Kamis, 19 Desember 2013

Puisi di Harian Medan Bisnis, 8 Desember 2013




 Sang Perindu

hurufku pecah dengan segala rindu. pecah, sepecah-pecahnya. meresap tajam dalam diam.
ya, akulah yang merindu di balik kata, dibalik gerimis dan dibalik kesunyian.
rindu ini kian tanak di celah-celah udara yang kuhirup.
Dunia KOMA, Nopember 2013


Aku Ingin


aku ingin menjadi gerimis yang selalu menemanimu saat kau menangis. perlahan-lahan membasuh lukamu, meredam gelisahmu, membasahi hatimu
aku ingin menjadi pelangi yang memberi keindahan dalam hidupmu. membuatmu tersenyum   saat kau merintih, mengerang
aku hanya ingin menjadi matahari ketika duniamu meredup, menyikirkan segala mendung dari relungmu, menyinari sisi gelapmu 
ya, karena itulah kemauan hatiku
Dunia KOMA, Nopember 2013

Senja Kembali Basah

senja kembali basah. lagi-lagi hujan mengurai tentang kita. rindu pun luruh dalam rinainya. diam-diam senja dan hujan bersekutu mengetuk pintu kenangan kita. dialog kita yang merekat jiwa, juga kelakar tawa, terdengar begitu dekat.
Dunia KOMA, Nopember 2013

Rabu, 04 Desember 2013

Senja Belum Genap Menjadi Malam



Dari sini cerita akan menderit pada aliran waktu. Berdetak seiring detik-detik yang bergeser. Alunan nada mulai mengalun dengan bait-bait puitis. Kita mengetahui bahwa hidup terus bergerak, meskipun kita ingin menjadi diam. Manusia akan berubah seiring waktu berjalan. Entah itu, berubah menjadi baik atau buruk. Inilah alamiahnya kehidupan.
***
            Kau dan aku dipersatukan oleh kata. Dunia yang sama-sama kita sukai. Pada suatu senja  takdir mempertemukan kita –di toko buku Gramedia Medan Mal. Saat itu, tangan kita ingin meraih buku yang sama –bersampul sehelai daun. Ada apa gerangan? Kenapa kita bisa memilih buku yang sama? Entahlah. Tapi, ini sebuah kebetulan yang manis. Hanya senyuman yang terlukis saat tatapan kita beradu.
            “Hey, kamu ingin novel ini juga?” serumu ramah.
            “Sudah lama aku mengincar novel ini. E… malah ketemu di sini,” ucapku.
            “Kamu penyuka karya penulis ini?” tanyamu antusias.
            “Ya,” jawabku pendek.
            “ Sama dong! Aku juga penggemar beratnya.”
            “Oya!”
Dan atas nama kebetulan, nasib, takdir atau apalah sebutannya, sekali lagi kita dipertemukan dalam universitas dan jurusan yang sama. Bedanya kau adalah kakak kelasku.
            Karena temu lebih sering dituai, kita pun semakin dekat dan akrab. Mengenal sosokmu, bagiku suatu hal yang membahagiakan. Betapa tidak? Darimu begitu banyak yang dapat aku pelajari. Kau selalu dapat menjadi penyeimbang dalam hidupku.
Kau tak pernah ragu dalam melangkah. Selalu penuh keyakinan melihat hari esok, esok dan esoknya lagi. Banyak orang yang berkesimpulan bahwa dirimu adalah perempuan berwatak keras. Ya benar, kaulah si keras kepala, tegar seperti karang yang diterpa ombak. Tapi, mereka tak pernah tahu seperti apa kau sebenarnya. Di balik ketegaran itu kau mempunyai sisi sentimentilmu sebagai perempuan yang normal.
Aku kagum padamu, Nai. Kau dapat bertahan di kota metropolitan ini hampir empat tahun, tanpa menyusahkan orangtuamu. Kau adalah si anak nelayan yang garang seperti ombak lautan. Sebagai perempuan kau menunjukkan kepadaku, bahwa kaum kita tak selemah apa yang kebanyakkan orang pikirkan. Perempuan juga dapat berdiri di atas kakinya sendiri.
***
Selalu ada cerita yang aku temukan saat senja menyapa kita. Seperti senja milik kemaren yang dihiasi oleh senyumanmu, Nai. Yang dari tadi tak lelah merekah dari sudut bibirmu. Ya, tadi pagi, aku menemanimu mengambil honor pertamamu. Tulisanmu dimuat di media.  Selamat Nai –sahabatku yang keras terhadap keinginannya.
            Langkahmu terus melaju. Piala-pialamu, berjejer menghiasi rak lemari di ruang tamu. Hampir tiap event kau berhasil menjadi sang juara. Kau tak pernah berteman pada kata menyerah. Selalu mencari jalan, meski kemungkinannya hanya satu persen dari seratus persen. Itulah dirimu. Kini, bukan saja rasa kagum, tapi aku bangga memiliki sahabat sepertimu, Nai.
            Lalu bagaimana dengan aku? Aku tetap berjalan meskipun lambat. Perlahan-lahan, tertatih-tatih dan terseok-seok menaiki anak tangga. Kau adalah suluhku untuk tetap bergerak, Nai.
Kini kau terlihat rapuh. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Kau berubah sejak kembali dari kampung halamanmu. Aku seperti berhadapan dengan sebuah patung. Kau membisu dan membeku. Ada apa denganmu, Nai?  Ke mana perginya wajah cerahmu?
Sampai kapan bayang-membayangi? Bila tanya tetap juga menjadi tanya. Terus-menerus saling menebak, saling menerka dan saling menerawang. Kau diam, memasung semua kata-kata. Tak ada sahabatku yang biasanya cerewet, bising, ramai dan semangat.
Cerita hari ini tentang senja yang bergerimis. Kau meresapi sakit yang tersemat di dalam relungmu tanpa membaginya denganku. Ah, ingin rasanya kubunuh lelaki jahanam itu, Nai. Lantas, mengirimkannya ke tempat terkutuk. Maaf Nai, bila aku begitu kasar terhadap lelaki yang paling kau hormati. Itu lumrah, Nai. Memang seperti itu watak aslinya manusia yang tengah tersulut emosi.
“Dia ayahku, Sa,” ucapmu bergetar.
Akhirnya kau tak kuasa menyimpan beban pikiranmu. Wajahmu penuh dengan kebingungan, kegamangan. Aku seperti tidak berhadapan dengan sahabat yang kukenal selama bertahun-tahun. Ah, ternyata lelaki itu adalah ayahmu sendiri.
“Ayahmu?” tanyaku menyakinkan.
“Dia menginginkan aku pulang,” jawabmu datar. “Aku dijodohi sama Pak camat. Pinangannya sudah diterima keluargaku. Aku harus bagaimana, Sa?” Kegelisahan itu benar-benar pecah.
“Apa? nikah!” ucapku tak percaya.
“Pak camat itu sudah punya istri tiga, Sa,” tambahmu.
“Sebaiknya temui ayahmu, katakan apa keinginanmu, impianmu dan masa depan yang telah kau rencanakan, Nai,” ujarku mantap.
Aku tahu, itu bukanlah bagian dari rencana hidupmu untuk saat ini, Nai. Apalagi kau harus menikah menjadi istri ke empat. Ini benar-benar sangat jauh dari apa yang kau impikan.
“Agak sulit untukku mengubah cara pandang dan pikiran ayah. Dia pasti akan marah besar.”
”Itu resikonya. Tapi, prinsip tetaplah prinsip. Ini masalah tentang hidupmu, yang nantinya akan kau jalani, Nai. Bukan orangtuamu yang menjalaninya. ”
“Tapi, ini bukan tentangku tapi tentang nasib keluargaku juga, Sa. Kalau kau berada di posisiku, apa yang akan kau lakukan?”
“Mengajak orangtuaku untuk duduk bersama. Menjelaskan apa keinginanku, mimpiku. Bicara dari hati ke hati. Kalau tetap juga nggak bisa. Dengan terpaksa aku akan melawan.”
Sungguh, tak ada niatku untuk menyuruhmu menjadi anak durhaka. Kau boleh melawan, membangkang, dan memberontak, selagi kau merasa itu benar dan pantas untuk diperjuangkan. Kau mempunyai hak untuk itu. Karena tidak ada yang sia-sia dari suatu pemberontakkan.
Nai, ada yang kita lupakan. Bahwa semakin hebat hidup yang kita jalankan, semakin hebat juga tanggung jawab yang kita pikul, semakin hebat pula tantangan yang menghadang kita. Jangan pernah takut, Nai. Aku tak kan ke mana-mana. Apalagi niat untuk membuatmu sendiri.
Lihat, kini senja menggantung. Ia tak pernah lagi bisa genap menjadi malam, Nai. Tak lagi gelak tawa, celoteh maupun perdebatan kita tentang keistimewaan novel. Kau pernah bilang, biarkan kita menulisnya sendiri, hingga suatu saat nanti kita sadari, seberapa istimewanya cerita kita dan seberapa dalamnya makna yang bakal kita temukan. Ya, kau benar, hari ini aku mengerti dan paham bahwa senja benar-benar sunyi. Hambar tanpa kita.
Dunia KOMA, 03.01.13 - 09.01.13
*diterbitkan di Harian Medan Bisnis, edisi 1 Desember 2013 

Kamis, 24 Oktober 2013

Puisi Harian Analisa, 16 Oktober 2013




Ngilu

terasa ngilu saat rindu menyapa
saat malam diam-diam membisik rindu
saat angin perlahan-lahan membelainya
dan kau tak kuasa membekapnya lagi
apakah cuma bait dan syair yang menjadi tumpuanmu?
apakah hanya kepada kata kau berani berkaca
tentang rasa yang berdesir bagaikan buih dalam ombak
Dunia KOMA, Oktober 2013

Ke Mana Arah Berarah?

bukankah tanya itu yang selalu
beranak di langit pikiran
terus beranak-pinak
tanpa bisa kau cegah
dan kumpulan gelisah setia mengepung
hati
“ke mana arah berarah?”
Dunia KOMA, Oktober 2013

Hujan Oktober

lalu hujan tak lelah membasahi
oktober
hujan benar-benar tahu
bagaimana cara memeluk kita
dalam jarak dan waktu
Dunia KOMA, Oktober 2013

Selasa, 01 Oktober 2013

Yang Terbawa




setumpuk surat cinta ini kan kubawa
menjadi lembaran-lembaran kenangan
yang meruas di hati
terpahat abadi
serupa puisi dan cerita yang menemani
perjalananku 


wajahmu, namamu, 
selalu kukenang sebagai kenangan yang manis

salam kangen kukabarkan;


teruntuk anak-anak SMA N 3 Tebing Tinggi


September Bersamamu dan Tanpamu




Ada yang ingin kutuliskan di bulan September. Sebuah tulisan yang sederhana –sesederhana wajah-wajah yang selama ini menemaniku, ada bersamaku. Mungkin benar mereka bagaikan puisi dan cerita terindah dalam hidupku.
Terimakasih atas sambutan yang terhangat dari kalian. Senyuman yang tiada henti menjelma dalam ruas-ruas hati.
#keluargappl/keluargasmanting3/anak-anaksmantig3/





Kamis, 18 Juli 2013

Sehelai Daun





Kenanganlah yang membuatku masih ada di sini. Jika nanti aku benar-benar rapuh dan hancur menjadi abu, menyatu dengan udara. Gegaslah, kau ulur tanganmu. Sebelum ragaku kan menghilang.  
***

Bila dedaunan dapat bercerita, berarti ia pun merekam semuanya. Tentang pertemuan, tawa, airmata dan perpisahan. Ia akan berkisah prihal kita, yang kerapkali melebur menjadi satu. Dulu, kita suka melakukan apa pun di sini. Mengembangkan kedua tangan menyambut  tiap dedaunan yang jatuh, bermain atau merajuk dan meringkuk di sini setiap kali hati kita sedang sedih.

Bukit ini dihiasi pepohonan rindang, udara sejuk, kebun teh yang berbaris rapi di bawah bukit. Kehijauan yang tenang nan lembut, dan suara aliran sungai. Ah, tak perlu kujelaskan mengapa kita begitu menyukai suasana di sini.

Biasanya, tiap sore kita akan bermain sepeda menjelajahi seluk-beluk kebun teh, menaklukan jalur yang terjal. Dan aku yang selalu berdiri di belakangmu sambil memegang erat bahumu. Awan berarak-arak mengikuti ke mana pun laju sepeda ini berarah. Kau terus mendayungnya, meluncur bebas di tiap penurunan. Sedangkan, aku berteriak histeri menahan ketakutan. 

Para pemetik teh akan selalu marah-marah setiap kita melewati jalan kecil, yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Mereka mengatakan kalau kita adalah anak-anak yang nakal, kerap membuat ricuh. Namun, kita hanya membalasnya dengan senyuman sembari mengangguk, sebagai tanda minta maaf.

Tapi, di antara itu semua ada yang paling kita sukai, apalagi kalau bukan dedaunan. Entah dimulai sejak kapan. Kita selalu menyimak bagaimana ia berdesau, memerhatikan tiap lekuknya, melihatnya menari-nari di udara dan apa pun yang dilakukannya. Ya, daun itu sangat indah hingga kita terpesona padanya. 

Ingatkah? Pada saat kita berlomba-lomba mengumpulkan dedaunan yang berguguran  dengan bentuk yang sama. Dan yang kalah akan mendapatkan hukuman. Ya, kau selalu kalah. Dengan tawa yang rekah, aku akan langsung menunggangi punggungmu. Kau akan berlari-lari kecil melewati jejeran pepohonan rindang. Dan angin pun datang memukul dedaunan. Bagaikan helaian-helaian yang jatuh menimpa kepala kita. Belakangan aku baru tahu, bahwa kau selalu sengaja mengalah dariku.

Saat langit terhias garis-garis merah, kita acapkali melakukan ritual wajib. Selepas, puas bermain-main sepeda kesana-kemari dan mengganggui pemetik teh. Kita akan kembali ke bukit, melihat segerombolan burung yang hendak menuju sarangnya. Perlahan-lahan senja ditelan keremangan. Membiaskan siluet kepakkan sayap burung yang terlihat anggun. Bergerak seperti kedipan selaput mata.

Ya, sembari kita kan menulisi hal yang berkesan sepanjang hari ini, tentang cita-cita dan impian pada lembaran daun. Lantas, menaruhnya ke dalam kotak kaleng yang kita sebut sebagai ‘harta karun’. Tepat di bawah pohon, kita menggali lubang yang sesuai ukuran kotak kaleng itu, lalu menanamnya.

“Kay, kita kan menaruh semuan barang kesukaan kita di sini,” ucapmu sembari memegang kotak kaleng.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Kenangan. Nanti kalau kita sudah besar, kita akan membongkarnya” jawabmu tersenyum. Mulutku membentuk huruf “O”
“Berarti ini juga bisa ikut disimpan dong?” tanyaku lagi sambil memegang kompas kecil yang kerapkali kau bawa ke mana-mana.
“Eits… kalau ini masih sangat kuperlukan,” sergahmu. “Entar kalau aku kesasar, biar tahu jalan pulang,” tambahmu. Kau langsung merampasnya dari tanganku.
            “Segitu pentingnya benda itu?”
       “Jelas pentinglah. Ini kan pemberianmu, jadi jika nanti aku kehilangan jejakmu, kompas ini akan memudahi aku tuk menemukanmu.” Tanganmu masih saja sibuk menggali tanah, menanam ‘harta karun’ itu di bawah pohon rindang. “Kotak kaleng ini ibarat tabungan yang berisi kenangan kita. Suatu hari nanti kalau kita sudah dewasa, salah satu dari kita berhak untuk membongkarnya. 

Dulu, di bawah pohon rindang ini pun, kau sering memainkan musikmu. Gitar tua selalu menemanimu melahirkan nada-nada yang sederhana. Lantas, kau menggunggahnya menjadi sebuah lagu. Sayangnya, kau tak lihai dalam menciptakan lirik.
            Seperti biasanya akulah yang menyempurnakan lagumu. Nada dan kata melebur menjadi satu. Bagiku berkarya bersamamu terasa menjadi utuh. Tulisanku bernyawa karena melodimu.  Begitulah kita yang saling mengisi satu sama lainnya.

***
Waktu memang sangat kejam dapat merubah apa pun, termasuk dirimu. Semuanya berubah. Seolah terlupa atau benar-benar terlupa. Kau pergi.
***

Pada senja yang basah, aku menunggumu di bawah pohon rindang. Membasahi pepohonan, dedaunan, kebun teh, atap rumah dan segala sesuatunya, termasuk hatiku. Pertanyaan begitu banyak muncul seakan-akan ada magnet yang menariknya. Pertanyaan tentangmu, Han.

Ada apa denganmu? Kenapa belum juga datang? Atau ada masalah yang sedang kau hadapi? Atau jangan-jangan kau memang sudah tidak mau lagi bertemu denganku?

Aku tetap berteduh di sini, meski seluruh tubuh tetap basah. Hujan deras semakin keras. Yang kudengar bukan lagi alunan musikmu, tapi suara hujan yang menemaniku. Jatuh seperti tempo cepat. Terdengar bak nada-nada melankolis. Perasaan berpacu, berlumur kesedihan dan kekecewaan. Hingga hujan pun menjadi diam. Tapi hatiku tetap bergemuruh risau dan tanya. Langkah kaki gontai seperti menyeret berton-ton beban. Kau ke mana, Han?

Dirimu curang, Han. Kau dengan mudahnya dapat menemukanku dengan kompas yang kuberikan. Lantas, aku harus dengan apa bisa menemukanmu. Sungguh tak ada tuntutan. Aku hanya ingin tahu mengapa kau pergi tanpa salam perpisahan. Kau tiba-tiba menghilang begitu saja. Apa kau sengaja? Agar pikiranku terus-menerus berisi sejuta pertanyaan tentangmu.   
***

 Ini adalah pagi yang paling melembutkan, meski sedikit kabut. Suara burung riang berkicau. Langit pun sedikit berselimut mendung. Orang-orang terbangun, menamatkan mimpinya. Pemetik teh, petani, anak sekolah, pedagang asongan, pegawai negeri semuanya bergerak melakukan kegiatannya masing-masing.

   Dedaunan berguguran berserak di halaman. Dari balik jendela, kenangan segalamu pun turut berguguran. Sebuah suara menghentakan seorang perempuan yang masih kelihatan muda dari lamunannya. Perempuan itu terlihat tirus dan pucat. Ia mengenakan syal di lehernya.

“Ini apa? Sampah?” tanya seseorang perempuan paruh baya. Tangannya memegang sebungkus plastik transparan yang berisi daun.
“Tadi ibu dapat di bawah kolong tempat tidurmu? Ada tulisannya juga ini,” ucapnya sambil memberikan bungkusan tersebut kepada perempuan muda itu.

Dia terpaku saat membaca tulisan pada dedaunan yang kecoklatan itu. Tangannya bergemetar. “Aku juga,” ucapnya lirih.  
Bila kau merinduiku lihatlah dedaunan. Kau akan menemukanku di antara dedaunan yang bersemi pun yang jatuh.
                                                                  Dunia KOMA, 12.06.13
Penulis mahasiswa bahasa sastra Indonesia Universitas Muslim Al-Washliyah Medan dan bergiat di Komunitas Membaca dan Berkarya (KOMA)

*Cerpen ini diterbitkan di Harian Medan Bisnis edisi  14 Juli 2013

Senin, 20 Mei 2013

Puisi di Harian Analisa, 15 Mei 2013


Kota Kecil 

Sepanjang susuran langkah di kolong langit yang mendung
angin masih saja mengelus lembut kenangan
di antara rimbunan gerimis halus
ku menemukannya
sepotong tawa dalam senja
untuk tiap huruf yang menyatu
di kota kecil kita
Dunia KOMA, Mei 2013
Gerimis Tersenyum Sinis 

Gerimis tersenyum sinis
Seolah menyindir “segitukah kita?”
Entahlah, biarkan ini semuanya basah
Basah-sebasahnya impian itu
Tak ingin tergantung terlalu tinggi
Sebab aku tak mau meninggalkan rasa kecewa
Dunia KOMA, Mei 2013
Syair Kerinduan 

Menikam sepi
dengan sejuta nada-nada
mengaluni malam yang buram
berbisik membisikkan sebuah syair
; syair kerinduan
Dunia KOMA, Mei 2013

Kata

Kata
adakah kita di antaranya?
yang saling rusuh tuk bersatu
sibuk menampung hujan kegelisahan
menawan pilar-pilar dahaga
hingga titik berat menghunus jantung kita
Dunia KOMA, Mei 2013