Dari
sini cerita akan menderit pada aliran waktu. Berdetak seiring detik-detik yang
bergeser. Alunan nada mulai mengalun dengan bait-bait puitis. Kita mengetahui
bahwa hidup terus bergerak, meskipun kita ingin menjadi diam. Manusia akan berubah
seiring waktu berjalan. Entah itu, berubah menjadi baik atau buruk. Inilah
alamiahnya kehidupan.
***
Kau dan aku dipersatukan oleh kata. Dunia
yang sama-sama kita sukai. Pada suatu senja takdir mempertemukan kita –di toko buku
Gramedia Medan Mal. Saat itu, tangan kita ingin meraih buku yang sama –bersampul
sehelai daun. Ada apa gerangan? Kenapa kita bisa memilih buku yang sama?
Entahlah. Tapi, ini sebuah kebetulan yang manis. Hanya senyuman yang terlukis
saat tatapan kita beradu.
“Hey, kamu ingin novel ini juga?” serumu
ramah.
“Sudah lama aku mengincar novel ini.
E… malah ketemu di sini,” ucapku.
“Kamu penyuka karya penulis ini?”
tanyamu antusias.
“Ya,” jawabku pendek.
“ Sama dong! Aku juga penggemar
beratnya.”
“Oya!”
Dan
atas nama kebetulan, nasib, takdir atau apalah sebutannya, sekali lagi kita
dipertemukan dalam universitas dan jurusan yang sama. Bedanya kau adalah kakak
kelasku.
Karena temu lebih sering dituai,
kita pun semakin dekat dan akrab. Mengenal sosokmu, bagiku suatu hal yang membahagiakan.
Betapa tidak? Darimu begitu banyak yang dapat aku pelajari. Kau selalu dapat menjadi
penyeimbang dalam hidupku.
Kau
tak pernah ragu dalam melangkah. Selalu penuh keyakinan melihat hari esok, esok
dan esoknya lagi. Banyak orang yang berkesimpulan bahwa dirimu adalah perempuan
berwatak keras. Ya benar, kaulah si keras kepala, tegar seperti karang yang
diterpa ombak. Tapi, mereka tak pernah tahu seperti apa kau sebenarnya. Di
balik ketegaran itu kau mempunyai sisi sentimentilmu sebagai perempuan yang
normal.
Aku
kagum padamu, Nai. Kau dapat bertahan di kota metropolitan ini hampir empat
tahun, tanpa menyusahkan orangtuamu. Kau adalah si anak nelayan yang garang
seperti ombak lautan. Sebagai perempuan kau menunjukkan kepadaku, bahwa kaum
kita tak selemah apa yang kebanyakkan orang pikirkan. Perempuan juga dapat
berdiri di atas kakinya sendiri.
***
Selalu
ada cerita yang aku temukan saat senja menyapa kita. Seperti senja milik
kemaren yang dihiasi oleh senyumanmu, Nai. Yang dari tadi tak lelah merekah
dari sudut bibirmu. Ya, tadi pagi, aku menemanimu mengambil honor pertamamu.
Tulisanmu dimuat di media. Selamat Nai
–sahabatku yang keras terhadap keinginannya.
Langkahmu terus melaju.
Piala-pialamu, berjejer menghiasi rak lemari di ruang tamu. Hampir tiap event kau berhasil menjadi sang juara.
Kau tak pernah berteman pada kata menyerah. Selalu mencari jalan, meski
kemungkinannya hanya satu persen dari seratus persen. Itulah dirimu. Kini, bukan
saja rasa kagum, tapi aku bangga memiliki sahabat sepertimu, Nai.
Lalu bagaimana dengan aku? Aku tetap
berjalan meskipun lambat. Perlahan-lahan, tertatih-tatih dan terseok-seok
menaiki anak tangga. Kau adalah suluhku untuk tetap bergerak, Nai.
Kini
kau terlihat rapuh. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Kau berubah sejak
kembali dari kampung halamanmu. Aku seperti berhadapan dengan sebuah patung. Kau
membisu dan membeku. Ada apa denganmu, Nai?
Ke mana perginya wajah cerahmu?
Sampai
kapan bayang-membayangi? Bila tanya tetap juga menjadi tanya. Terus-menerus
saling menebak, saling menerka dan saling menerawang. Kau diam, memasung semua
kata-kata. Tak ada sahabatku yang biasanya cerewet, bising, ramai dan semangat.
Cerita
hari ini tentang senja yang bergerimis. Kau meresapi sakit yang tersemat di
dalam relungmu tanpa membaginya denganku. Ah, ingin rasanya kubunuh lelaki
jahanam itu, Nai. Lantas, mengirimkannya ke tempat terkutuk. Maaf Nai, bila aku
begitu kasar terhadap lelaki yang paling kau hormati. Itu lumrah, Nai. Memang
seperti itu watak aslinya manusia yang tengah tersulut emosi.
“Dia
ayahku, Sa,” ucapmu bergetar.
Akhirnya
kau tak kuasa menyimpan beban pikiranmu. Wajahmu penuh dengan kebingungan,
kegamangan. Aku seperti tidak berhadapan dengan sahabat yang kukenal selama
bertahun-tahun. Ah, ternyata lelaki itu adalah ayahmu sendiri.
“Ayahmu?”
tanyaku menyakinkan.
“Dia
menginginkan aku pulang,” jawabmu datar. “Aku dijodohi sama Pak camat.
Pinangannya sudah diterima keluargaku. Aku harus bagaimana, Sa?” Kegelisahan
itu benar-benar pecah.
“Apa?
nikah!” ucapku tak percaya.
“Pak
camat itu sudah punya istri tiga, Sa,” tambahmu.
“Sebaiknya
temui ayahmu, katakan apa keinginanmu, impianmu dan masa depan yang telah kau
rencanakan, Nai,” ujarku mantap.
Aku
tahu, itu bukanlah bagian dari rencana hidupmu untuk saat ini, Nai. Apalagi kau
harus menikah menjadi istri ke empat. Ini benar-benar sangat jauh dari apa yang
kau impikan.
“Agak
sulit untukku mengubah cara pandang dan pikiran ayah. Dia pasti akan marah
besar.”
”Itu
resikonya. Tapi, prinsip tetaplah prinsip. Ini masalah tentang hidupmu, yang
nantinya akan kau jalani, Nai. Bukan orangtuamu yang menjalaninya. ”
“Tapi,
ini bukan tentangku tapi tentang nasib keluargaku juga, Sa. Kalau kau berada di
posisiku, apa yang akan kau lakukan?”
“Mengajak
orangtuaku untuk duduk bersama. Menjelaskan apa keinginanku, mimpiku. Bicara
dari hati ke hati. Kalau tetap juga nggak bisa. Dengan terpaksa aku akan melawan.”
Sungguh,
tak ada niatku untuk menyuruhmu menjadi anak durhaka. Kau boleh melawan,
membangkang, dan memberontak, selagi kau merasa itu benar dan pantas untuk
diperjuangkan. Kau mempunyai hak untuk itu. Karena tidak ada yang sia-sia dari
suatu pemberontakkan.
Nai,
ada yang kita lupakan. Bahwa semakin hebat hidup yang kita jalankan, semakin
hebat juga tanggung jawab yang kita pikul, semakin hebat pula tantangan yang
menghadang kita. Jangan pernah takut, Nai. Aku tak kan ke mana-mana. Apalagi
niat untuk membuatmu sendiri.
Lihat,
kini senja menggantung. Ia tak pernah lagi bisa genap menjadi malam, Nai. Tak
lagi gelak tawa, celoteh maupun perdebatan kita tentang keistimewaan novel. Kau
pernah bilang, biarkan kita menulisnya sendiri, hingga suatu saat nanti kita
sadari, seberapa istimewanya cerita kita dan seberapa dalamnya makna yang bakal
kita temukan. Ya, kau benar, hari ini aku mengerti dan paham bahwa senja benar-benar
sunyi. Hambar tanpa kita.
Dunia
KOMA, 03.01.13 - 09.01.13
*diterbitkan di Harian Medan Bisnis, edisi 1 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar