Minggu, 10 Januari 2016

Ara & Ari: Jawab Aku 2010 (Part 1)



Januari 2010
Hati lebih tahu ke mana seharusnya ia bermuara. Karena hati tak pandai berbohong, maka simaklah ia dengan takzim.
***
Hari ketiga di bulan Januari, yang susah diterka serupa suasana langit. Banyak yang ingin kukatakan, banyak yang ingin kuceritakan, banyak yang ingin kutanyakan padamu, sungguh. Namun, semuanya, menguap begitu saja ketika kamu sudah berada di depanku. Sehingga, kesunyian tak kan membiarkan hati menjadi diam. Pun malam yang tak bisa memeluk kantuk. Terus-menerus bergemuruh, bergejolak. Hati bertanya, “Seberapa kejam rindu sudah membunuhku, hah?”

Pagi ini, aku dikejutkan pada sebuah kenyataan. Ya, tanpa kusadari selama ini semua tertuju pada satu arah. Pada satu tempat. Laiknya gerimis yang diam-diam membuat kita basah. Seperti itu pula benih perasaan itu tumbuh. Bahwa kamu-lah dibalik semua tiap huruf yang terukir dalam puluhan puisiku. Pun cerita-cerita yang tertulis di ratusan lembar kertas. Hanya kamu yang ada di sana. Kamu tokoh utama di setiap ceritaku.

Benar, tanpa menyadarinya aku telah terjatuh, terjatuh cukup dalam. Mungkin jika ditelisik, sedari awal kamu telah mengambil ruang di hatiku. Tapi bodohnya, lidahku terus menyangkal, terus berdusta. Karena bagiku hal itu sesuatu yang tidak mungkin, mustahil, tidak masuk akal. Bagaimana mungkin bisa aku menyukaimu? Seseorang yang telah kuanggap teman yang paling dekat.  Biarlah rasa itu tetap tersimpan rapi di tempat terbaik. Hati.     

Agustus 2011
Aku menyukai gerimis seperti aku menyukaimu. Aku mencintai kata seperti aku mencintaimu. Aku berkasih dengan sunyi seperti aku berkasih denganmu. Aku memercayai bahwa Tuhan itu ada seperti aku memercayai bahwa rasa itu ada.
***
Rasa itu semakin tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa dirawat. Bagaikan rumput liar di padang ilalang. Semua berjalan seperti biasa. Aku dan kamu menjalani hari yang biasa. Tak ada yang beda kecuali hatiku. Ya, tanganku selalu dingin setiap kali bertemu denganmu. Aku canggung juga nyaman di dekatmu. Jangan tanyakan bagaimana jantungku berdebar kencang. Mungkin jika ada alat pendekteksi pacu jantung, akan diperoleh angka di atas normal. Pipiku? Ah, kurasa sudah menyamai merahnya tomat. 

Walau tak pernah tersampaikan, mesti kamu tak pernah tahu.  Tapi, hati selalu tahu sebesar apa aku menyukaimu. Jadi, cukup hati yang berperan. Karena perasaan ini jauh lebih indah bila dimplentasikan dalam perbuatan daripada diucapkan tanpa berbuat apa-apa.  Kesimpulan konyol yang aku buat ini, entah sebagai keyakinan atau sekadar alibiku saja. Entahlah, terkadang semuanya  terlihat kabur.

Juni 2012
Mencintaimu dalam diam, bukan berarti aku tak pernah terluka. Sama seperti kebanyakan perempuan lain yang sedang bahagia, marah, kecewa, sedih dan cemburu pada pacarnya. Aku pun juga merasakan hal itu. Hmm, saat kamu sedang jatuh hati pada seseorang otomatis aku terluka parah. Namun sialnya aku justru menguatirkanmu. Kadang aku benci pada diriku sendiri. Apa aku yang membingungkan hati atau hati yang menipuku. Entahlah daya nalarku tak berfungsi sama sekali.

Anehnya aku tak bisa mengenyahkan kamu dari hati dan pikiranku. Jujur aku bahagia melihat ekspresimu yang terserang virus merah muda. Tapi sayangnya, kita bernasib sama. Cintamu bertepuk sebelah tangan. Apakah aku bahagia? Tidak, aku sangat mencemaskanmu. Sungguh.

Patah hati membuatmu terpuruk. Semuanya berantakan. Kamu berhenti menulis. tak ada lagi kegiatan mendaki gunung. Temu pun menjadi hal yang jarang kita tuai. Dan rindu kembali lahir mengisi hari-hariku yang bertudung gelisah.

September  2013
Kamu tahu sahabatku, Zur. Akhir-akhir ini dia sangat berisik. Saat kepalaku pusing tujuh keliling mengerjakan tugas akhir kuliah, dia selalu mengungkit tentangmu yang katanya banyak persamaan di antara kita. Tak peduli di mana pun itu, halte, angkot, kelas, bahkan warung emperan tempat biasa kami makan.  Jujur aku sedikit kaget dan takut. Apakah aku sudah ketahuan? Apakah begitu jelas aku menyukaimu?

Ya, pada bibir senja yang indah. Saat mega langit bernuansa romantik. Matahari merah saga seperti lampion taman bunga. Halte, tempat biasa aku dan Zur berbagi kisah, mimpi, dan ide. Mengupas habis tentang diri sendiri tanpa mempedulikan hari semakin redup. Dialog-dialog mengalir, melumer ke mana-mana.     

“Ara, kamu dan Ari pasangan yang serasi,” celutuk Zur. Hampir membuat jus jeruk yang sedang kuminum muncrat.

“Yah, ide gila dari mana itu,” ucapku terbata dan setengah teriak dengan degup jantung yang berdetak tak beraturan.

“Lihat ya, kamu dan Ari punya banyak kesamaan. Sama-sama cuek, sok dingin padahal peduli banget. Terus… apalagi ya? oya,  sama-sama suka travelling, suka nonton drama, suka puisi.” cerocos Zur sambil garuk-garuk kepala.

“Uda deh… sejak kapan pula kamu beralih profesi jadi analitator?” aku masih menyangkalnya.

“Nah, ini yang paling kalian punya radar yang kuat.”

 “Berhentilah berimajinasi. Semua itu khayalanmu saja.”

“Apa sih yang enggak mungkin di dunia ini, Ra. Bukankah jodoh terbaik itu yang terdekat dengan kita? Itu kan yang sering kamu bilang.”

“Jangan buat lelucon yang sama sekali tak lucu.”

“Siapa yang melucu? Aku serius lagi.  Aku  benar-benar rela melepaskan sahabatku, jika itu Ari.”

“Yah, apa-apaan sih. Dia aja suka orang lain,” ujarku sedikit melemah. Seakan tersimpan nada kecewa di dalamnya.

“Itulah bedanya antara kamu dengan Ratna.”

“Apa bedanya?”

“Ari sangat berhati-hati dan perlahan-lahan mendekatimu. Ibaratnya kalian berada di posisi yang sejajar. Dia seperti menunggu. Menunggumu selesai kuliah, menunggumu mengejar impianmu dan menunggumu untuk siap nikah.  Kalau sama Ratna, Ari itu megebu-ngebu dan sedikit memaksa.” Jiwa analisis Zur benar-benar muncul.

“Analisis yang tidak akurat,” ucapku ketus.

“Ara, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Meski kita telah memilih dermaga, tetap saja hati lebih tahu di mana sepantasnya ia bermuara.” Tutup Zur mengakhir perdebatan sengit kami.

Desember 2014
Ada yang menunggumu. Ada yang menuju ke arahmu. Tak peduli harus berapa banyak abad yang terlewati oleh harapan yang tak mendasar.
***
            Perpaduan bunyi gerimis dengan alunan lagu kesukaanmu menjadi arasemen latar pagi yang paling romantis. Diam-diam menghanyutkan jiwa pada keheningan yang sendu. Teduh. Matahari bersembunyi di balik punggung awan, menawan kehangatan pagi. Bahagia juga penuh tanda tanya. Secarik pesan darimu terbit pada layar handphone-ku “Ara, sebenarnya kemaren ada yang mau  ku omongin, tapi keburu sore?”

Kadang aku bertanya-tanya apakah logika telah mati ditikam ketidakwarasan. Setiap hal yang berhubungan dengan kamu walaupun itu kecil, tetap saja mampu membuat hatiku riang menari sepanjang hari. Aku tak pernah meneleponmu, tapi aku berharap kau meneleponku. Aku tak pernah menemuimu, tapi aku berdoa dapat bertemu denganmu.

            Masih melodi  romantis menemani. Aku membalas pesanmu dengan debaran jantung yang tak dapat dilukiskan. Jari-jari yang gugup, mengetik tuts-tuts menjadi rangkaian kata yang sederhana.

“Omongin soal apa, Ri?”

            “Enggak urgen kok, nanti aja kutelepon ya.” Balasmu.

            “Ok dech!”
.
Note:
Ahhh… Ara menyukai Ari! Bagaimana dengan Ari ya? Penasaran apa Ari itu juga sama Ara? atau jangan-jangan malah menyukai Zur yang kepo setengah mati menjodohkan Ara sama Ari? tunggu cerita selanjutnya ya...








Tidak ada komentar:

Posting Komentar