Sabtu, 07 Juli 2012

Riak-riak Rindu

Cerpen yang dimuat di harian Sinar Harapan, 07 Juli 2012

Saat malam mulai menggamit sepi, selalu ada riak-riak rindu terdengar. Suara yang berasal dari relung kita. Mendesau melalui celah dedaunan. Bunyi jangkrik mengalun seperti tangga-tangga nada seirama dengan detak jantung kita. Suara yang saling sahut-menyahut satu sama lainnya. Riak yang tak mampu membuatku terdekap mimpi. Walapun bisa, bayanganmulah yang akan menyelinap dalam tidurku.
Bila riak rindu itu sudah datang, ia menjelma seperti angin yang mendesirkan aromamu. Dan ruang hari terasa sesak karena rindu. Ya, aku terjerat terlalu dalam di hatimu. Sebenarnya, rindu ini sangat menyiksa. Betapa tidak? Wajahmu berkelebat dalam mata hatiku. Rindu telah mengacaukan semua aktivitasku. Aku tak punya daya melawannya, kecuali diam menerima kedatangannya.      
Terkadang riak-riak rindu itu juga sedikit menggoda. Ya, sejuknya embun yang kerap kaukirimkan banyak mengalirkan cerita tentang dinginnya hati kita. Kadang pula hangat mentari dapat membakar hatiku dengan cemburu. Lantas, aku penasaran seperti apa rupa rindumu? Apa pernah rasa keraguan melindap di jiwamu? Pasalnya, tak ada fotoku yang menghiasi ponsel, notebook dan dompet milikmu. Kau juga tidak pernah merintih kesakitan oleh rasa cemburu maupun rindu.
“Rik, Apa kau tak pernah merinduiku?” tanyaku.
“Terlalu munafik bila aku menjawab tidak, Lis. Aku adalah lelaki yang ingin selalu berada dalam sisimu.”
“Terus, kenapa kau tak menyimpan fotoku di dompet dan ponselmu?”
“Karena wajahmu tak layak disimpan di sana. Wajahmu telah terkanvas dalam ceruk hatiku. Jadi, kapan pun dan di mana pun aku bisa melihatmu,” ucapmu sembari menatapku dengan lekat. Tatapanmu sungguh sangat teduh. Sorot mata itu memancarkan kejujuran.“Rinduku serupa embun yang memadamkan amarahmu,” tambahmu.
Dedaunan berguguran diterpa angin, jatuh mengemulai lembut menimpa kepala kita. Altar langit tergurat senja. Wajah kita berdua terbias semburat cahaya senja sehingga aku tak dapat melihatmu dengan jelas. Gelora hati kita berdansa di ujung cakrawala. Ya, Kau lelaki yang mampu mendebar-debarkan jantungku. Tiap kata yang terlontar dari mulutmu membuatku melayang ke langit ketujuh. Kau layaknya seorang punjangga.  
Kau kerap mengatakan, bahwa rindu itulah yang justru mengikat jarak yang terbentang antara kita. Ia merupakan tali yang kuat dalam menautkan jiwa kita. Karena rindu adalah panggilan yang paling tulus dari palung sukma. Rindumu-lah yang selalu mengingatkanmu padaku, bahwa ada seorang perempuan yang menanti kepulanganmu.  
            “Lis, sepulang aku dari Palestina, aku akan langsung melamarmu,” ucapmu penuh keyakinan.
            “Melamar apa? Kerjaan, Rik?” Aku tersenyum menahan tawa, melihat ekspresi wajahmu. Aku berpura-pura tak mengerti maksudmu, layaknya orang yang lugu.
            “Ya, kau benar sekali! Kerjaan sebagai suamimu,” jawabmu kesal.
            “Ah…ah…ah…” Kali ini tawaku tak bisa lagi kutahan, aku tertawa terbahak-bahak. “Kalau mau jadi suamiku, banyak syarat yang harus kaupenuhi.” Sambungku.
            “Syarat apapun itu, aku akan memenuhinya.”
            “Berikan aku alasan, mengapa aku harus menerimamu?”  
            “Karena aku adalah lelaki yang ingin selalu berusaha untuk membahagiakanmu.”
            “Apa jaminannya?”
            “Aku telah memberikan hatiku sepenuhnya padamu. Apa itu belum cukup?”
Apakah benar ucapanmu? Pantaskah aku menanam kepercayaan padamu? Embusan lirih itu yang sebenarnya menjadi harapanku. Harapan yang membuatku bersabar menanti kedatanganmu. Tapi, benarkah itu? Aku berharap itu bukan hanya sekadar ilusi saja. Bila kau berani ingkar, mungkin aku tak dapat jatuh hati untuk kedua kalinya. Kau tahu sendiri kan? Aku perempuan yang susah untuk jatuh hati dan mengakuinya.
***
Ya, sepenuhnya ini bukan salahmu. Aku memang tak menahan kepergianmu, justru mendukungmu sepenuhnya. Kau tahu mengapa aku melakukan hal itu? Karena aku ingin belajar berdamai dengan pekerjaanmu dan perasaan khawatirku.
Sebenarnya dari awal, aku tidak menyukai pekerjaanmu itu. Terlalu banyak resiko yang mengancam keselamatanmu. Dulu, tiap kali kau mengatakan kalau akan berangkat bertugas, aku akan merengek-rengek memohon agar kau batalkan kepergianmu. Bahkan, aku pernah meminta padamu untuk meninggalkan pekerjaan itu dengan alasan klasik. Karena permintaan itu, kita saling diam-diaman berminggu-minggu.
Ya, saat jeda waktu itulah, aku mencoba untuk mengerti dan berusaha berdamai dengan profesi yang kau geluti. Rindu mencekapku erat, hingga aku sulit menhirup udara. Musabab, udaraku adalah dirimu. Mulai sejak itu, aku tak pernah mencuatkan keinginan itu lagi.
Setiap kali kau bertugas, aku berteman dengan televisi -menunggu pemberitaan tentangmu. Aku merasa tenang bila telah melihat dirimu di televisi dengan seragam merah hitam. Kau terlihat gagah mengenakannya. Dengan suara khasmu yang kerap membisik hatiku, kau mengabarkan berita kepada pemirsa. Namun, tidak bagiku. Kau mengalirkan kabar bahwa dirimu dalam keadaan yang baik-baik saja di sana.
Seperti biasa, pemandangan di belakangmu selalu sama. Gumpalan debu yang tebal dan puing-puing terserak di mana-mana. Pernah suatu hari kau sangat berhasil membuatku cemas, saat itu kau sedang meliput granat yang jatuh di rumah penduduk. Darahku membeku bila mengingat kejadian itu. Detak jantung berdegup tak menentu. Hampir saja granat itu membelok ke arah tempatmu.
Ya, kau benar, setiap peperangan selalu meninggalkan luka yang mendalam. Jerit tangis tak usai mewarnainya. Rintihan korban tak akan henti. Masa depan anak-anak menjadi suram. Darah mengalir sebegitu mudahnya. Nyawa sama sekali tak berarti. Banyak para istri yang kehilangan suaminya maupun anak yang kehilangan ayahnya. Luka itu tak akan sembuh hingga tujuh keturunan, bahkan tergores abadi.
Banyak cerita yang mengalir dari sepanjang perjalananmu di negara yang berkecamuk. Kisah tentang anak-anak yang tak berani lagi untuk memiliki impian, bahkan lupa bagaimana caranya tersenyum. Kota tenggelam dalam kelam kepedihan.   
***
Waktu merambat pelan, sangat pelan. Dari detik ke detik, menit ke menit merajut sabar dalam penantian. Gelisah kian menggelayut di kelopak hati. Jujur, kali ini khawatirku mencuat begitu besar. Aku takut jika kejadian tempo lalu terulang lagi. Kabarmu sempat menghilang dan dicuragai gugur dalam tugas. Kau menghilang entah ke mana. Pihak stasiun televisi swasta-tempatmu bekerja pun tak mengetahui keadaanmu. Dan itu adalah hal yang menyengsarakan diriku.
“Kok diam? Kan aku perginya hanya seminggu,” ujarmu.
“Aku takut,” jawabku.
“Apa yang kau takutkan? Kau takut aku tak kembali?”
Aku hanya menganggukan kepala.
“Aku pasti akan kembali dengan selamat,” ucapmu meyakinkanku.
“Kau janji ya.”
“Ya, aku janji,” ucapmu sambil menjulurkan keliking jarimu padaku dan aku menyambutnya.
Sebuah janji yang mampu mengantarkan kepergianmu dengan senyuman dan keikhlasan. Aku kerap menitipkan doa untukmu dalam sujudku. Berharap kau diberi kemudahan di tiap langkahmu.
Tiba-tiba aku teringat pada perkataanmu yang mampu memudarkan khawatirku sedikit. Kau bilang, kau dapat merasakan apa yang kurasakan. Dan di mana pun aku berada, kau selalu tahu. Kau selalu bisa menjumpaiku sekalipun aku berada di planet Pluto. Dirimulah yang paling memahami diriku, bahkan lebih dari diriku sendiri. Kau selalu bisa membaca pikiran dan perasaanku.
Dulu, jauh sebelum pertemuan kita terjadi. Aku perempuan yang munafikan arti sebongkah rasa. Sama sekali tak terpikir untuk rencana sebuah pernikahan. Tapi, hadirmu mampu mengendapkan keraguanku. Kau banyak mengajarkanku hal-hal yang baru dengan cara yang tak biasa. Aku pun tidak tahu apa membuatku jatuh hati kepadamu. Entahlah, yang aku tahu, diriku merasa nyaman setiap berada di dekatmu. Sejak kau mewarnai hariku, aku tak pernah lagi merasa kesepian.
Dan aku percaya, pada akhirnya, riak-riak rindu ini tak akan pernah berhenti, tak pernah pula mati dalam relung kita. Musabab rasa yang menautkan kita terus-menerus bergelora. Ya kan, sayang?
Dunia KOMA, Juni 2012



                                                                                                 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar