Minggu, 15 Juli 2012


Puisi ini dimuat di Harian Waspada, 15 Juli 2012


Hening malam

Hening malam bertabur bintang-bintang kecil
sinarnya menyampaikan sejuta kisah roman pician
kerlap-kerlipnya melukiskan senyumanmu yang hangat
dan malam pun menjadi penawar sepiku
Dunia KOMA, Juni 2012


Ejaan Hati

serupa dengan ejaan yang tak terselesai
begitulah ihwal hati
mengail kata dalam curam
terus-menerus memancing persepsi
tertuai anak-beranak ejaan-ejaan hati
di langit pikiran
Dunia KOMA, Juni 2012

Sabtu, 14 Juli 2012

FLASH BACK (1)

Kenangan itu sangat indah untuk dikenang...
maka simpanlah ia rapi dalam relung...

Aku Bercerita Padamu
Tahukah engkau kawan,sekarang jiwa ini telah tenggelam dalam lautan sastra. Aku tidak tahu dengan pasti entah sejak kapan mulai mengapung lalu tenggelam. Tapi, jika aku menelisik berdasakan alam bawah sadar, sepertinya sejak KOMA (Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya) menyusup ke rongga sukmaku.
Bagiku KOMA adalah rumah kedua di mana aku bisa melampiaskan rasa haus akan sastra. Bukan hanya itu saja, KOMA adalah keluarga. Sebuah sebutan sederhana tetapi mengandung makna lebih dari sederhana. Sekarang sudah bisakah engkau membaca perasaan ini?
Aku tahu sekarang engkau mulai penasaran bagaimana pertemuan istimewa kami terjadi. Semuanya terjadi mengalir begitu saja. Saat itu di kelas, dosen tidak masuk dengan lampiran alasan yang menurutku itu klise. Nah, di saat itu-lah, malaikat-malaikat KOMA menyusup ke kelas. Mereka membawa kisah yang meletupkan semangat. Aku berdecak kagum akan perjuangan mereka untuk sastra di kampus ini yang kononnya, kering akan sastra. Sungguh mereka berhasil menghipnotis aku. Eh, bukan aku saja, ada dua karibku yang terhipnotis juga Ajeng dan Dina.
Perjuangan pun dimulai kawan, aku Ajeng dan Dina mengikuti seleksi KOMA. Ketika itu diriku dibalut dilema, aku harus memilih antara dua KOMA atau UKM Seni Teater. Setelah menimbang-nimbang(berat ringannya) dan melakukan pertapaan tujuh hari tujuh malam entah di gua mana (he..he..) akhirnya kutemui jawaban.
Hari pertama seleksi KOMA, aku ikuti dengan semangat. Perserta seleksi hanya lima orang termasuk aku, Ajeng dan Dina. Jadi, boleh-lah aku sedikit narsis(ehm). kemungkinan aku bisa diterima menjadi bagian dari KOMA.

Hari pertama seleksi (Kenal-kenalan)

Sebuah sebutan yang tepat untuk agenda hari pertama seleksi ”Suntikan Semangat ke Relung Sukma”. Mau tahu mengapa aku menyebutnya demikan? Begini ceritanya kawan, materi pertama dicecar oleh kak EL-Surya (malaikat KOMA) seuntai kalimat terlantur darinya hingga mengecap di liang sukmaku sampai sekarang “ Menulislah Anda Maka Anda Ada”. Mungkin di saat itu-lah aku sudah mengapung. Barangkali.
Selanjutnya disusul dengan materi cerpen, dicecar oleh kak si Peramu Mimpi ( malaikat KOMA). Kali ini kami dibawa ke sarang KOMA yang akrab disapa punggung KOMA. Imagine! Tempat yang paling indah dari bagian kampus ini, beratap langit, berdinding hembusan angin. Itu sih menurutku entah-lah menurutmu.

Kak Nanda, Dina dan aku yang lagi menulis. Dan ini merupakan tulisan pertamaku di punggung KOMA  # serius banget ya...


Hal yang paling melekat pada dinding jiwaku tentang kak si Peramu Mimpi, sifat juangnya dalam sastra dan semangat mengejar impian membuat aku menggeleng-gelengkan kepala. Sekarang sosoknya telah berhasil meramu mimpi untukku. Tapi, kak Peramu Mimpi jangan dulu berbangga hati karena si Perangkai Mimpi tak kan tinggal diam melihat mimpinya diramu.(he..he..)
Sebelum senja merangkak menuju malam. Kami sebagai peserta seleksi banyak dibebani akan tugas. Dua puisi, satu deskripsi, menentukan ending cerpen dan meresensi cerpen. Wah, biasa mati berdiri engkau, mengerjakan tugas setinggi gunung dalam waktu semalam.
Beratap langit, berdinding angin,
komunitas kita,

dalam kesederhanaan yang bersahaja,
dengan rasa kekeluargaan,
... diisi jiwa-jiwa pemberi,

Trio ADA (Ayu, Dina, Ajeng)
Sebelum pulang jepret-jepret dulu di punggung KOMA


senyum KOMA
* punggung KOMA


Tenang dulu kawan, aku tak sepanik apa yang engkau bayangkan.No ever, semuanya kukerjakan dengan senyuman. Aku kembali merangkai mimpi, menari-narikan pena di atas kanvas, bergelayut di tengah malam menuntaskan rindu.
Hari kedua seleksi KOMA lebih menguras energi dari pada hari pertama. “Pembantaian” sebutan yang pantas kusematkan untuk hari itu. Ah kawan, jangan langsung tegang wajahmu, dengarkan ceritaku selanjutnya. Maksudnya itu, pembantaian menggali potensi menulis dan rasa loyalitas. Ada tiga posko yang harus kami lalui: posko tunggu, posko interview, dan posko …? Ups aku lupa nama posko terakahir. Sory-lah kawan membuatmu penasaran. Ini di luar dugaanku.

Seleksi Hari ke-2: pengumpulan tugas
melingkar di punggung KOMA


Pembedahan tugas

Ajeng membaca puisi

* Jadi merindu punggung seperti sajak Ajeng Miftahul Ula

Nyanyian Rindu

Kurindu memangku senja
Bersamamu menyelipkan mimpi dibalik lekak-lekuk angin
Bersamamu menerbangkan kata-kata
terbang jauh mengintip diatap langit..
Agar dijabahlah ia oleh Sang Punya

Kurindu mengazamkan asa
Bersamamu menitahkan gejolak jiwa mengoar asa
Retaklah panggung raksasa

Kurindu matahari yang membakar raga
setiap kita melingkar  diawang alam itu
Kurindu deru nafasmu saat merenda satu demi Satu
Maksud nyanyian reranting kalbu

Kurindu menjejaki seutuhnya dirimu
Aku merindu
Serindu kerinduan yang terindu
Dunia Koma, September 2011


Di antara tiga posko tersebut, yang sedikit sulit posko interview. Nah kawan, kali ini kan kubunuh penasaranmu. Setelah dari posko tunggu, aku dan Ajeng menuju posko interview. Tebak kawan apa yang terjadi . Kami kesasar . Hal yang yidak diinginkan pun tak terelak. Kami menelusuri kampus hingga akhirnya posko interview ketemu jua. Kak Maya ( malaikat KOMA) dan kak si Peramu Mimpi telah menanti, bersiap melepaskan anak panah dari busur pertanyaan, Pertanyaan pun memecahkan sekat pikiran. Otak jadi berputar ke depan, ke belakang, samping kiri-kanan. Dan mulut kaku menjawab.

Aih, kantuk menderaku. Jadi, maaf-lah kawan bila aku hentikan ceritanya sampai di sini. Tapi, sebagai penawar kecewamu aku bebaskan engkau berargumen sendiri tentang endingnya.Namun, jika engkau tak kuasa akan kurangkai mimpi untukmu di malam selanjutnya.
Dunia KOMA, 3 Januari 2011


Ocehan kakak-kakak KOMA
*hhehe, keren! buatlah di catatn...

*ini testimoni ya??

bagus kok, jujur..ehem...
*lagi2 tanda baca-
hufh!

*mengeja tiap pokok pikiran yang kau rangkai membuat aku "terbang" berenang di antara awan-awan riang.

Tenang,penggambaran yang terang dan cukup memainkan perasaan pembaca-terutama kak.Adek mampu membuat kak penasaran.Ah,ingin rasanya kak membaca kalimat berikutnya
Dek... kalau boleh kak merindu,kak rindu cerpen atau puisimu terbit di media.disaat itu kau akan terbukti bahwa kau adalah SI PERANGKAI MIMPI.

Ingatlah adikku...
LAYANG_LAYANG TERBANG bukan karena mengikuti angin tetapi MELAWAN ARUS ANGIN...

KOMA HANYALAH WADAH DAN DIRIMULAH YANG MENJADIKAN BAHWA WADAH ITU PENUH ARTI...


Bersambung cuy…..
Sumber Foto: Facebook KoMa Medan

Lingkar pelangi sesudah hujan! Hugh!




Sabtu, 07 Juli 2012

Riak-riak Rindu

Cerpen yang dimuat di harian Sinar Harapan, 07 Juli 2012

Saat malam mulai menggamit sepi, selalu ada riak-riak rindu terdengar. Suara yang berasal dari relung kita. Mendesau melalui celah dedaunan. Bunyi jangkrik mengalun seperti tangga-tangga nada seirama dengan detak jantung kita. Suara yang saling sahut-menyahut satu sama lainnya. Riak yang tak mampu membuatku terdekap mimpi. Walapun bisa, bayanganmulah yang akan menyelinap dalam tidurku.
Bila riak rindu itu sudah datang, ia menjelma seperti angin yang mendesirkan aromamu. Dan ruang hari terasa sesak karena rindu. Ya, aku terjerat terlalu dalam di hatimu. Sebenarnya, rindu ini sangat menyiksa. Betapa tidak? Wajahmu berkelebat dalam mata hatiku. Rindu telah mengacaukan semua aktivitasku. Aku tak punya daya melawannya, kecuali diam menerima kedatangannya.      
Terkadang riak-riak rindu itu juga sedikit menggoda. Ya, sejuknya embun yang kerap kaukirimkan banyak mengalirkan cerita tentang dinginnya hati kita. Kadang pula hangat mentari dapat membakar hatiku dengan cemburu. Lantas, aku penasaran seperti apa rupa rindumu? Apa pernah rasa keraguan melindap di jiwamu? Pasalnya, tak ada fotoku yang menghiasi ponsel, notebook dan dompet milikmu. Kau juga tidak pernah merintih kesakitan oleh rasa cemburu maupun rindu.
“Rik, Apa kau tak pernah merinduiku?” tanyaku.
“Terlalu munafik bila aku menjawab tidak, Lis. Aku adalah lelaki yang ingin selalu berada dalam sisimu.”
“Terus, kenapa kau tak menyimpan fotoku di dompet dan ponselmu?”
“Karena wajahmu tak layak disimpan di sana. Wajahmu telah terkanvas dalam ceruk hatiku. Jadi, kapan pun dan di mana pun aku bisa melihatmu,” ucapmu sembari menatapku dengan lekat. Tatapanmu sungguh sangat teduh. Sorot mata itu memancarkan kejujuran.“Rinduku serupa embun yang memadamkan amarahmu,” tambahmu.
Dedaunan berguguran diterpa angin, jatuh mengemulai lembut menimpa kepala kita. Altar langit tergurat senja. Wajah kita berdua terbias semburat cahaya senja sehingga aku tak dapat melihatmu dengan jelas. Gelora hati kita berdansa di ujung cakrawala. Ya, Kau lelaki yang mampu mendebar-debarkan jantungku. Tiap kata yang terlontar dari mulutmu membuatku melayang ke langit ketujuh. Kau layaknya seorang punjangga.  
Kau kerap mengatakan, bahwa rindu itulah yang justru mengikat jarak yang terbentang antara kita. Ia merupakan tali yang kuat dalam menautkan jiwa kita. Karena rindu adalah panggilan yang paling tulus dari palung sukma. Rindumu-lah yang selalu mengingatkanmu padaku, bahwa ada seorang perempuan yang menanti kepulanganmu.  
            “Lis, sepulang aku dari Palestina, aku akan langsung melamarmu,” ucapmu penuh keyakinan.
            “Melamar apa? Kerjaan, Rik?” Aku tersenyum menahan tawa, melihat ekspresi wajahmu. Aku berpura-pura tak mengerti maksudmu, layaknya orang yang lugu.
            “Ya, kau benar sekali! Kerjaan sebagai suamimu,” jawabmu kesal.
            “Ah…ah…ah…” Kali ini tawaku tak bisa lagi kutahan, aku tertawa terbahak-bahak. “Kalau mau jadi suamiku, banyak syarat yang harus kaupenuhi.” Sambungku.
            “Syarat apapun itu, aku akan memenuhinya.”
            “Berikan aku alasan, mengapa aku harus menerimamu?”  
            “Karena aku adalah lelaki yang ingin selalu berusaha untuk membahagiakanmu.”
            “Apa jaminannya?”
            “Aku telah memberikan hatiku sepenuhnya padamu. Apa itu belum cukup?”
Apakah benar ucapanmu? Pantaskah aku menanam kepercayaan padamu? Embusan lirih itu yang sebenarnya menjadi harapanku. Harapan yang membuatku bersabar menanti kedatanganmu. Tapi, benarkah itu? Aku berharap itu bukan hanya sekadar ilusi saja. Bila kau berani ingkar, mungkin aku tak dapat jatuh hati untuk kedua kalinya. Kau tahu sendiri kan? Aku perempuan yang susah untuk jatuh hati dan mengakuinya.
***
Ya, sepenuhnya ini bukan salahmu. Aku memang tak menahan kepergianmu, justru mendukungmu sepenuhnya. Kau tahu mengapa aku melakukan hal itu? Karena aku ingin belajar berdamai dengan pekerjaanmu dan perasaan khawatirku.
Sebenarnya dari awal, aku tidak menyukai pekerjaanmu itu. Terlalu banyak resiko yang mengancam keselamatanmu. Dulu, tiap kali kau mengatakan kalau akan berangkat bertugas, aku akan merengek-rengek memohon agar kau batalkan kepergianmu. Bahkan, aku pernah meminta padamu untuk meninggalkan pekerjaan itu dengan alasan klasik. Karena permintaan itu, kita saling diam-diaman berminggu-minggu.
Ya, saat jeda waktu itulah, aku mencoba untuk mengerti dan berusaha berdamai dengan profesi yang kau geluti. Rindu mencekapku erat, hingga aku sulit menhirup udara. Musabab, udaraku adalah dirimu. Mulai sejak itu, aku tak pernah mencuatkan keinginan itu lagi.
Setiap kali kau bertugas, aku berteman dengan televisi -menunggu pemberitaan tentangmu. Aku merasa tenang bila telah melihat dirimu di televisi dengan seragam merah hitam. Kau terlihat gagah mengenakannya. Dengan suara khasmu yang kerap membisik hatiku, kau mengabarkan berita kepada pemirsa. Namun, tidak bagiku. Kau mengalirkan kabar bahwa dirimu dalam keadaan yang baik-baik saja di sana.
Seperti biasa, pemandangan di belakangmu selalu sama. Gumpalan debu yang tebal dan puing-puing terserak di mana-mana. Pernah suatu hari kau sangat berhasil membuatku cemas, saat itu kau sedang meliput granat yang jatuh di rumah penduduk. Darahku membeku bila mengingat kejadian itu. Detak jantung berdegup tak menentu. Hampir saja granat itu membelok ke arah tempatmu.
Ya, kau benar, setiap peperangan selalu meninggalkan luka yang mendalam. Jerit tangis tak usai mewarnainya. Rintihan korban tak akan henti. Masa depan anak-anak menjadi suram. Darah mengalir sebegitu mudahnya. Nyawa sama sekali tak berarti. Banyak para istri yang kehilangan suaminya maupun anak yang kehilangan ayahnya. Luka itu tak akan sembuh hingga tujuh keturunan, bahkan tergores abadi.
Banyak cerita yang mengalir dari sepanjang perjalananmu di negara yang berkecamuk. Kisah tentang anak-anak yang tak berani lagi untuk memiliki impian, bahkan lupa bagaimana caranya tersenyum. Kota tenggelam dalam kelam kepedihan.   
***
Waktu merambat pelan, sangat pelan. Dari detik ke detik, menit ke menit merajut sabar dalam penantian. Gelisah kian menggelayut di kelopak hati. Jujur, kali ini khawatirku mencuat begitu besar. Aku takut jika kejadian tempo lalu terulang lagi. Kabarmu sempat menghilang dan dicuragai gugur dalam tugas. Kau menghilang entah ke mana. Pihak stasiun televisi swasta-tempatmu bekerja pun tak mengetahui keadaanmu. Dan itu adalah hal yang menyengsarakan diriku.
“Kok diam? Kan aku perginya hanya seminggu,” ujarmu.
“Aku takut,” jawabku.
“Apa yang kau takutkan? Kau takut aku tak kembali?”
Aku hanya menganggukan kepala.
“Aku pasti akan kembali dengan selamat,” ucapmu meyakinkanku.
“Kau janji ya.”
“Ya, aku janji,” ucapmu sambil menjulurkan keliking jarimu padaku dan aku menyambutnya.
Sebuah janji yang mampu mengantarkan kepergianmu dengan senyuman dan keikhlasan. Aku kerap menitipkan doa untukmu dalam sujudku. Berharap kau diberi kemudahan di tiap langkahmu.
Tiba-tiba aku teringat pada perkataanmu yang mampu memudarkan khawatirku sedikit. Kau bilang, kau dapat merasakan apa yang kurasakan. Dan di mana pun aku berada, kau selalu tahu. Kau selalu bisa menjumpaiku sekalipun aku berada di planet Pluto. Dirimulah yang paling memahami diriku, bahkan lebih dari diriku sendiri. Kau selalu bisa membaca pikiran dan perasaanku.
Dulu, jauh sebelum pertemuan kita terjadi. Aku perempuan yang munafikan arti sebongkah rasa. Sama sekali tak terpikir untuk rencana sebuah pernikahan. Tapi, hadirmu mampu mengendapkan keraguanku. Kau banyak mengajarkanku hal-hal yang baru dengan cara yang tak biasa. Aku pun tidak tahu apa membuatku jatuh hati kepadamu. Entahlah, yang aku tahu, diriku merasa nyaman setiap berada di dekatmu. Sejak kau mewarnai hariku, aku tak pernah lagi merasa kesepian.
Dan aku percaya, pada akhirnya, riak-riak rindu ini tak akan pernah berhenti, tak pernah pula mati dalam relung kita. Musabab rasa yang menautkan kita terus-menerus bergelora. Ya kan, sayang?
Dunia KOMA, Juni 2012