Tak
ada pagi yang paling romantis selain pagi ini. Di mana embun dan gerimis
bertemu dengan mesra, menandaskan tiap butiran dahaga rindu. Apa kita seperti
embun dan gerimis itu? Yang saling tersipu malu. Entahlah, entah seperti apa
rupa pertemuan kita nanti. Masihkah seperti dulu? Saat pertama kali takdir memertemukan
kita.
Empat
tahun lalu, mulutku keluh. Semua kata seakan tersangkut di tenggorokan.
Seketika duniaku meredup. Saat kamu memutuskan untuk membebaskanku. Tepatnya
meninggalkanku tanpa janji, komitmen dan ikatan. Kamu benar-benar melepaskanku
seutuhnya. Sungguh, gerimis hari itu tidak seromantis gerimis-gerimis milik
kemarin, Han.
“Aku
ingin melepaskanmu. Membuat perempuan menunggu terlalu lama kurasa itu tidaklah
baik. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Dan tidak ada yang bisa
menjamin, apakah hati kita tak goyah. Jika takdir yang mempertemukan kita,
biarkan juga takdir yang menyatukan kita, Kay.”
Detik
itu di antara banyaknya daun kering yang menggantung pada ranting, hanya
selembar daun kering yang terjatuh. Kali ini terasa beda, sangat beda.
Tiba-tiba rasa perih yang luar biasa hadir tanpa diundang. Meski luka ini
terasa amat sakit, bagaimana mungkin aku bisa bebas darimu, Han. Sedangkan
sepotong hati ini sudah terekat padamu? Tidak, Han. Aku mencintaimu seperti
embun mencintai pagi.
Sedikit
pun hati ini tak menyesal. Tak usah merasa bersalah karena membuatku menunggu
lama. Bagiku pertemuan kita merupakan kecelakaan terindah yang pernah terjadi
di dalam perjalanan hidupku. Pertemuan kita yang pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya adalah sebuah kebetulan yang menakjubkan. Ya, kamu benar kita tidak
bisa memaksakan jalan ceritanya. Biarlah cerita kita mengalir apa adanya. Bagaimana
pun air sungai bernuara ke laut kan?
***
Ketahuilah
bahwa rasa ini tidak berubah, masih sebasah embun pagi. Bahkan, titik-titik air
yang tergores pada jendela kaca seakan melukiskan perasaan yang teramat lembut,
sangat lembut. Tak ada hal yang paling membahagiakan, selain pulang ke rumah
sendiri. Setelah waktu bersemayam lama mengajak kita untuk menggembara dan
menyusuri tiap jejak, mencari sebuah defenisi dan pemahaman tentang arti kita.
Dan
pada akhirnya, kita baru menyadari ternyata ada yang hilang dari jiwa ini,
ketika jarak terbentang jauh. Kini kita tahu bahwa diri ini tidaklah utuh dan tidak
kan pernah bisa utuh. Aku ingin segera pulang ke rumah –rumah yang selalu mampu
mengendapkan sepi sekaligus menciptakan ketenangan yang paling damai. Ya, rumahku
itu adalah kamu. Semuanya berpulang ke kamu.
Jarak
telah menggugah rindu, terasa bersedu-sedan. Sungguh, kangen kian
meronta-ronta, menelusup perlahan-lahan seperti air yang meresap pada tanah,
pun seperti angin yang berhembus. Biarlah rasa itu memenjarai batin. Biarkan
pula rintihan tetap menggema dalam ruang jiwa. Aku ikhlas, selagi rindu ini
masih milikmu.
Perjalanan
ini terlalu singkat untuk dinarasikan. Musabab, waktu tak cukup untuk
menjelaskan semuanya. Pun tidak dapat dideskripsikan, karena alfabet terasa
kurang untuk melukiskan apa yang terjadi. Maka biarkan ia mengalir seperti air.
Lantas, nikmati saja tiap cuil kisah yang sejatinya telah diskenariokan oleh
Maha Pemilik Hati. Ya, seaneh apa pun kehidupan, sudah sepatutnya kita syukuri.
Karena kehidupan itu sendiri merupakan keajaiban. Sama seperti kamu. Kamu
merupakan keajaiban aneh, yang tiba-tiba muncul dalam adaku. Tak terbantah
lagi, jika kehadiran engkau membuat perjalanan hidupku semakin beriak. Jangan
tanyakan kenapa, karena ini tak memiliki alasan.
***
Gerimis
belum beralih menjadi hujan. Masih jarum-jarum halus yang jatuh dan membasahi
segala sesuatunya. Dinginnya pagi menebus pori-pori. Sungguh, aku cemburu pada
romansa gerimis pagi dan tetesan embun. Betapa tidak? mereka menghabiskan waktu
yang cukup lama hingga rindu menuai dan mengalir.
“Duh,
pamali ah! Anak gadis pagi-pagi kerjaannya melamun aja,” ucap ibu menyapa.
Tapi, aku masih terpaku dan terjaga mengingat tentangmu. Hingga suara ibu hanya
berupa desauan dedaunan.
“Kay!”
Sekali lagi suara ibu menyapa. Dan aku tetap diam mendalam.
“Kay!”
Untuk kesekian kalinya suara ibu menggema dengan keras. Seketika menghentakan
lamunku yang tenang.
“E…
iya, Bu. Ada apa?” aku gelagapan. Ya, ampun bagaimana caranya kamu merengkuh
sadarku? Sampai-sampai suara ibu terasa seperti bahasa puitis milikmu yang
membuatku terhenyu.
“Ke
mana saja sih, Kay. Sudah tiga kali ibu memanggilmu. Apa kamu enggak dengar?”
tanya ibu agak kesal.
“Ya,
sedang bertualang menyusuri jejak kenangan kita lah.” Tentu saja bukan kalimat
ini yang kuucapkan pada ibu. Cukup hanya hatiku yang berkata dan mendengarnya.
“Ya,
enggak ke mana-mana lah, Bu. Dari tadi Kay, ada di sini saja,” jawabku
mengeles.
“Jasadmu
memang dari tadi di sini, tapi jiwanya sudah entah ke mana-mana,” ucap ibu
protes. “Ya uda, mandi dulu gi sana,” perintah ibu. Mungkin ibu pun dapat
membaca raut wajahku yang sudah terlihat aneh dan berbeda.
***
Han,
hari ini aku mengenakan kemeja warna hijau. Senada dengan jilbabnya. Lihatlah, betapa cantiknya aku bukan? Kamu
pernah mengatakan bahwa hijau itu melambangkan kesejukan dan keanggunan. Semoga
saja diriku terlihat seperti itu.
Kamu
tahu, Han. Inginku sederhana, sangat sederhana. Aku hanya ingin menikmati tiap
detik senyuman serta teduhnya kedua bola matamu. Karena senyumanmu yang
menenangkan itu, dapat memperbaiki hal yang salah di dalam hidupku. Dan tatapan
matamu yang memancarkan sinar, mampu menyinari hidupku yang pekat. Cukup, itu
saja! Maka biarkan aku menjelma menjadi daun yang selalu bersemi dihatimu.
Aku
bergegas menuju halte. Payung berwarna kuning mengembang bagai kuncup bunga
yang baru mekar, melindungiku dari tetesan gerimis. Mengikuti tiap jejak
basahnya. Bulir hujan di ujung daun menetes seperti telaga mata air. Ya, sebuah
pemandangan yang sering terlewatkan oleh kita. Keindahannya mampu menyusup
kedamaian ke landai hati. Jalanan begitu tampak sunyi. Mungkin banyak orang
yang memilih untuk tetap bersembunyi di balik selimut, melanjutkan sisa mimpi
tadi malam dalam kehangatan.
Meski jejak langkahku terhapus
gerimis, namun bayanganmu tetap berkelebat di dalam benakku. Memutar cerita
lama tentangmu. Terus-menerus mengikuti arahku. Hugh! Apakah banyak yang
berubah dengan dirimu? Entahlah, apa justru aku yang terkejut mengetahui segala
perubahanmu itu?
“Assalamualaikum, Kay!” Suara itu
berhembus lembut. Terasa akrab di telinga. Getar-getar aneh itu mencuat
kembali. Ah, siapa lagi kalau bukan kamu yang mampu menggetarkan perasaan ini.
Hari ini kamu tampak serasi mengenakan kaos oblong berwarna hijau-hitam,
dibalut jaket hitam.
“Walaikumsalam, Han!” sahutku pelan.
Kamu membuka penutup kepalamu. Merapikan rambut yang berantakan dan basah
dengan jemari jangkungmu. “Tu, kan. Uda berapa kali kubilangi. Kalau hujan itu,
pakai payung,” ucapku kesal.
“Hanya gerimis kok, pakai jaket dan
topi aja uda cukuplah,” ujarmu santai. Kesalku semakin menjadi.
“Apa tadi, Kamu bilang ‘hanya’!
Justru gerimis itulah yang lebih bahaya daripada hujan deras. Kalo kamu sakit
gimana?” Nadaku terasa menahan kemarahan walaupun di ujungnya tersimpan
kegetiran dan khawatir yang mendalam.
“Kan ada kamu yang akan jagai,”
ujarmu dengan santai. Berlagak menggodaku.
Riak
tawa kita pun pecah di atas gerimis. Kamu masih yang dulu, tak ada yang
berubah. Seperti biasanya, kamu berceloteh menceritakan pengalamanmu selama
berada di kota asing itu. Mulai arsitek bangunan tempat kuliahmu yang eksotis.
Gedung-gedung yang lebih menjulang tinggi daripada kota kita serta
masyarakatnya yang tidak ramah. Sejarah dan budaya yang mereka rawat. Dialog
kita sudah melumer ke mana-mana. Tentangku dan tentangmu yang melebur menjadi
satu, hingga kita tak sadar waktu sudah mengalir ke ujung petang. Dan basah
masih membekas di pohon, dedaunan, pamflet toko, dan di segala tempat. Suasana
sangat bening ketika sepotong kalimat yang lama kunantikan itu, bersuara darimu.
Kali ini gerimis tidak tersenyum miris.
-a-, 2012-2014
Ayu Sundari Lestari, mahasiswa
bahasa dan sastra Indonesia UMN Al-Washliyah Medan dan bergiat di KOMA.
Karyanya telah dimuat di beberapa media massa.
eaaa, postingan sekaligus karya pertama saya yang dimuat di harian Medan Bisnis di awal tahun*
http://www.medanbisnisdaily.com/.../01/11/140100/gerimis/...
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/01/11/140100/gerimis/#.VLP5zcm6rG5
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/01/11/140100/gerimis/#.VLP5zcm6rG5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar