Sudut
malam kutemui tubuh mungil itu meringkuk kedinginan. Di antara gelimpangan
manusia yang nasib telah menyingkirkan mereka dari mata dunia. Seluruh lengan
ia tercecar memar. Wajahnya pucat. Ujung bibir pun menelurkan darah. Dia membungkam
dalam perih yang menyelubung kegetiran.
Ya,
baru tadi siang aku bercengkrama dengan dirinya. Mutia, begitulah ia menyebut
namanya padaku, saat tangan kami terpaut
dalam jabatan. Jujur, sebenarnya aku telah lama memerhatikan sosok bocah itu.
Seorang bocah bertubuh ringkih namun memiliki semangat yang tinggi.
Pertemuan
pertamaku dengan Mutia di depan restoran seminggu yang lalu, meluruhkan jiwaku.
Entahlah, ada rasa yang tak mampu aku katakan. Saat itu, Mutia sedang mengais
sisa makanan dari tong sampah. Aku mencoba mendekati dengan menyodorkan
sebungkus makanan. Namun, ia berlari. Aku ingin mengejar, tapi diriku harus
segera ke kantor, ada jadwal rapat penting yang tak bisa diundurkan.
Keesokkan
harinya, aku kembali ke restoran yang sama. Secangkir kopi dan sepotong roti
kupesan pada pelayan. Aku duduk di teras restoran sambil menyeruput hangatnya
kopi, pandanganku terlempar keluar.
“Mana
anak itu? Kenapa hari ini tidak terlihat?” bertanya pada diri sendiri.
Senja
hampir menjemput di cakalang, anak itu tak jua datang. Pesanan pun telah habis, mau tidak mau aku
harus pulang. Ada seorang wanita yang pasti telah menunggu di rumah, wanita
yang sangat berjasa dalam hidupku. Aku tak ingin membuatnya cemas.
Hey!
ternyata anak itu berbaur di antara debu dan asap knalpot. Aku ingin ke sana
menghampirinya, bertanya mengapa semalam ia berlari dariku, tapi langkah
terhenti. Kuputuskan untuk tidak mendekatinya. Aku hanya memerhatikan dia dari
jarak yang jauh. Mungkin itu yang terbaik.
***
Tapak
tanganku mendarat di atas keningnya. Tubuh ringkih itu panas. Sorot mata Mutia
mulai meredup. Aku menggendong ia ke dalam mobil dengan gontai. Namun, Seorang
lelaki bertubuh tegap, berkumis tebal menghadang kami. Siapakah dia?
Ups!
Dia adalah lelaki yang diceritakan Mutia kepadaku. Pak Kadir, orang yang telah
membawanya dari bencana dahsyat itu. Entahlah, aku kurang tahu. Bencana apa
yang sebenarnya dialami Mutia. Mungkinkah Tsunami di Aceh?
Ya, berdasarkan info yang aku dapat dari teman
Pak Kadir, seseorang yang tidak ingin kusebut namanya. Sebenarnya, Mutia memang
berasal dari Aceh. Mutia dari keluarga yang berada. Konon, disebut-sebut
sebagai keluarga yang terpandang di daerah asalnya itu. Kebetulan, saat itu, Pak
Kadir adalah salah satu relawan dari Medan.
“Mau
ke mana kau bawa anak ini?” tanya lelaki itu dengan mata yang tajam. Suaranya
seketika melolong ruang sunyi. Hampir membuatku mati kutu.
“Aku
mau bawa dia ke rumah sakit. Badanya panas tinggi,” ujarku mencoba tenang
“Tak
boleh! Kau tak berhak membawa anak itu pergi. Biarkan anak itu tetap di sini!”
sekali lagi riuhnya membelah buana. Pak Kadir tetap kukuh melarang aku membawa
Mutia.
“Ini
bukan masalah berhak atau tidak. Ini tentang keselamatan anak manusia. Di mana
letak kemanusianmu sebagai manusia?”
“Aku
tak mau tahu, yang penting anak ini jangan kaubawa!”
“Aku
mohon! izinkan aku membawanya. Apa Anda tak kasihan melihat keadaannya? Dia
sudah sekarat!” sergahku.
Karena
aku malas melayani Pak Kadir yang mulai dikuasai emosi, aku memberikan ia uang
untuk menghentikan ocehannya. Aku segera masuk ke mobil, lantas tancap gas
menuju rumah sakit. Di sela dedaunan angin meniupkan desir kebekukan malam.
Jalanan sunyi.
Kejadian
tujuh tahun silam adalah titik awal Mutia diselimuti kabut. Betapa tidak? Saat
dia berusia enam bulan, Mutia sudah harus memeluk kenyataan sebagai yatimpiatu.
Bahkan, ia sebatang kara. Bencana dashyat itu telah merenggut semua
keluarganya. Di tempat pengungsianlah Mutia dipunggut Pak Kadir. Lantas, diasuh
bersama istrinya, yang kebetulan belum dianugerahi anak.
Kehadiran
Mutia memberikan kebahagian di rumah sederhana Pak Kadir. Tapi, kebahagian itu
hanya sesaat. Ya, sejak kematian istrinya, kebahagian mulai memudar. Konon,
istri Pak Kadir meninggal karena mendonorkan ginjalnya untuk Mutia.
Pak
Kadir yang terlalu mencintai istrinya, tiada henti menyalahkan Mutia. Dia
menganggap Mutia-lah penyebabnya. Sejak hari itu pula, Pak Kadir kerap
melampiaskan amarahnya kepada Mutia. Jejak memar pun tak terelak terukir di
seluruh badan anak malang itu. Mereka pun kehilangan rumah, akibat penggusuran
dan tinggal di jalanan.
***
“Kita
mau ke mana, kak?” tanya Mutia dengan suara getir.
“Kita
akan ke rumah sakit, Tia?”
“Mutia
gak mau ke rumah sakit. Mutia mau pulang, balik ke tempat yang tadi,” pintanya.
“Mutia
kan lagi sakit! Kita harus ke rumah sakit,” aku berusaha membujuknya.
“Tidak!
Mutia tidak mau!”
Dia
meronta, membanting-bantingkan kepalanya ke jendela mobil. Keningnya semakin
terluka, darah mengalir seperti anak sungai di pipinya. Aku berusaha menenangkan
Mutia dengan memberikan permen polipop yang kebetulan ada di mobilku. Dia
sedikit tenang. Aku pun mendongengkan cerita Cinderella padanya. Dia diam.
Senyum
tadi siang yang sempat tergurat di bibirnya kini tiada lagi terlihat dari wajah
yang berlumur darah itu. Mutia, bocah yang tangguh, yang pernah kukenal.
Hidupnya bagaikan menantang matahari. Ya, selama aku memperhatikan Mutia secara
diam-diam tanpa sepengetahuannya. Tak pernah kumelihat dia meneteskan bulir air
mata, apalagi mengeluh pada nasib.
Mutia
menghabiskan waktunya di jalanan, merebut sisa makanan dengan lalat dan cacing
dari tong sampah hanya demi menyambung nafas. Koin-koin yang tertabung dalam
bungkus plastik itu, hanya disetorkan kepada Pak Kadir yang ia sebut ayah.
Ketika
aku bertanya tentang asalnya ia hanya tersenyum padaku. Mutia memang tak pernah
tahu dari rahim siapa ia dilahirkan ke dunia yang kejam ini. Sejak lahir, ia sudah
terbiasa dengan kondisi seperti ini. Hidup bersama Pak Kadir dan istrinya yang
dianggap Mutia sebagai orang tua. Aku kagum pada Mutia, tak sedikit pun
mengeluh. Dia hidup bahagia bersama teman-temanya. Tertawa, bergurau, bersenandung
di bawah langit yang getir. Meski dia tak pernah tahu bahwa kehidupan sangat
kejam.
Mutia
adalah sang pemimpi. Ya, mimpinya cukup
sederhana. Dia hanya ingin tidur di tempat yang tenang. Aku menawarkan dia
untuk tinggal bersamaku. Namun, Mutia menolak. Dia tak mau meninggalkan Pak
Kadir . Aku berusaha membujuknya.
“Nanti
di rumah kakak, Mutia bisa tidur di kasur yang lembut. Mutia pun bisa
bersekolah, punya teman yang lebih banyak lagi,” bujukku.
“Sekolah
itu apa, kak?” tanya Mutia. Cetus yang membuatku terperangah.
Akhirnya,
Mutia luluh. Dia mau tinggal bersamaku. Dengan syarat, aku akan menjemputnya
nanti malam. Aku memeluknya erat dalam dekapanku, tak sabar lagi menuggu malam,
membawa cecah langkah mungilnya ke rumahku. Sungguh, aku bahagia.
Mutia
melangkah ke jalanan berbaur dengan temannya. Dia berbalik arah melemparkan
senyum padaku. Senyuman yang paling indah. Kecerian jelas tersemat di wajah
lugunya. Senandung kembali ia sembahkan kepada penghuni angkot.
***
Setiba
di rumah sakit, Mutia langsung dirawat di UGD. Para dokter dan perawat mengerumungi
dia. Jarum infus sudah tertanam di urat nadinya. Aku tak tega melihat jarum
berkuasa menusuk kulit halus Mutia, dan selang menjajah di tubuhnya. Aku keluar
dari ruangan itu. Lantas, berarah ke mushola meminta pada-Nya agar diberi
kesempatan merawat Mutia.
Pihak
dokter memberikan diagnosa, memar dan lukanya akibat tindakkan kekerasan. kepalanya
terbentur benda tumpul dan tangannya bekas pukulan, yang merenggut nafas malaikat
kecil itu. Mutia banyak kehilangan darah. Ah, apa pun itu, selamat buatmu
Mutia. Malam ini, mimpi sederhanamu terwujud. Tidur di tempat yang paling
tenang. Di surga.
Dunia KOMA, Nopember 2011-2014
*diterbitkan di harian Analisa edisi 14 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar