Januari 2010
Hati
lebih tahu ke mana seharusnya ia bermuara. Karena hati tak pandai berbohong,
maka simaklah ia dengan takzim.
***
Hari ketiga di bulan Januari, yang susah
diterka serupa suasana langit. Banyak yang ingin kukatakan, banyak yang ingin
kuceritakan, banyak yang ingin kutanyakan padamu, sungguh. Namun, semuanya,
menguap begitu saja ketika kamu sudah berada di depanku. Sehingga, kesunyian
tak kan membiarkan hati menjadi diam. Pun malam yang tak bisa memeluk kantuk.
Terus-menerus bergemuruh, bergejolak. Hati bertanya, “Seberapa kejam rindu sudah
membunuhku, hah?”
Pagi ini, aku
dikejutkan pada sebuah kenyataan. Ya, tanpa kusadari selama ini semua tertuju
pada satu arah. Pada satu tempat. Laiknya gerimis yang diam-diam membuat kita
basah. Seperti itu pula benih perasaan itu tumbuh. Bahwa kamu-lah dibalik semua
tiap huruf yang terukir dalam puluhan puisiku. Pun cerita-cerita yang tertulis
di ratusan lembar kertas. Hanya kamu yang ada di sana. Kamu tokoh utama di
setiap ceritaku.
Benar, tanpa menyadarinya aku telah terjatuh,
terjatuh cukup dalam. Mungkin jika ditelisik, sedari awal kamu telah mengambil
ruang di hatiku. Tapi bodohnya, lidahku terus menyangkal, terus berdusta.
Karena bagiku hal itu sesuatu yang tidak mungkin, mustahil, tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin bisa aku menyukaimu? Seseorang yang telah kuanggap teman yang
paling dekat. Biarlah rasa itu tetap
tersimpan rapi di tempat terbaik. Hati.
Agustus 2011
Aku
menyukai gerimis seperti aku menyukaimu. Aku mencintai kata seperti aku
mencintaimu. Aku berkasih dengan sunyi seperti aku berkasih denganmu. Aku
memercayai bahwa Tuhan itu ada seperti aku memercayai bahwa rasa itu ada.
***
Rasa itu semakin tumbuh dan berkembang dengan
baik tanpa dirawat. Bagaikan rumput liar di padang ilalang. Semua berjalan
seperti biasa. Aku dan kamu menjalani hari yang biasa. Tak ada yang beda
kecuali hatiku. Ya, tanganku selalu dingin setiap kali bertemu denganmu. Aku canggung
juga nyaman di dekatmu. Jangan tanyakan bagaimana jantungku berdebar kencang.
Mungkin jika ada alat pendekteksi pacu jantung, akan diperoleh angka di atas
normal. Pipiku? Ah, kurasa sudah menyamai merahnya tomat.
Walau tak pernah tersampaikan, mesti kamu tak
pernah tahu. Tapi, hati selalu tahu
sebesar apa aku menyukaimu. Jadi, cukup hati yang berperan. Karena perasaan ini
jauh lebih indah bila dimplentasikan dalam perbuatan daripada diucapkan tanpa
berbuat apa-apa. Kesimpulan konyol yang
aku buat ini, entah sebagai keyakinan atau sekadar alibiku saja. Entahlah,
terkadang semuanya terlihat kabur.
Juni 2012
Mencintaimu dalam diam, bukan berarti aku tak
pernah terluka. Sama seperti kebanyakan perempuan lain yang sedang bahagia,
marah, kecewa, sedih dan cemburu pada pacarnya. Aku pun juga merasakan hal itu.
Hmm, saat kamu sedang jatuh hati pada seseorang otomatis aku terluka parah. Namun
sialnya aku justru menguatirkanmu. Kadang aku benci pada diriku sendiri. Apa
aku yang membingungkan hati atau hati yang menipuku. Entahlah daya nalarku tak
berfungsi sama sekali.
Anehnya aku tak bisa mengenyahkan kamu dari
hati dan pikiranku. Jujur aku bahagia melihat ekspresimu yang terserang virus
merah muda. Tapi sayangnya, kita bernasib sama. Cintamu bertepuk sebelah
tangan. Apakah aku bahagia? Tidak, aku sangat mencemaskanmu. Sungguh.
Patah hati membuatmu terpuruk. Semuanya
berantakan. Kamu berhenti menulis. tak ada lagi kegiatan mendaki gunung. Temu
pun menjadi hal yang jarang kita tuai. Dan rindu kembali lahir mengisi hari-hariku
yang bertudung gelisah.
September 2013
Kamu tahu sahabatku, Zur. Akhir-akhir ini dia
sangat berisik. Saat kepalaku pusing tujuh keliling mengerjakan tugas akhir
kuliah, dia selalu mengungkit tentangmu yang katanya banyak persamaan di antara
kita. Tak peduli di mana pun itu, halte, angkot, kelas, bahkan warung emperan
tempat biasa kami makan. Jujur aku
sedikit kaget dan takut. Apakah aku sudah ketahuan? Apakah begitu jelas aku
menyukaimu?
Ya, pada bibir senja yang indah. Saat mega
langit bernuansa romantik. Matahari merah saga seperti lampion taman bunga.
Halte, tempat biasa aku dan Zur berbagi kisah, mimpi, dan ide. Mengupas habis
tentang diri sendiri tanpa mempedulikan hari semakin redup. Dialog-dialog
mengalir, melumer ke mana-mana.
“Ara, kamu dan Ari pasangan yang serasi,”
celutuk Zur. Hampir membuat jus jeruk yang sedang kuminum muncrat.
“Yah, ide gila dari mana itu,” ucapku terbata
dan setengah teriak dengan degup jantung yang berdetak tak beraturan.
“Lihat ya, kamu dan Ari punya banyak kesamaan.
Sama-sama cuek, sok dingin padahal peduli banget. Terus… apalagi ya? oya, sama-sama suka travelling, suka nonton drama,
suka puisi.” cerocos Zur sambil garuk-garuk kepala.
“Uda deh… sejak kapan pula kamu beralih
profesi jadi analitator?” aku masih menyangkalnya.
“Nah, ini yang paling kalian punya radar yang
kuat.”
“Berhentilah
berimajinasi. Semua itu khayalanmu saja.”
“Apa sih yang enggak mungkin di dunia ini, Ra.
Bukankah jodoh terbaik itu yang terdekat dengan kita? Itu kan yang sering kamu
bilang.”
“Jangan buat lelucon yang sama sekali tak
lucu.”
“Siapa yang melucu? Aku serius lagi. Aku
benar-benar rela melepaskan sahabatku, jika itu Ari.”
“Yah, apa-apaan sih. Dia aja suka orang lain,”
ujarku sedikit melemah. Seakan tersimpan nada kecewa di dalamnya.
“Itulah bedanya antara kamu dengan Ratna.”
“Apa bedanya?”
“Ari sangat berhati-hati dan perlahan-lahan
mendekatimu. Ibaratnya kalian berada di posisi yang sejajar. Dia seperti
menunggu. Menunggumu selesai kuliah, menunggumu mengejar impianmu dan
menunggumu untuk siap nikah. Kalau sama
Ratna, Ari itu megebu-ngebu dan sedikit memaksa.” Jiwa analisis Zur benar-benar
muncul.
“Analisis yang tidak akurat,” ucapku ketus.
“Ara, kita tak pernah tahu apa yang akan
terjadi nanti. Meski kita telah memilih dermaga, tetap saja hati lebih tahu di
mana sepantasnya ia bermuara.” Tutup Zur mengakhir perdebatan sengit kami.
Desember
2014
Ada yang menunggumu. Ada yang menuju ke arahmu. Tak peduli harus
berapa banyak abad yang terlewati oleh harapan yang tak mendasar.
***
Perpaduan
bunyi gerimis dengan alunan lagu kesukaanmu menjadi arasemen latar pagi yang
paling romantis. Diam-diam menghanyutkan jiwa pada keheningan yang sendu. Teduh.
Matahari bersembunyi di balik punggung awan, menawan kehangatan pagi. Bahagia
juga penuh tanda tanya. Secarik pesan darimu terbit pada layar handphone-ku “Ara, sebenarnya kemaren ada yang mau ku omongin, tapi keburu sore?”
Kadang aku bertanya-tanya apakah logika telah mati
ditikam ketidakwarasan. Setiap hal yang berhubungan dengan kamu walaupun itu kecil,
tetap saja mampu membuat hatiku riang menari sepanjang hari. Aku tak pernah
meneleponmu, tapi aku berharap kau meneleponku. Aku tak pernah menemuimu, tapi
aku berdoa dapat bertemu denganmu.
Masih
melodi romantis menemani. Aku membalas
pesanmu dengan debaran jantung yang tak dapat dilukiskan. Jari-jari yang gugup,
mengetik tuts-tuts menjadi rangkaian kata yang sederhana.
“Omongin soal apa, Ri?”
“Enggak
urgen kok, nanti aja kutelepon ya.” Balasmu.
“Ok
dech!”
.
Note:
Ahhh… Ara menyukai Ari! Bagaimana dengan Ari
ya? Penasaran apa Ari itu juga sama Ara? atau jangan-jangan malah menyukai Zur
yang kepo setengah mati menjodohkan Ara sama Ari? tunggu cerita selanjutnya ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar