Masih terpaku menatap derasnya Aek Sijornih. Pikiranku melabang entah ke mana. Sedari tadi takut menjuntai diriku. Aku tak mengerti mengapa kutak ingin engkau pergi. Namun, apa hak aku melarang dirimu pergi. Aku tak punya hak untuk itu. Tapi mengapa takut ini belum luruh. Apa karena aku merasa asing di daerah ini ? Aku tak bisa berbicara dengan orang lain di kota Padang Sidempuan ini. Aku tak mengerti bahasa mereka. Hanya dirimulah yang bisa kuajak bicara di tempat asing ini.
Sesungguhnya, kemaren sore saat garis-garis merah mencercah altar langit di terminal ALS Padang Sidempuan. Aku ingin menahan dirimu. Namun, lidahku keluh untuk berujar. Pikiranku terus menerawang mengingat ketika dirimu pertama kali mengajakku ke Aek Sijornih. Katamu ini adalah tampat yang paling eksotis di antara objek wisata yang ada di sini.
“ Nur, bentangkanlah tangan lalu tutup matamu ! dan biarkan gemercak air memantul ke wajahmu. Agar bulir airnya masuk ke rongga jiwamu. Seketika beban yang menyesakkan dadamu akan hilang. “
Aku pun menuruti perintahmu. Kututup pelan-pelan mata dan melakukan seperti apa yang kaukatakan. Benar saja, semua beban rasa keterasinganku berada di sini lenyap. Jiwaku tenang. Ditambah lagi dengan udara yang sejuk. Udara yang jarang kuhirup di kota Medan .
“ Benarkan apa yang aku katakan ? “
Aku tak menjawab pertanyaanmu. Aku hanya tersenyum menatap wajahmu yang begitu yakin bahwa aku juga sependapat denganmu. Tiba-tiba engkau menarik tanganku dan membawa aku mendaki ke atas pinggang bukit.
“ Lihatlah Inur ! betapa eloknya lintasan sungai ini.”
Aku tercengah dengan keindahan yang engkau tunjukkan di hadapanku. Air
mengalir tenang dan jernih. Sehingga dasar sungai dengan bebatuannya tampak jelas. Kemudian air mengalir dengan deras menuju kaki bukit menimbulkan bunyi gemericik air yang cukup nyaring. Karena bentuk tanah yang cukup terjal inilah sehingga menyebabkan lintasan air laksana air terjun.
Tapi, kini engkau tidak di sini. Haruskah aku berbicara dengan gemuruh Aek Sijornih?
Dunia KOMA, April 2011
Flash Fiction ini Termaktub dalam antologi FF 300 KATA Kampoeng Horas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar