Angin
berbisik dengan gemerisik. Malam kian temaram. Mengalun kesunyian tanpa tempo.
Hanya suara detik jarum jam yang berkicau. Semuanya terhempas dan terlepas.
Hari-hari terkepung awan hitam.
Wajah
sendu itu masih meringkuk pilu. Derai airmata sudah mengering. Namun, tetap
saja masih ada duka yang melumat relung. Kini ia merasa sendiri. Seperti malam
yang tinggali keramaian. Seketika semua berubah hanya dalam hitungan detik.
Dari
balik jendela, ia menatap nanar langit yang basah. Kegelisahan hati kian
menyatu di antara sisa rinai hujan. Dari tadi ia tak mampu menyelesaikan
pekerjaannya. Kali ini, tidak seperti biasa, jemarinya kaku menari di atas keyboard laptop merah maron. Kata-kata
yang sudah diketik terasa tak selaras dengan hati, lantas dihapus. Sehingga,
satu huruf pun tak menghiasi layar laptop-nya. Padahal, artikel berita itu harus
siap untuk dicetak esok pagi.
Bintang-gemintang
pun tidak kunjung berkerlap-kerlip menyambutnya. Perempuan itu ingin membagi
cerita kepada bintang yang bersinar seperti sayap bidadari. Seolah-olah ia
ingin mengadu kepada ibunya, bersekutu dengan peraduaan malam.
Benarkah,
bahwa orang yang sudah meninggal itu, sesungguhnya tak pernah meninggali kita?
Mereka justru berada sangat dekat. Dan apakah, mereka menjelma menjadi bintang
yang acapkali muncul saat langit menjadi gelap, yang hanya menyisakan semburat
cahaya remang untuk menerangi malam.
Ah,
ingin sekali ia memercayai cerita itu, berharap menemukan wajah ibunya di
antara ribuan bintang yang menghiasi langit. Dulu, sang ibu sangat suka
bercerita tentang bintang yang tidak akan pernah membiarkan hidup dikuasai kegelapan.
Tapi, ia lebih suka bila perempuan yang masih terlihat cantik di usia berkepala
tiga itu, bercerita tentang hal yang lebih serius, daripada dongeng-dongeng
yang meninabobokkannya setiap malam.
Sungguh,
ia sama sekali tidak menyukai malam. Baginya malam hanyalah berupa gelap yang
menyesakkan, sekaligus nyanyian sunyi yang paling membunuh. Gelap kerapkali menyelimuti
bulir airmata, dan menjadi tempat persembunyian sang ibu yang meringkuk pilu.
Ia sering menemukan ibunya menangis, tersedu di pucuk malam saat ribuan bintang
berseri-seri di langit.
“Jangan
takut pada gelap, Ra,” ucap ibunya sembari membelai kepalanya.
“Akira
enggak takut, Bu tapi cuman enggak suka aja,”
bantahnya.
“Kau
tahu, Ra. Dalam kegelapan kita bisa bertemu dengan orang-orang yang kita
rindukan. Kau tahu kenapa, karena pada malam hari, kita baru bisa melihat
bintang di langit yang pekat.” tutur ibunya. Saat itu, mata ibunya tampak
berpijar seakan-akan ada cahaya yang besinar dari sorot matanya. “Lihat itu!
Ada bintang yan bermain mata padamu, Akira,” seru ibunya yang menunjukkan salah
satu bintang di langit.
“Masak
sih, Bu?” tanyanya polos.
“Ya,
coba lihat itu.”
“Bu, apa Akira bisa ketemu sama ayah, tiap
ngelihat bintang?”
Ibunya
tak menjawab. Hanya tersenyum manis menatap wajah Akira. Selalu besikap seperti
itu, setiap kali ia menyinggung prihal ayahnya. Tak ada jawaban yang dituai.
Sang ibu sama sekali tidak pernah bercerita tentang ayahnya. Bahkan, Akira
ingin tahu bagaimana rasanya dimarahi oleh seorang ayah, apa lebih galak dari
ibunya.
“Tapi,
kenapa bintang enggak ada di siang hari, Bu,” celetuk Akira memecahkan hening
malam.
“Karena
siang hari, mereka harus pulang ke rumahnya, ke surga,” jawab ibunya.
“Hah,
bintang tinggalnya di surga?” seru Akira dengan dahi yang berkerut. Ibunya
hanya mengangguk tersenyum pada putri kecil yang centil itu.
***
Alunan
nada instrumental Bintang di Surga milik
Peterpan mengalir menembus sunyi. Mengiringi hati yang sembab. Suara perpaduan
gesekan biola dengan piano mengalun melankolis. Dentum-dentum melodi terbungkus
emosi yang tertahan. Lantas, mencuat sebuah kekuatan. Ya, keberanian untuk
melerai tanya satu per satu dan tegar berdiri seperti karang yang dihempas
pecahan ombak.
Akira
menarik napas dalam-dalam, seolah-olah ingin melepaskan beban yang menyumbat
pikiran dan hati. Ia menyeruput segelas susu coklat –minuman yang dulu selalu
disiapkan ibunya, setiap dirinya ingin berbulan madu dengan malam. Namun,
sekarang ia tidak dapat lagi mengecap rasa yang sama. Dan itulah yang paling
dirindukannya, susu coklat hangat buatan sang ibu
Masih
lekat diingatannya, bagaimana ia menjerit menyambut tubuh kaku ibunya. Saat itu,
embun bergelayut malas di ujung dedaunan, sepotong kejadian membenamkan jiwanya
di negeri antah. Sontak, menjadikan pagi berwarna merah. sejuk berganti luka. Tubuh
ibunya roboh ibarat rumah yang tidak memunyai pondasi kuat. Terkapar memeluk
aspal, tepat di depan kedua mata bening itu. Segenap alam menjadi bisu.
Angin
berhenti berhembus. Senyuman matahari meredup. Orang-orang terpaku seperti
pajangan patung di toko baju. Desing peluru melesat sukses menerobos dada
sebelah kanannya. “Ibu!” teriaknya. Akira menangis sejadi-jadinya. Ia berlari.
Lantas, mendekap erat tubuh ibunya yang berbanjir darah. Padahal ibunya baru saja
menciumi pipi kiri-kanannya, sebelum berangkat kerja.
Ya,
Akira memang mematuhi nasihat ibunya, untuk tidak seperti ibunya yang terkenal sebagai
jaksa teguh. “Ra, jangan sekali-kali pun kau ingin jadi jaksa. Karena terlalu
banyak musuh di sekitarmu nantinya. Kau dengar itu, Ra.” Namun sayang, ada yang
terlupakan ibunya, agar jangan pernah sekali-sekali mendekati dunia itu. Apa
boleh buat. Toh, sekarang Akira tercatat sebagai salah satu wartawan media
cetak yang kerapkali meliput berita tentang dunia politik yang jelas mengundang
banyak musuh.
Kemaren
sore menjadi titik terang baginya, Akira dipertemukan dengan kenyataan, bahwa
sang ayah-lah dibalik penembakan ibunya. Seorang narasumber menceritakan detail
peristiwa itu dan tindakkan yang merugikan negara. Narasumber tersebut termasuk
orang yang sangat dekat dengan ayahnya. Dulu, dia adalah mantan asisten ayahnya,
kini masih terlibat dalam kepengurusan kenegaraan.
Bukti-bukti
pun telah cukup kuat menerangi semua tanya. Tentang mengapa ayahnya harus
melakukan perbuatan itu, termasuk mengapa ayahnya harus pergi meninggalkan ibunya.
Bahkan, sebelum ia terlahir ke dunia.
Lantas,
apakah ia langsung membenci orang yang paling dirindukannya? Haruskah ia memaki
kenyataan? Tentu ya. Akira benar-benar membenci ayahnya, mengutuk kenyataan
yang tidak berpihak padanya. Tapi, itu hanya sesaat. Bagaimana pun lelaki itu
tetaplah ayahnya. Lihatlah, kini Akira tertimang dalam kegalauan.
Ia
bingung harus melakukan apa, mengungkapkan kenyataan kepada publik atau
membiarkannya tetap tersembunyi. Apalagi kini, ayahnya menjadi orang nomor satu
di negara ini. Jika ia tetap menuliskan berita itu, mungkin saja ia akan mengalami
nasib yang serupa dengan ibunya. “Bu, benarkah orang yang sudah meninggal itu
menjelma menjadi bintang?” tanyanya sendu. Aih, ternyata tidak setiap malam
bintang menghiasi langit. Malam ini, Akira sangat berharap dapat bertemu dengan
wanita yang dipanggilnya ibu. Ia ingin bertanya, seindah apa surga? Apa boleh
dirinya ke sana, menjadi bintang di surga.
Sayup
angin berbisik lembut, menyampaikan sejuta harapan. Menepis segala rasa yang
berkecamuk di hati. Akira kembali ke meja kerjanya, berkutat di depan layar
laptop merah maron. Jemari lentiknya menari seirama alunan nada-nada
instrumental lagu Bintang di Surga
yang sedari tadi terus-menerus mengalun.
Dunia
KOMA, Mei 2013
Ayu Sundari Lestari, lahir 21 Agustus 1991 di Medan. Bergiat
di Komunitas Membaca dan Berkarya (KOMA). Karyanya diterbitkan di beberapa
media massa.
*Cerpen diterbitkan di Harian Medan Bisnis edisi 24 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar