Sudah berapa bulan terakhir ini, hujan tak turun membasahi bumi. Abu bergelantungan di mana-mana. Dedaunan, anyelir, melati dan mawar tertutup debu. Pepohonan gersang. Tanah kering retak-retak. Taman nan indah bernuansa hijau kini menguning. Hanya kolam air mancur masih mengalirkan basah di tepi kolam. Rerumputan liarlah yang masih berseri, berkecipak air.
Aku rindu pada hujan, telah lama tak bersua. Senyum kerap tergurat di bibirku saat langit bertudung awan pekat, berharap hujan segera datang. Tapi, sering sekali harap itu pupus. Mendung belumlah tentu hujan. Begitulah aku mengobati kecewa.
Tak tampak kesejukkan hidup. Tapi, siapa yang peduli terhadap cuaca ini. Justru kebanyakkan orang akan mencaci hujan. Betapa tidak? Mereka berpendapat hujan itu sebagai malapetaka. Terlebih bagi mereka yang tinggal di pinggir sungai. Kehidupan perkotaan yang super sibuk sama sekali tidak menghiraukan musim kemarau yang panjang ini. Malah mereka bersyukur. Bila hujan turun dan menyebabkan banjir, aktivitas kantor, karyawan, anak sekolah, anak kuliah dan aktivitas yang lainnya akan terganggu.
Padahal kalau tidak ada hujan tidak akan ada kehidupan. Hujan itu adalah anugerah dari Tuhan, rahmat yang diturunkan-Nya dengan rasa cinta untuk para insan yang tak tahu diri. Seharusnya, manusia dapat intropeksi diri. Tuhan menciptakan hutan bukan tanpa alasan, pohon nan rimbun itu berguna untuk menopang air hujan. Akar-akarnya akan menyerap air hingga tidak terjadi banjir besar. Tangan-tangan manusialah yang merusak lingkungan, sungai dianggap tong sampah dan hutan sebagai sumber uang. Sesungguhnya, jemari Tuhan penuh dengan cinta.
Sebenarnya, dulu aku juga adalah orang yang tidak menyukai hujan. Aku beranggap hujan sebagai penghalang. Ya, pengalaman buruk tentang hujan membuatku anti terhadap hujan. Namun, setelah kau tiba-tiba muncul dalam kehidupanku. Semuanya berubah. Hujan kerap menderitkan cerita tentangmu, tentang lelaki penyuka hujan. Kau selalu tersenyum saat hujan diturunkan dari langit. Kau akan berlari merangkul hujan seakan-akan meminangnya menjadi saudaramu. Dan tanpa kusadari, diriku juga bersahabat dengan rinai hujan.
Hujan pulalah yang mempertemukan aku dan kau. Saat itu, aku pulang dari kampus, kita sama-sama berteduh di halte. Kau terduduk bersidekap dengan wajah pucat, bibir berdarah dan tatapan yang tajam seakan menyimpan gelisah. Entah dorongan apa yang membuatku berani mendekatimu. Kau menatapku sangat dalam. Seolah tersirat kau sedang membutuhkan seseorang untuk berbagi kegelisahan hatimu.
***
Seperti hari ini, sehabis makan siang, aku bergegas ke taman, menunggu kedatangan hujan. Biasanya, tak ada orang yang berkunjung ke taman sesiang ini, apa lagi udara sangat panas. Jadi, aku bisa bebas melepaskan penat tanpa harus memikirkan orang lain.
“Pa kabar?” sapamu membisikkan telingaku dari belakang. Lantas, engkau duduk di sampingku tanpa meminta izin kepadaku.
Sontak aku terkejut. Bulu kudukku merinding. Darahku membeku.
“Lo? Kok diam?” kau seakan memburu jawabku..
“A..ku… ba..ik,” jawabku terputus-putus.
“Kau menunggu hujan lagi ya?”
“Ya. Kau juga?”
“Ya.”
Sejenak kita terdekap dalam bisu, membiarkan diri masing-masing bicara dalam hati. Dedaunan kering terlepas dari dahannya menimpa kita yang duduk di bawah pohon. Layaknya, musim gugur. Langit berubah jadi mendung. Kita sama-sama tersenyum, berharap hujan segera turun. Membasahi gersangnya rindu yang telah mengering. Angin berdesau kencang.
“Rin, apa kau masih suka nonton film?” tanyamu
“Sekarang aku lebih suka nulis. Lebih seru daripada nonton film .”
“Nulis? Kau mengikuti jejakku yah?” sergahmu.
“Bisa dibilang begitu itu sih.”
“Kau suka nulis apa? Pasti tentangku,” ucapmu penuh keyakinan.
Sejenak, kuterdiam akan tanyamu. Mengapa kau bisa tahu prihal itu. Aku tidak pernah menceritakannya padamu. Akh! Kau paling pandai membaca pikiranku.
“Terkadang,” jawabku sepenggal kata
“Sering pun gak apa-apa, Rin.” Ujarmu menggodaku, membuat aku mati gaya.
Suara geluduk membuat aku tanpa sengaja memeluk dirimu. Sejenak pandang kita bertemu, matamu melukiskan keteduhan, beda sangat pertama kali kita berjumpa. Dan tangan kita pun terpaut dalam genggaman sembari aku terdekap dalam pelukmu yang begitu dingin sekali.
“Tenang Rin, sebentar lagi hujan akan turun,” kau mencoba menenangkan diriku sembari menatap langit yang pekat.
“Belum tentu,” ucapku lirih.
“Percayalah, kali ini hujan akan benar-benar datang,” ujarmu meyakini diriku
Dalam hati kumengamini perkataanmu. Sorot mata kita sangat serius menjamu kedatangan hujan. Mungkin debar jantung pun berdetak sangat kencang musabab kebahagiaan yang tiada tara bergemuruh. Dedaunan dan rerumputan turut bahagia ria. Ranting dan dahan melenggong ke kiri-kanan, tak sabar untuk berbasah-basahan.
Gerimis halus mulai berjatuhan setelah angin dan petir usai. Kau berdiri membiarkan gerimis mendarat di wajahmu. Kedua mata kaupejamkan. Layaknya, kau menyambut saudara sekandungmu. Perlahan engkau meresapi tiap bulir hujan, yang mengalir dari kepalamu, kening, hidung, bibir dan bermuara pada lehermu.
Perlahan tapi pasti hujan menderas. Kau menarik lenganku ke tengah taman, bersimfoni bersama hujan. Lantas, pakaian kita pun basah kuyup. Kau mengajakku membentangkan tangan sembari kepala kita menadah ke langit. Kita seolah memeluk hujan dengan rangkulan rindu yang teramat sangat.
Tiba-tiba engkau menggelitik diriku. Aku pun membalasmu. Dan kau berlari ke arah anak-anak penikmat hujan. Bersenandung dan menari bersama-sama anak itu. Aku tertawa lepas melihat tingkahmu yang kocak. Kita saling melempar tawa. Sungguh, Canda dan tawa telah melebur bersama rinai hujan.
Kau menyuruh anak-anak itu mengajakku untuk ikut bermain. Wangpo pun dilakukan. Sialnya, aku kalah. Kedua mata ditutup dengan kain. Lantas, aku harus menangkap kalian. Aku berjalan perlahan-lahan, meraba-raba dan menerka-nerka keberadaan kalian. Namun, aku tersandung dan jatuh di peceran. Gelak tawa kalian menggelegar. Kau membuka penutup mataku.
“Mana yang sakit?” tanyamu dengan raut cemas.
“Ni yang sakit!” ucapku sembari menarik tanganmu dan kita pun sama-sama terjatuh di dalam kubangan.
Wajahmu cemberut, lantas tersenyum seolah tersirat kalau kau mau membalas. Benar dugaanku, kau melemparkan lumpur. Aku pun tak mau kalah dengan reaksimu, sebaliknya, aku juga membalasmu. Akibatnya, baju kita berlumur lumpur. Kamu mendekatiku. Kini jarak kita hanya tinggal beberapa senti saja. Aku berasa kikuk. Lantas, kamu mengail tanganku dan menyematkan cincin putih pada jemariku.
“Ternyata, cincin ini sangat indah ketika melekat di jemarimu,” ucapmu memerhatikan jemariku.
“ Ry…an,” ucapku gugup.
“Sebenarnya, sudah lama aku ingin memberikan cincin ini padamu, tapi hari inilah kesempatan itu baru datang.
Kamu mendaratkan kecupan ke keningku. Aku tercengah. Lidahku terasa keluh. Tubuhku terpaku. Ini serasa mimpi.
“Nanti kalau aku tidak ada, kau harus jaga dirimu baik-baik ya, jangan menangis lagi.”
Kerlingku mengerut mendengar perkataanmu.
Hujan telah tunai yang tertinggal hanya basah. Kita berjalan bersama-sama menuju rumahku. Sepanjang jalan orang melihat kita dengan tatapan aneh. Bagaimana tidak? Sekujur tubuh basah kuyup dengan baju yang sangat kotor. Belum lagi wajah yang comeng terkena lumpur. Akh! Sejak kapan pulalah kita memikiri pendapat orang lain. Bukankah itu adalah hak mereka?
Akhirnya, langkah terhenti di depan rumah berpagar hijau. Tiba-tiba ibu datang dari belakang memayungi diriku.
“Rin, kenapa berdiri saja di sini? Lihat! bajumu basah kuyup dan kotor. Ayo! Kita masuk ke dalam,” ajak ibu.
“Ibu dari mana?” tanyaku
“Tadi ibu dari warung beli gula. Nanti langsung mandi ya. Kita mau ke rumah Ryan bakda magrib.”
“Ke rumah Ryan? Ngapai,bu” tanyaku heran
“Lo? Kamu lupa ya? Nanti malam kan acara empat puluh harinya Ryan,”
“Lantas, siapa tadi yang sedang bersamaku?” bisikku dalam hati. Bulu kudukku kembali merinding.
Sebegitu parahkah penyakit merindu atau aku yang belum bisa merelakanmu untuk pergi ke tempat yang terindah. Hingga, aku berhalusinasi kalau kamu menemaniku menyambut hujan. Tapi ini terasa nyata. Bekas kecupanmu masih terasa hangat.
Aku menyentuh jemariku. Ternyata, cincin pemberianmu tetap melekat.
Dunia KOMA
Kedai Durian, 27 Januari 2012
Penulis mahasiswi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia UMN Al-washliyah Medan dan bergiat di KOMA.
*Cerpen ini dimuat di Harian Medan Bisnis 26 Februari 2012
Jejak Media: Hujanlah Yang Membawamu - Harian Medan Bisnis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar