Mungkin aku kelihatan bodoh karena terus-menerus menunggumu tanpa kepastian di persimpangan malam.
Malam merambat naik. Aku kembali menunggumu. Seperti biasa aku bersembunyi dalam relung malam sembari memangku harapan agar malam ini kaudatang menjumpaiku. Desir angin merayap membekukan malam. Aku terus bertahan menantimu di persimpangan malam. Namun, kau tak kunjung datang.
Kekecewaan pun harus kutelan lagi. Tapi, aku tetap membangun harapan bahwa esok malam kau akan datang. Hal inilah yang terus-menerus aku lakukan selama tiga minggu, menunggumu setiap hari di persimpangan malam.
Semenjak kejadian itu, kau tidak pernah datang ke tempat biasa kita bertemu. Sungguh, aku merindui celotehmu, Aina. Ya, aku tahu kaumarah padaku karena telah memberitahukan rahasiamu pada wanita paruh baya itu, yang antara lainnya adalah emakmu sendiri, Aina.
Sebenarnya, peristiwa itu terjadi tanpa ada unsur kesengajaan. Ya, peristiwa di mana aku bertemu pertama kalinya dengan emakmu. Saat itu, emakmu datang ke kamarmu mencari uang yang ia titipkan padamu, Aina. Ia pun menggeledah lemari pakaianmu hingga tanpa sengaja aku terjatuh dari rak lemari. Dan terjadilah pertermuan kami, antara aku dan emakmu. Maaf, jika kau tidak suka dengan pertemuan kami.
Tahukah, kau apa yang terjadi saat itu, Aina? Setetes mutiara jatuh dari pelupuknya matanya. Ketika itu, aku melihat dengan jelas betapa emakmu sangat terkejut.bukan hanya terkujut saja Aina, ada luka yang tanpa sengaja telah kaugoreskan di altar jiwanya. Beruntunglah, emakmu adalah wanita yang kuat menghadapi kenyataan itu. Seperti yang kaukatakan dia adalah wonder woman.
Jujur, awalnya aku ragu untuk membongkar semuanya. Tapi, itu adalah waktu yang tepat bagiku, Aina. Menurutku juga, ini tindakkan yang paling benar. Lagipula dengan memberitahukan tentang penyakitmu pada emakmu akan sedikit mengurangi rasa khawatirku padamu. Aku yakin dia akan melakukan hal yang terbaik untuk anaknya. Maaf, kalau kau menganggap aku sebagai penghianat.
Tidak sadarkah kau, Aina? Tindakkanmu ini sangat konyol. Betapa tidak? Kau merahasiakan prihal penyakitmu dari emakmu. Ini adalah perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Ya, mungkin selama ini aku selalu diam dengan segala keluh yang kauadukan padaku. Tapi, kali ini aku harus bertindak. Karena kau telah kelewatan. Jadi, maaf, bila aku bersikap agak tegas.
Kau juga pernah bilang padaku bahwa hubungan kalian sebagai ibu-anak sangatlah dekat. Jadi, mengapa harus ada yang dirahasiakan? Kau justru terbuka padaku. Entahlah, bagiku ini sangat membingungkan. Bagaimana tidak? Kau lebih percaya padaku daripada ibu kandungmu. Padahal kau baru mengenalku tiga bulan. Mengapa harus aku? Kenapa harus aku? Dan sederet tanya yang lain menjajal batinku. Apa pun itu alasannya, aku ucapkan terima kasih atas hubungan istimewa yang kauberikan padaku.
Entahlah, bila aku menerka jiwamu. Mungkin kau tidak ingin membuatnya khawatir. Jika itu alasannya, berarti kau salah. Itu sama saja kau merakit bom waktu untuk emakmu. Dan bom itu dapat meledak kapan pun. Bisakah kau membayangkan bagaimana bila itu terjadi? Maaf, aku tak bermaksud menakutimu, Aina.
Bagimu dia adalah emak yang paling sempurna di dunia ini. Dia bisa jadi siapa pun untukmu. Dikala kau sangat merindu dekapan hangat, maka, ia akan hadir menjadi sosok seorang ibu. Kalian juga sering membuat lelucon hingga tawa menyeruak. Nah, saat itu emakmu sedang menjadi temanmu.
Disaat kau dicekap rasa takut atau merasa terancam karena seseorang, maka, emakmu akan melangkah ke depan untuk melindungimu. Ia hadir sebagai sosok ayah. Sosok yang mungkin tak kaukenal wajahnya. Kau pun merasa cemburu kepada para sahabatmu yang selalu diberi kebebasan, terutama kebebasan waktu. Kau tidak bisa pergi bersama mereka atau hanya sekadar berkumpul. Waktumu hanya dihabiskan di sekolah dan di rumah. Walaupun ingin pergi entah ke mana, selalu ditemani oleh emakmu. Hingga, kau dijuluki anak mami. Julukkan yang membuatku agak risih. Emakmu seperti pacar untukmu.
Kadang kala hubungan kalian tidaklah selalu berjalan harmonis. Kesalahpahaman dan perbedaan pendapat sering menjadi faktor utama hubungan kalian merenggang. Tapi, kalian tidak tahan berlama-lama terlarut dalam masalah. Dengan seketika kalian akan kembali lagi akrab. Rasa cinta dan kasih yang kembali menghubungkan tali itu.
Sesungguhnya, alasan emakmu untuk tetap menjalani kehidupannya adalah kau. Kaulah kekuatannya itu. Aku jadi mengerti dengan semua aturan yang dibuat oleh emakmu. Hingga, kau merasa terbelenggu akan aturan itu. Bukankah semuanya memang harus ada aturannya? Bila aturan tidak ada pasti sebuah negara akan hancur. Begitu juga dengan kehidupan manusia. Semua itu ia lakukan semata-mata karena ia terlalu menyayangimu. Yakinlah, itu adalah salah satu cara untuk melindungimu.
Emakmu tak ingin kau menderita seperti dirinya, Aina. Ia ingin kau hidup bahagia. Wajar Aina, emakmu telah dua kali membina rumah tangga. Ayahmu pergi bersama wanita, yang antara lainnya adalah sahabat baik emakmu. Dan kini, rumah tangganya dihiasa dengan pertengkaran. Tapi, ia tetap berusaha bertahan hingga sampai sekarang. Sebenarnya, kau pun sangat membenci ayah tirimu. Betapa tidak? Ia seakan-akan ingin menjauhkanmu dari emakmu. Meskipun begitu, kau juga tetap menghormatinya sebagai suami emakmu.Makanya, ia sangat selektif terhadap lelaki yang dekat denganmu. Ia ingin kau nantinya memiliki biduk rumah tangga yang bahagia. Maaf, aku terlalu banyak berceloteh, Aina.
Nah, bagaimana mungkin aku bisa bungkam? Melihat kau meradang kesakitan. Sungguh, aku tidak bisa melihatmu menahan rasa sakit, Aina. Setiap kali aku melihatnya ada semacam ribuan mata pisau menikamku. Aku tidak mungkin membiarkan penyakit itu merajarela di dalam tubuhmu, Aina. Aku juga tak sanggup melihat emakmu yang terlalu menyayangimu.
Aku tahu selama ini kau sangat mempercayaiku. Namun hari itu aku telah menyalahgunakan kepercayaan yang telah kauberi untukku. Penyakit itu harus dilawan. Bukan didiami saja. Walau setiap rintihan sakit kau menepisnya dengan senyuman. Tapi, sesungguhnya, aku tahu ada khawatir yang luar biasa terbenam di palung sukmamu.
Gulana telah berakit-rakit disela pikiranmu. Ketakutan merajai duniamu, Aina. Tapi, kau malah mengembangkan tirai kecerian. Kau ingin menutupinya dari kenyataan. Mana bisa kenyataan dapat dipungkiri. Kau sedang berbohong, Aina. Bukankah membohongi diri sendiri itu rasanya sangat menyakitkan? Maaf, Aina, aku harus katakan bahwa kau adalah Si pencundang.
Aina, Aina, kau sangat menyayangi emakmu dan tak ingin melihatnya terluka. Lantas, mengapa kau masih keras kepala menyembunyikan prihal penyakitmu? Itu justru akan membuatnya terluka. Betapa tidak? Kau merampas haknya untuk merawat dan berusaha melawan penyakitmu. Apa jadinya? Jika kau tiba-tiba pergi begitu saja tanpa penjelasan apa pun darimu.
Pasti penyesalan yang bergelayut dalam hatinya. Maka berilah ia haknya sebagai seorang ibu. Walaupun, takdir mengatakan kau harus tetap pergi. Setidaknya ia telah puas merawatmu dengan demikian ia merasa berguna untukmu. Tapi, yang paling penting ia dapat ikhlas dengan apa pun hasilnya.
Dan akibat dari ulahku itu, kau harus bersahabat dengan musuhmu. Kau harus minum tablet pahit itu setiap hari. Maaf, jika kau menganggap aku telah menyiksamu. Tapi, sungguh, tiada niatku seperti itu. aku hanya ingin kau lekas sembuh. Kau pun telah memberiku hukuman dengan cara tidak ingin bertemu denganku. Kini, aku benar-benar kehilangan sosokmu, Aina.
***
Malam selanjutnya. Aku masih di sini menunggumu kembali dalam relung malam. Selain rindu yang telah membukit.
Masih lekat dalam ingatanku bagaimana kau bercerita tentang para sahabatmu. Dengan gaya khasmu yang centil. Kau mengudarakan dialog di persimpangan malam. Memecahkan dinding beku dan aku selalu setia mendengar celotehmu. Kau sangat bangga dengan jalinan persahabatan yang kaubina dengan mereka. Saat itu, terlihat jelas aroma bahagia terpancar dari raut wajahmu.
Namun, kau mengeluh akan sifat sahabatmu. Terkadang mereka dapat meleburkan riak tawa. Dan kadang pula menjatuhkan bulir air matamu. Tapi, saat emosi menerjang batinmu karena mereka. Kau malah tidak tahu bagaimana cara untuk marah pada mereka. Kau sungguh aneh, Aina.
Hmmm… setidaknya aku lega mendengar ceritamu itu. Aku jadi tidak khawatir lagi memikirkanmu, Aina. Karena di siang hari kau tidak akan merasa kesepian. Ada sahabat yang selalu menemanimu. Menurutku, ini adalah salah satu hal yang terindah dalam hidupmu, Aina.
Aku juga ingat, saat raut wajahmu meronah merah. Ketika itu, kau bercerita tentang lelaki yang telah berhasil mencuri hatimu. Hahai! Ternyata waktu itu, kau sedang jatuh cinta. Dengan tersipu malu kau bercerita padaku. Tentang rupanya yang sangat tampan hingga sosoknya yang tidak mau pergi dari pikiranmu.
Tatapan yang begitu teduh dan cara bicara yang lembut telah membuatmu tergila-gila pada lelaki itu. Ditambah lagi dia sangat piawai mengolah senar gitar. Dia juga selalu menjadi bintang kelas tiap semester. Bukan hanya itu saja, tapi, bintang lapangan basket pun tersemat pada dirinya. Dia sangat memukau saat berada di lapangan basket. Seakan-akan tapak tangannya ada magnet. Karena bola itu tak terlepas dari tangannya. Dan sekarang dia pun menjadi bintang hatimu. Bintang hati Aina.
Kau menghela napas. “ Apa mungkin dia menyukaiku? Dia sangat sempurna. Pasti banyak perempuan cantik tergila-gila juga dengannya.” Wajahmu pun menjadi buram. Saat itu, kau benar-benar sangat lucu, Aina.
Kau juga pernah berikrar untuk membahagiakan emakmu. Tapi, kau merasa justru banyak corak luka yang tergores dihatinya. Hingga, kau berpikir bahwa emakmu tidak tahu kalau kau sangat menyayanginya. Tenang, Aina bukankah hati manusia hanya sang pencipta yang tahu? Dia-Lah yang Maha mengetahui apa yang ada dilubuk hati umat-Nya. Namun, setidaknya ada aku sebagai saksi ikrar itu. Dan kau juga harus berpikir positif.
Malam itu, ketika langit marah dan menangis, kaudatang padaku dengan sekujur tubuh yang basah kuyup. Matamu lembab merah. Kau menggigil terluka, Aina. Wajahmu sangat pucat pasi. Tapi, anehnya kau membanting diriku. Sungguh, aku terkejut. Bagaimana kau bisa melampiaskannya kepadaku? Apa karena aku tidak bisa melawan? Hingga kau memperlakukan aku sesuka hatimu. Entahlah, terkadang kautampak menyeramkan, Aina.
Begitulah, kau yang selalu datang padaku setiap malam membawa sepotong celoteh. Sehingga, sepotong demi sepotong celoteh masih membekas didadaku sampai sekarang. Dirimu yang tidak bisa lekas terbenam mimpi membuat kita sering bertemu di persimpangan malam.Celotehanmu akan berhenti saat lelah telah menyuruhmu pergi entah ke mana. Kadang pula kita pun terlelap dalam ranjang yang sama. Dan keesokkan paginya, kau akan menyembunyikan aku dalam lemarimu.
Akhirnya, secercah harapan telah menyala. Ah, Aina, malam ini kaudatang. Sungguh, aku sangat bahagia. Dengan kaos oblong dan celana pendek kau berjalan menuju arahku. Namun, kali ini kau sedikit berbeda, seperti ada sesuatu yang ingin kaulakukan. Mungkin ini hanya firasatku saja.
Aih! Apa yang kaulakukan, Aina? Kau memandikan aku dengan cairan. Ya, hari ini kau tidak datang membawa sepotong celoteh tapi kau membawa sebotol minyak tanah. Aku pun legam menjadi abu.
Sadarkah kau, bahwa aku ini hanyalah sebuah Diary Aina.
Dunia KOMA
Kedai Durian, 02 Agustus 2011
Cerpen yang dimuat di Harian Waspada, 16 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar