Aku ingin mendengar senandungmu, menelusuri tiap lekuk lirikmu. Karena aku sudah lupa bagaimana caranya tuk bercerita dan tertawa. Aku ingin dapat kembali bercerita meski dengan cerita yang tak lagi sama.
Aku
duduk di tepian sungai yang paling romantis di kota Seoul saat langit berwarna
kemerah-merahan, Han River. Tak banyak yang berubah, meski waktu telah merambat
tua. Kenangan itu masih saja tersimpan rapi. Begitu basah diingatan. Sangat
manis dikenang. Beriak di dalam ombak, yang menegaskan kenangan itu jelas
menyata.
Outlook
Cafe Gureum, tempat biasa kita menyambut malam di Seoul tetaplah sama. Aku
masih bisa melihat pertunjukan air mancur berwarna-warni seperti pelangi pada
sisi jembatan Banpo, sambil menikmati secangkir kopi yang hangat.
Sepanjang
aku berjalan menyusuri tiap sudut Seoul, jejak halaman kenangan itu terbuka
dengan sendirinya. Saat kita sedang bergandengan menyusuri pasar Myun-Dong
Street dengan membawa banyak belanjaan, berjalan-jalan di Cheonggyecheon Stream
Park dan menjelajahi tiap sudut City Hall sambil menikmati berbagai permainan
yang disediakan. Ya, kita paling suka bermain ski, bersatu dengan dinginnya
salju. Membeku dalam keceriaan. Meluncur di atas salju dengan papan board.
Seoul benar-benar sangat memukau. Di
tengah-tengah kotanya terdapat sungai buatan yang airnya bersih dan jernih. Katamu,
dulunya di sini adalah jalan raya. Setiap sore, banyak anak-anak yang bermain
di sini. Ah, tempat ini seperti taman kota yang sengaja disediakan oleh
pemerintah. Wah, hebat benar ya. Kita masih saja terus berjalan di taman ini.
Dan kamu masih terus bercerita segalanya tentang Seoul.
“Nah,
kalau Jakarta itu gimana, Ra?” tanyamu setelah lelah berceloteh dari tadi.
Akhirnya, kau melempar pertanyaan juga.
“Lo, kamu belum pernah ke sana, Ren?”
tanyaku sembari melangkah menuju arah tepi sungai. Lantas, melepaskan sandal
dan duduk menjulurkan kaki ke dalamnya. Hmmm…rasanya sejuk sekali. Kau hanya
tersenyum geleng-geleng melihat tingkahku yang aneh. Tanpa intruksi, kau pun langsung mengikuti arahku dengan berjalan
santai.
“Sampai sekarang belum, “jawabmu pendek
sambil duduk di sebelahku.
Nada bicara yang terdengar seperti orang
frustasi itu, menandakan kalau kau begitu ingin ke Indonesia. Ingin melihat bagaimana
rupa kampung halamanmu. Selama ini, hanya menganggapnya sebagai negeri dongeng
yang kerapkali diceritakan ibumu, setiap kau ingin terlelap memeluk malam.
“Masak sih, enggak ada saudara. Kan
kamu lahir di Indonesia?” Aku sengaja menggodamu. Kamu tersenyum kecut.
“Aku memang lahir di sana, tapi aku
tinggal di sini sejak usia empat tahun,” ucapmu dengan wajah yang lesu.
Diam-diam aku menelisik panorama
sungai Han dengan sungai-sungai yang ada di Jakarta. Apalagi yang kutemukan,
selain kenyataan bahwa tiap tahunnya kotaku dilanda banjir. Tetapi, seindah dan
memesona apa pun di sini, tetap saja lebih nyaman di kota sendiri. Lihatlah,
pemuda di depanku ini, betapa penasaran ia. Bukan, bukan karena penasaran.
Perasan itu adalah rindu, rindu pada tanah lahirnya. Dengan jailnya, aku
menyiram air sungai ke wajahmu,
“Hey!” teriakmu. Kau menatapku
lekat. Sebelum kau membalas, aku telah berlari duluan. Maka terjadilah
kejar-kejaran. Kupikir-pikir adegan ini seperti film India saja.
***
Kenangan itu terus memaksa jiwaku
memasuki ruang lima tahun silam. N Seoul Tower –tempat yang paling berkesan
bagiku setelah sungai Han. Betapa tidak? Di sanalah, aku mendengar satu kata
yang membuat jantungku berdegup kencang bagai irama nada bertempo cepat. Kau
meraih tanganku, menggenggamnya sangat erat.
“Saranghae,”
ucapmu sendu. Ah, bahasa itu bagai angin yang semilir di hatiku. Sungguh, kau
sukses membuatku mati kutu. Ya, bukan hanya itu saja, di sana juga tertinggal
jejak nyata kita. Bukti bahwa lima tahun yang lalu, kita pernah mengikat hati.
Masih ada terekat, sepasang gembok yang terkunci. Sangat kuat –tertulis nama
kita berdua.
Aku
terjaga dari lamunanku tentang kita. Sebuah suara membisik lembut di telinga.
Suara yang sangat kurindukan. “Saranghae.” Saat kumenoleh, secangkir kopi
hangat ada di hadapanku. Aromanya begitu wangi.
“Kamu,” ujarku tersenyum teduh.
“Ya,
aku akan mengucapnya setiap hari untukmu, Ra.” Seperti biasa kamu tetap
bersemangat. “Tak kusangka kau segitunya rindu padaku,” ucapmu menggoda.
“Setidaknya
tak sehebat rindumu kan?”
Sejenak
terkurung senyap. Saling diam. Saling menelisik. Tapi, bergejolak seperti
aliran sungai Han yang terus mengalir. Tatapan kita saling menatap tajam seakan
terkanvas kerinduan yang mendalam. Hingga, seuntai kalimat memecah hening.
“Lihat, keluarga kecilmu tampak
sangat bahagia.” Tatapannya beralih memandang dua orang yang sedang asyik
bermain air mancur.
“Tapi aku merana.” Suaraku terdengar
lirih.
“Maaf karena aku memintamu menikahi
dia.”
“Dan itu sama saja kau membunuh
dirimu sendiri kan?” ucapku ketus. Kau hanya tersenyum kecut. “Sekarang
bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyaku.
“Apa?”
“Berikan waktumu.” Kamu tertegun. Terdiam.
Mungkin kamu terkejut dengan permintaan konyol itu.
Ya,
Sehari. Hanya sehari habiskan waktumu bersamaku. Ya?” Aku memasang wajah
memelas.
“Haruskah
aku membawa lari istri orang?” ucapmu pelan.
Kamu menghela napas. Seakan
melepaskan beban yang begitu berat. Entah apa yang bertualang di pikiranmu.
Mungkinkah permintaan itu gila? Ya, aku memang sudah gila. Kenapa sampai detik
ini pun aku tidak bisa melupakanmu?
Angin
berhembus lembut. Riak sungai Han bergemuruh terus meronta dan meronta seperti
hatiku. Tubuhmu tirus. Wajahmu pucat. Segala gelisah mengalir. Apakah penyakit
yang bersarang dalam tubuhmu semakin parah? Kecemasan ini tiada hentinya
menggelayut di hati. Tapi pernah kah kamu mencoba memahamiku? Apakah kamu
pernah memikirkannya? Bagaimana aku menjalani hari-hari tanpamu?
Senja
berganti malam. Terlihat muram. Kamu benar-benar berubah. Tapi tidak dengan
tatapanmu. Tatapan teduh itu tetap berarah padaku, sama seperti dulu.
Dunia
KOMA, Maret-April 2013
*diterbitkan di Harian Medan Bisnis edisi 6 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar