Minggu, 31 Agustus 2014

Bintang di Surga



Angin berbisik dengan gemerisik. Malam kian temaram. Mengalun kesunyian tanpa tempo. Hanya suara detik jarum jam yang berkicau. Semuanya terhempas dan terlepas. Hari-hari terkepung awan hitam.   
Wajah sendu itu masih meringkuk pilu. Derai airmata sudah mengering. Namun, tetap saja masih ada duka yang melumat relung. Kini ia merasa sendiri. Seperti malam yang tinggali keramaian. Seketika semua berubah hanya dalam hitungan detik.
Dari balik jendela, ia menatap nanar langit yang basah. Kegelisahan hati kian menyatu di antara sisa rinai hujan. Dari tadi ia tak mampu menyelesaikan pekerjaannya. Kali ini, tidak seperti biasa, jemarinya kaku menari di atas keyboard laptop merah maron. Kata-kata yang sudah diketik terasa tak selaras dengan hati, lantas dihapus. Sehingga, satu huruf pun tak menghiasi layar laptop-nya. Padahal, artikel berita itu harus siap untuk dicetak esok pagi.
Bintang-gemintang pun tidak kunjung berkerlap-kerlip menyambutnya. Perempuan itu ingin membagi cerita kepada bintang yang bersinar seperti sayap bidadari. Seolah-olah ia ingin mengadu kepada ibunya, bersekutu dengan peraduaan malam.
Benarkah, bahwa orang yang sudah meninggal itu, sesungguhnya tak pernah meninggali kita? Mereka justru berada sangat dekat. Dan apakah, mereka menjelma menjadi bintang yang acapkali muncul saat langit menjadi gelap, yang hanya menyisakan semburat cahaya remang untuk menerangi malam.  
Ah, ingin sekali ia memercayai cerita itu, berharap menemukan wajah ibunya di antara ribuan bintang yang menghiasi langit. Dulu, sang ibu sangat suka bercerita tentang bintang yang tidak akan pernah membiarkan hidup dikuasai kegelapan. Tapi, ia lebih suka bila perempuan yang masih terlihat cantik di usia berkepala tiga itu, bercerita tentang hal yang lebih serius, daripada dongeng-dongeng yang meninabobokkannya setiap malam.  
Sungguh, ia sama sekali tidak menyukai malam. Baginya malam hanyalah berupa gelap yang menyesakkan, sekaligus nyanyian sunyi yang paling membunuh. Gelap kerapkali menyelimuti bulir airmata, dan menjadi tempat persembunyian sang ibu yang meringkuk pilu. Ia sering menemukan ibunya menangis, tersedu di pucuk malam saat ribuan bintang berseri-seri di langit.
“Jangan takut pada gelap, Ra,” ucap ibunya sembari membelai kepalanya.
“Akira enggak takut, Bu tapi cuman enggak suka aja,”  bantahnya.
“Kau tahu, Ra. Dalam kegelapan kita bisa bertemu dengan orang-orang yang kita rindukan. Kau tahu kenapa, karena pada malam hari, kita baru bisa melihat bintang di langit yang pekat.” tutur ibunya. Saat itu, mata ibunya tampak berpijar seakan-akan ada cahaya yang besinar dari sorot matanya. “Lihat itu! Ada bintang yan bermain mata padamu, Akira,” seru ibunya yang menunjukkan salah satu bintang di langit.
“Masak sih, Bu?” tanyanya polos.
“Ya, coba lihat itu.”
 “Bu, apa Akira bisa ketemu sama ayah, tiap ngelihat bintang?”
Ibunya tak menjawab. Hanya tersenyum manis menatap wajah Akira. Selalu besikap seperti itu, setiap kali ia menyinggung prihal ayahnya. Tak ada jawaban yang dituai. Sang ibu sama sekali tidak pernah bercerita tentang ayahnya. Bahkan, Akira ingin tahu bagaimana rasanya dimarahi oleh seorang ayah, apa lebih galak dari ibunya.
“Tapi, kenapa bintang enggak ada di siang hari, Bu,” celetuk Akira memecahkan hening malam.
“Karena siang hari, mereka harus pulang ke rumahnya, ke surga,” jawab  ibunya.
“Hah, bintang tinggalnya di surga?” seru Akira dengan dahi yang berkerut. Ibunya hanya mengangguk tersenyum pada putri kecil yang centil itu.
***
Alunan nada instrumental Bintang di Surga milik Peterpan mengalir menembus sunyi. Mengiringi hati yang sembab. Suara perpaduan gesekan biola dengan piano mengalun melankolis. Dentum-dentum melodi terbungkus emosi yang tertahan. Lantas, mencuat sebuah kekuatan. Ya, keberanian untuk melerai tanya satu per satu dan tegar berdiri seperti karang yang dihempas pecahan ombak.
Akira menarik napas dalam-dalam, seolah-olah ingin melepaskan beban yang menyumbat pikiran dan hati. Ia menyeruput segelas susu coklat –minuman yang dulu selalu disiapkan ibunya, setiap dirinya ingin berbulan madu dengan malam. Namun, sekarang ia tidak dapat lagi mengecap rasa yang sama. Dan itulah yang paling dirindukannya, susu coklat hangat buatan sang ibu
Masih lekat diingatannya, bagaimana ia menjerit menyambut tubuh kaku ibunya. Saat itu, embun bergelayut malas di ujung dedaunan, sepotong kejadian membenamkan jiwanya di negeri antah. Sontak, menjadikan pagi berwarna merah. sejuk berganti luka. Tubuh ibunya roboh ibarat rumah yang tidak memunyai pondasi kuat. Terkapar memeluk aspal, tepat di depan kedua mata bening itu. Segenap alam menjadi bisu.
Angin berhenti berhembus. Senyuman matahari meredup. Orang-orang terpaku seperti pajangan patung di toko baju. Desing peluru melesat sukses menerobos dada sebelah kanannya. “Ibu!” teriaknya. Akira menangis sejadi-jadinya. Ia berlari. Lantas, mendekap erat tubuh ibunya yang berbanjir darah. Padahal ibunya baru saja menciumi pipi kiri-kanannya, sebelum berangkat kerja.
Ya, Akira memang mematuhi nasihat ibunya, untuk tidak seperti ibunya yang terkenal sebagai jaksa teguh. “Ra, jangan sekali-kali pun kau ingin jadi jaksa. Karena terlalu banyak musuh di sekitarmu nantinya. Kau dengar itu, Ra.” Namun sayang, ada yang terlupakan ibunya, agar jangan pernah sekali-sekali mendekati dunia itu. Apa boleh buat. Toh, sekarang Akira tercatat sebagai salah satu wartawan media cetak yang kerapkali meliput berita tentang dunia politik yang jelas mengundang banyak musuh.
Kemaren sore menjadi titik terang baginya, Akira dipertemukan dengan kenyataan, bahwa sang ayah-lah dibalik penembakan ibunya. Seorang narasumber menceritakan detail peristiwa itu dan tindakkan yang merugikan negara. Narasumber tersebut termasuk orang yang sangat dekat dengan ayahnya. Dulu, dia adalah mantan asisten ayahnya, kini masih terlibat dalam kepengurusan kenegaraan.
Bukti-bukti pun telah cukup kuat menerangi semua tanya. Tentang mengapa ayahnya harus melakukan perbuatan itu, termasuk mengapa ayahnya harus pergi meninggalkan ibunya. Bahkan,  sebelum ia terlahir ke dunia.
Lantas, apakah ia langsung membenci orang yang paling dirindukannya? Haruskah ia memaki kenyataan? Tentu ya. Akira benar-benar membenci ayahnya, mengutuk kenyataan yang tidak berpihak padanya. Tapi, itu hanya sesaat. Bagaimana pun lelaki itu tetaplah ayahnya. Lihatlah, kini Akira tertimang dalam kegalauan.
Ia bingung harus melakukan apa, mengungkapkan kenyataan kepada publik atau membiarkannya tetap tersembunyi. Apalagi kini, ayahnya menjadi orang nomor satu di negara ini. Jika ia tetap menuliskan berita itu, mungkin saja ia akan mengalami nasib yang serupa dengan ibunya. “Bu, benarkah orang yang sudah meninggal itu menjelma menjadi bintang?” tanyanya sendu. Aih, ternyata tidak setiap malam bintang menghiasi langit. Malam ini, Akira sangat berharap dapat bertemu dengan wanita yang dipanggilnya ibu. Ia ingin bertanya, seindah apa surga? Apa boleh dirinya ke sana, menjadi bintang di surga.
Sayup angin berbisik lembut, menyampaikan sejuta harapan. Menepis segala rasa yang berkecamuk di hati. Akira kembali ke meja kerjanya, berkutat di depan layar laptop merah maron. Jemari lentiknya menari seirama alunan nada-nada instrumental lagu Bintang di Surga yang sedari tadi terus-menerus mengalun.
Dunia KOMA, Mei 2013
Ayu Sundari Lestari, lahir 21 Agustus 1991 di Medan. Bergiat di Komunitas Membaca dan Berkarya (KOMA). Karyanya diterbitkan di beberapa media massa.


  *Cerpen diterbitkan di Harian Medan Bisnis edisi 24 Agustus 2014







Tidak ada komentar:

Posting Komentar