Novel
ini bercerita tentang kehidupan pemuda sederhana, bernama Borni yang tertinggal
di tepi sungai Kapuas. Borno kecil termasuk anak yang kritis. Rasa ingin
tahunya sangat besar. Beruntunglah ada tokoh Pak Tua yang bisa menjawab semua
keingintahuannya.
Cerita dimulai saat Borno kecil yang
berusia 12 tahun, harus menerima kenyataan pahit bahwa sang ayah meninggal,
ketika terjatuh dari perahu saat melaut dan tersengat ubur-ubur. Betapa
mulianya hati beliau, karena mendonorkan jantungnya kepada pasien penderita
gagal jantung sebelum meninggal. Bahkan, tidak meminta uang sepeser pun.
Hebatnya, Borno mewarisi kebaikan dan ketulusan hati ayahnya.
Setelah Borno lulus SMA, ia tidak
melanjutkan kuliah karena tidak memiliki biaya. Jadilah ia kesana-kemari mencari pekerjaan: menjadi
pegawai di pabrik karet, (tetapi lama kemudian pabrik tersebut tutup karena
bangkrut), bekerja di SPBU, bekerja sebagai penerima tiket di kapal feri.
Namun, tidak ada satu pun pekerjaan yang bertahan. Kemudian takdir membawa
Borno bekerja sebagai pengemudi sepit, yaitu: sebuah perahu kayu.
Suatu hari ada sepucuk amplop merah
alias angpau tertinggal di atas sepit Borno. Sepucuk angpau inilah yang
membawanya bertemu dengan seorang gadis bernama Mei, Berawal dari sinilah,
cerita romantika Borno dimulai.
Sebenarnya, kisah cinta Borno di
dalam novel ini, sangat sederhana. Tapi, siapapun yang membacanya pasti dapat
merasakan perasaan yang benar-benar tulus adanya. Bayangkan saja, betapa
lucunya kelakuan Borno. Setiap hari ia berusaha untuk mendapatkan anteran sepit
nomor tiga belas, agar dapat menyeberangkan Mei dengan sepitnya.
Dan yang lebih menggelikan lagi,
mulanya Borno tidak tahu siapa nama Mei sebenarnya. Usahan Borno untuk mencari
tahu nama Mei, dilakukannya dengan cara membuat lelucon tentang nama orang yang
diberi dengan nama-nama bulan.
“Namaku Mei, Abang.” Gadis itu
beranjak berdiri. “ Meskipun itu nama bulan, kuharap Bang Borno tidak
menertawakannya. Terima kasih buat tumpangannya.”
Alamak! Betapa malangnya nasib
Borno, tinggallah ia ternganga mendengar pernyataan gadis itu.
Di dalam cerita cinta, pastilah ada
suka dan dukanya. Begitu juga dengan kisah Borno. Mei tiba-tiba ingin menjauh
darinya. Dan membuat hidup Borno menjadi resah. Ia sangat penasaran, mengapa
Mei tiba-tiba bersikap demikian.
Akhirnya, setelah
sekian lama Borno tertikam penasaran. Ia mendapatkan jawaban itu lewat sepucuk
angpau merah yang dulu tertinggal di atas sepitnya. Angpau itu ternyata surat
permohonan maaf Mei kepada Borno.
Novel ini dikemas
dengan sangat apik oleh Tere Liye, dengan bahasa yang ringan sehingga kita
tidak bosan membacanya. Inilah ciri khas dari Tere Liye, novel-novelnya selalu
diceritakan dengan bahasa yang ringan dengan banyak pesan moral dan pengetahuan
di dalamnya. Novel ini sangat bagus untuk dibaca oleh semua kalangan. Selamat
Menyusuri romantika aliran sungai Kapuas!
Judul
Buku : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpao
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 512 Halaman
Tahun
terbit : Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar