Kamis, 21 Agustus 2014

Senja Tepian Han



Aku ingin mendengar senandungmu, menelusuri tiap lekuk lirikmu. Karena aku sudah lupa bagaimana caranya tuk bercerita dan tertawa. Aku ingin dapat kembali bercerita meski dengan cerita yang tak lagi sama.
Aku duduk di tepian sungai yang paling romantis di kota Seoul saat langit berwarna kemerah-merahan, Han River. Tak banyak yang berubah, meski waktu telah merambat tua. Kenangan itu masih saja tersimpan rapi. Begitu basah diingatan. Sangat manis dikenang. Beriak di dalam ombak, yang menegaskan kenangan itu jelas menyata.
Outlook Cafe Gureum, tempat biasa kita menyambut malam di Seoul tetaplah sama. Aku masih bisa melihat pertunjukan air mancur berwarna-warni seperti pelangi pada sisi jembatan Banpo, sambil menikmati secangkir kopi yang hangat.
Sepanjang aku berjalan menyusuri tiap sudut Seoul, jejak halaman kenangan itu terbuka dengan sendirinya. Saat kita sedang bergandengan menyusuri pasar Myun-Dong Street dengan membawa banyak belanjaan, berjalan-jalan di Cheonggyecheon Stream Park dan menjelajahi tiap sudut City Hall sambil menikmati berbagai permainan yang disediakan. Ya, kita paling suka bermain ski, bersatu dengan dinginnya salju. Membeku dalam keceriaan. Meluncur di atas salju dengan papan board.
             Seoul benar-benar sangat memukau. Di tengah-tengah kotanya terdapat sungai buatan yang airnya bersih dan jernih. Katamu, dulunya di sini adalah jalan raya. Setiap sore, banyak anak-anak yang bermain di sini. Ah, tempat ini seperti taman kota yang sengaja disediakan oleh pemerintah. Wah, hebat benar ya. Kita masih saja terus berjalan di taman ini. Dan kamu masih terus bercerita segalanya tentang Seoul.
“Nah, kalau Jakarta itu gimana, Ra?” tanyamu setelah lelah berceloteh dari tadi. Akhirnya, kau melempar pertanyaan juga.
            “Lo, kamu belum pernah ke sana, Ren?” tanyaku sembari melangkah menuju arah tepi sungai. Lantas, melepaskan sandal dan duduk menjulurkan kaki ke dalamnya. Hmmm…rasanya sejuk sekali. Kau hanya tersenyum geleng-geleng melihat tingkahku yang aneh. Tanpa intruksi, kau pun  langsung mengikuti arahku dengan berjalan santai.
            “Sampai sekarang belum, “jawabmu pendek sambil duduk di sebelahku.
 Nada bicara yang terdengar seperti orang frustasi itu, menandakan kalau kau begitu ingin ke Indonesia. Ingin melihat bagaimana rupa kampung halamanmu. Selama ini, hanya menganggapnya sebagai negeri dongeng yang kerapkali diceritakan ibumu, setiap kau ingin terlelap memeluk malam.
            “Masak sih, enggak ada saudara. Kan kamu lahir di Indonesia?” Aku sengaja menggodamu. Kamu tersenyum kecut.
            “Aku memang lahir di sana, tapi aku tinggal di sini sejak usia empat tahun,” ucapmu dengan wajah yang lesu.
            Diam-diam aku menelisik panorama sungai Han dengan sungai-sungai yang ada di Jakarta. Apalagi yang kutemukan, selain kenyataan bahwa tiap tahunnya kotaku dilanda banjir. Tetapi, seindah dan memesona apa pun di sini, tetap saja lebih nyaman di kota sendiri. Lihatlah, pemuda di depanku ini, betapa penasaran ia. Bukan, bukan karena penasaran. Perasan itu adalah rindu, rindu pada tanah lahirnya. Dengan jailnya, aku menyiram air sungai ke wajahmu,
            “Hey!” teriakmu. Kau menatapku lekat. Sebelum kau membalas, aku telah berlari duluan. Maka terjadilah kejar-kejaran. Kupikir-pikir adegan ini seperti film India saja.          
***
            Kenangan itu terus memaksa jiwaku memasuki ruang lima tahun silam. N Seoul Tower –tempat yang paling berkesan bagiku setelah sungai Han. Betapa tidak? Di sanalah, aku mendengar satu kata yang membuat jantungku berdegup kencang bagai irama nada bertempo cepat. Kau meraih tanganku, menggenggamnya sangat erat.
“Saranghae,” ucapmu sendu. Ah, bahasa itu bagai angin yang semilir di hatiku. Sungguh, kau sukses membuatku mati kutu. Ya, bukan hanya itu saja, di sana juga tertinggal jejak nyata kita. Bukti bahwa lima tahun yang lalu, kita pernah mengikat hati. Masih ada terekat, sepasang gembok yang terkunci. Sangat kuat –tertulis nama kita berdua.
Aku terjaga dari lamunanku tentang kita. Sebuah suara membisik lembut di telinga. Suara yang sangat kurindukan. “Saranghae.” Saat kumenoleh, secangkir kopi hangat ada di hadapanku. Aromanya begitu wangi.
            “Kamu,” ujarku tersenyum teduh. 
“Ya, aku akan mengucapnya setiap hari untukmu, Ra.” Seperti biasa kamu tetap bersemangat. “Tak kusangka kau segitunya rindu padaku,” ucapmu menggoda.
“Setidaknya tak  sehebat rindumu kan?”
Sejenak terkurung senyap. Saling diam. Saling menelisik. Tapi, bergejolak seperti aliran sungai Han yang terus mengalir. Tatapan kita saling menatap tajam seakan terkanvas kerinduan yang mendalam. Hingga, seuntai kalimat memecah hening.
            “Lihat, keluarga kecilmu tampak sangat bahagia.” Tatapannya beralih memandang dua orang yang sedang asyik bermain air mancur.
            “Tapi aku merana.” Suaraku terdengar lirih.
            “Maaf karena aku memintamu menikahi dia.”
            “Dan itu sama saja kau membunuh dirimu sendiri kan?” ucapku ketus. Kau hanya tersenyum kecut. “Sekarang bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyaku.
            “Apa?”
            “Berikan waktumu.” Kamu tertegun. Terdiam. Mungkin kamu terkejut dengan permintaan konyol itu.
Ya, Sehari. Hanya sehari habiskan waktumu bersamaku. Ya?” Aku memasang wajah memelas.
“Haruskah aku membawa lari istri orang?” ucapmu pelan.
            Kamu menghela napas. Seakan melepaskan beban yang begitu berat. Entah apa yang bertualang di pikiranmu. Mungkinkah permintaan itu gila? Ya, aku memang sudah gila. Kenapa sampai detik ini pun aku tidak bisa melupakanmu?
Angin berhembus lembut. Riak sungai Han bergemuruh terus meronta dan meronta seperti hatiku. Tubuhmu tirus. Wajahmu pucat. Segala gelisah mengalir. Apakah penyakit yang bersarang dalam tubuhmu semakin parah? Kecemasan ini tiada hentinya menggelayut di hati. Tapi pernah kah kamu mencoba memahamiku? Apakah kamu pernah memikirkannya? Bagaimana aku menjalani hari-hari tanpamu?
Senja berganti malam. Terlihat muram. Kamu benar-benar berubah. Tapi tidak dengan tatapanmu. Tatapan teduh itu tetap berarah padaku, sama seperti dulu.
               Dunia KOMA, Maret-April 2013

*diterbitkan di Harian Medan Bisnis edisi  6 Juli 2014





Tidak ada komentar:

Posting Komentar