Kenanganlah yang
membuatku masih ada di sini. Jika nanti aku benar-benar rapuh dan hancur
menjadi abu, menyatu dengan udara. Gegaslah, kau ulur tanganmu. Sebelum ragaku kan menghilang.
***
Bila dedaunan dapat
bercerita, berarti ia pun merekam semuanya. Tentang pertemuan, tawa, airmata
dan perpisahan. Ia akan berkisah prihal kita, yang kerapkali melebur menjadi
satu. Dulu, kita suka melakukan apa pun di sini. Mengembangkan kedua tangan
menyambut tiap dedaunan yang jatuh,
bermain atau merajuk dan meringkuk di sini setiap kali hati kita sedang sedih.
Bukit ini dihiasi
pepohonan rindang, udara sejuk, kebun teh yang berbaris rapi di bawah bukit.
Kehijauan yang tenang nan lembut, dan suara aliran sungai. Ah, tak perlu
kujelaskan mengapa kita begitu menyukai suasana di sini.
Biasanya, tiap sore kita
akan bermain sepeda menjelajahi seluk-beluk kebun teh, menaklukan jalur yang
terjal. Dan aku yang selalu berdiri di belakangmu sambil memegang erat bahumu.
Awan berarak-arak mengikuti ke mana pun laju sepeda ini berarah. Kau terus
mendayungnya, meluncur bebas di tiap penurunan. Sedangkan, aku berteriak
histeri menahan ketakutan.
Para pemetik teh akan
selalu marah-marah setiap kita melewati jalan kecil, yang hanya bisa dilalui
dengan jalan kaki. Mereka mengatakan kalau kita adalah anak-anak yang nakal,
kerap membuat ricuh. Namun, kita hanya membalasnya dengan senyuman sembari
mengangguk, sebagai tanda minta maaf.
Tapi, di antara itu
semua ada yang paling kita sukai, apalagi kalau bukan dedaunan. Entah dimulai
sejak kapan. Kita selalu menyimak bagaimana ia berdesau, memerhatikan tiap
lekuknya, melihatnya menari-nari di udara dan apa pun yang dilakukannya. Ya,
daun itu sangat indah hingga kita terpesona padanya.
Ingatkah? Pada saat kita
berlomba-lomba mengumpulkan dedaunan yang berguguran dengan bentuk yang sama. Dan yang kalah akan
mendapatkan hukuman. Ya, kau selalu kalah. Dengan tawa yang rekah, aku akan
langsung menunggangi punggungmu. Kau akan berlari-lari kecil melewati jejeran pepohonan
rindang. Dan angin pun datang memukul dedaunan. Bagaikan helaian-helaian yang
jatuh menimpa kepala kita. Belakangan aku baru tahu, bahwa kau selalu sengaja
mengalah dariku.
Saat langit terhias
garis-garis merah, kita acapkali melakukan ritual wajib. Selepas, puas
bermain-main sepeda kesana-kemari dan mengganggui pemetik teh. Kita akan
kembali ke bukit, melihat segerombolan burung yang hendak menuju sarangnya.
Perlahan-lahan senja ditelan keremangan. Membiaskan siluet kepakkan sayap
burung yang terlihat anggun. Bergerak seperti kedipan selaput mata.
Ya, sembari kita kan
menulisi hal yang berkesan sepanjang hari ini, tentang cita-cita dan impian
pada lembaran daun. Lantas, menaruhnya ke dalam kotak kaleng yang kita sebut
sebagai ‘harta karun’. Tepat di bawah pohon, kita menggali lubang yang sesuai
ukuran kotak kaleng itu, lalu menanamnya.
“Kay, kita kan menaruh
semuan barang kesukaan kita di sini,” ucapmu sembari memegang kotak kaleng.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Kenangan. Nanti kalau
kita sudah besar, kita akan membongkarnya” jawabmu tersenyum. Mulutku membentuk
huruf “O”
“Berarti ini juga bisa
ikut disimpan dong?” tanyaku lagi sambil memegang kompas kecil yang kerapkali
kau bawa ke mana-mana.
“Eits… kalau ini masih
sangat kuperlukan,” sergahmu. “Entar kalau aku kesasar, biar tahu jalan
pulang,” tambahmu. Kau langsung merampasnya dari tanganku.
“Segitu
pentingnya benda itu?”
“Jelas
pentinglah. Ini kan pemberianmu, jadi jika nanti aku kehilangan jejakmu, kompas
ini akan memudahi aku tuk menemukanmu.” Tanganmu masih saja sibuk menggali
tanah, menanam ‘harta karun’ itu di bawah pohon rindang. “Kotak kaleng ini
ibarat tabungan yang berisi kenangan kita. Suatu hari nanti kalau kita sudah
dewasa, salah satu dari kita berhak untuk membongkarnya.
Dulu, di bawah pohon
rindang ini pun, kau sering memainkan musikmu. Gitar tua selalu menemanimu
melahirkan nada-nada yang sederhana. Lantas, kau menggunggahnya menjadi sebuah
lagu. Sayangnya, kau tak lihai dalam menciptakan lirik.
Seperti
biasanya akulah yang menyempurnakan lagumu. Nada dan kata melebur menjadi satu.
Bagiku berkarya bersamamu terasa menjadi utuh. Tulisanku bernyawa karena
melodimu. Begitulah kita yang saling
mengisi satu sama lainnya.
***
Waktu memang sangat
kejam dapat merubah apa pun, termasuk dirimu. Semuanya berubah. Seolah terlupa
atau benar-benar terlupa. Kau pergi.
***
Pada senja yang basah,
aku menunggumu di bawah pohon rindang. Membasahi pepohonan, dedaunan, kebun
teh, atap rumah dan segala sesuatunya, termasuk hatiku. Pertanyaan begitu banyak
muncul seakan-akan ada magnet yang menariknya. Pertanyaan tentangmu, Han.
Ada apa denganmu? Kenapa
belum juga datang? Atau ada masalah yang sedang kau hadapi? Atau jangan-jangan
kau memang sudah tidak mau lagi bertemu denganku?
Aku tetap berteduh di sini,
meski seluruh tubuh tetap basah. Hujan deras semakin keras. Yang kudengar bukan
lagi alunan musikmu, tapi suara hujan yang menemaniku. Jatuh seperti tempo
cepat. Terdengar bak nada-nada melankolis. Perasaan berpacu, berlumur kesedihan
dan kekecewaan. Hingga hujan pun menjadi diam. Tapi hatiku tetap bergemuruh
risau dan tanya. Langkah kaki gontai seperti menyeret berton-ton beban. Kau ke
mana, Han?
Dirimu curang, Han. Kau
dengan mudahnya dapat menemukanku dengan kompas yang kuberikan. Lantas, aku
harus dengan apa bisa menemukanmu. Sungguh tak ada tuntutan. Aku hanya ingin
tahu mengapa kau pergi tanpa salam perpisahan. Kau tiba-tiba menghilang begitu
saja. Apa kau sengaja? Agar pikiranku terus-menerus berisi sejuta pertanyaan
tentangmu.
***
Ini adalah pagi yang paling melembutkan, meski
sedikit kabut. Suara burung riang berkicau. Langit pun sedikit berselimut
mendung. Orang-orang terbangun, menamatkan mimpinya. Pemetik teh, petani, anak
sekolah, pedagang asongan, pegawai negeri semuanya bergerak melakukan
kegiatannya masing-masing.
Dedaunan berguguran berserak di halaman.
Dari balik jendela, kenangan segalamu pun turut berguguran. Sebuah suara
menghentakan seorang perempuan yang masih kelihatan muda dari lamunannya.
Perempuan itu terlihat tirus dan pucat. Ia mengenakan syal di lehernya.
“Ini apa? Sampah?” tanya
seseorang perempuan paruh baya. Tangannya memegang sebungkus plastik transparan
yang berisi daun.
“Tadi ibu dapat di bawah
kolong tempat tidurmu? Ada tulisannya juga ini,” ucapnya sambil memberikan
bungkusan tersebut kepada perempuan muda itu.
Dia terpaku saat membaca
tulisan pada dedaunan yang kecoklatan itu. Tangannya bergemetar. “Aku juga,”
ucapnya lirih.
Bila kau merinduiku lihatlah
dedaunan. Kau akan menemukanku di antara dedaunan yang bersemi pun yang jatuh.
Dunia KOMA, 12.06.13
Penulis mahasiswa bahasa sastra Indonesia Universitas
Muslim Al-Washliyah Medan dan bergiat di Komunitas Membaca dan Berkarya (KOMA)
*Cerpen ini diterbitkan di Harian Medan Bisnis edisi 14 Juli 2013
blogwalking yah sanggundah.com
BalasHapus