aku akan menjemputnya nanti malam. Aku memeluknya erat dalam dekapanku, tak sabar lagi menuggu malam, membawa cecah langkah mungilnya ke rumahku. Sungguh, aku bahagia.
Mutia melangkah ke jalanan berbaur dengan temannya. Dia berbalik arah melemparkan senyum padaku. Senyuman yang paling indah. Kecerian jelas tersemat di wajah lugunya. Senandung kembali ia sembahkan kepada penghuni angkot.
***
Setiba di rumah sakit, Mutia langsung dirawat di UGD. Para dokter dan perawat mengerumungi dia. Jarum infus sudah tertanam di urat nadinya. Aku tak tega melihat jarum berkuasa menusuk kulit halus Mutia, dan selang menjajah di tubuhnya. Aku keluar dari ruangan itu. Lantas, berarah ke mushola meminta pada-Nya agar diberi kesempatan merawat Mutia.
Pihak dokter memberikan diagnosa, memar dan lukanya akibat tindakkan kekerasan. kepalanya terbentur benda tumpul dan tangannya bekas pukulan, yang merenggut nafas malaikat kecil itu. Mutia banyak kehilangan darah. Ah, apa pun itu, selamat buatmu Mutia. Malam ini, mimpi sederhanamu terwujud. Tidur di tempat yang paling tenang. Di surga.
Dunia KOMA, Nopember 2011-2014

            *diterbitkan di harian Analisa edisi 14 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar