Kamis, 18 Juli 2013

Sehelai Daun





Kenanganlah yang membuatku masih ada di sini. Jika nanti aku benar-benar rapuh dan hancur menjadi abu, menyatu dengan udara. Gegaslah, kau ulur tanganmu. Sebelum ragaku kan menghilang.  
***

Bila dedaunan dapat bercerita, berarti ia pun merekam semuanya. Tentang pertemuan, tawa, airmata dan perpisahan. Ia akan berkisah prihal kita, yang kerapkali melebur menjadi satu. Dulu, kita suka melakukan apa pun di sini. Mengembangkan kedua tangan menyambut  tiap dedaunan yang jatuh, bermain atau merajuk dan meringkuk di sini setiap kali hati kita sedang sedih.

Bukit ini dihiasi pepohonan rindang, udara sejuk, kebun teh yang berbaris rapi di bawah bukit. Kehijauan yang tenang nan lembut, dan suara aliran sungai. Ah, tak perlu kujelaskan mengapa kita begitu menyukai suasana di sini.

Biasanya, tiap sore kita akan bermain sepeda menjelajahi seluk-beluk kebun teh, menaklukan jalur yang terjal. Dan aku yang selalu berdiri di belakangmu sambil memegang erat bahumu. Awan berarak-arak mengikuti ke mana pun laju sepeda ini berarah. Kau terus mendayungnya, meluncur bebas di tiap penurunan. Sedangkan, aku berteriak histeri menahan ketakutan. 

Para pemetik teh akan selalu marah-marah setiap kita melewati jalan kecil, yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Mereka mengatakan kalau kita adalah anak-anak yang nakal, kerap membuat ricuh. Namun, kita hanya membalasnya dengan senyuman sembari mengangguk, sebagai tanda minta maaf.

Tapi, di antara itu semua ada yang paling kita sukai, apalagi kalau bukan dedaunan. Entah dimulai sejak kapan. Kita selalu menyimak bagaimana ia berdesau, memerhatikan tiap lekuknya, melihatnya menari-nari di udara dan apa pun yang dilakukannya. Ya, daun itu sangat indah hingga kita terpesona padanya. 

Ingatkah? Pada saat kita berlomba-lomba mengumpulkan dedaunan yang berguguran  dengan bentuk yang sama. Dan yang kalah akan mendapatkan hukuman. Ya, kau selalu kalah. Dengan tawa yang rekah, aku akan langsung menunggangi punggungmu. Kau akan berlari-lari kecil melewati jejeran pepohonan rindang. Dan angin pun datang memukul dedaunan. Bagaikan helaian-helaian yang jatuh menimpa kepala kita. Belakangan aku baru tahu, bahwa kau selalu sengaja mengalah dariku.

Saat langit terhias garis-garis merah, kita acapkali melakukan ritual wajib. Selepas, puas bermain-main sepeda kesana-kemari dan mengganggui pemetik teh. Kita akan kembali ke bukit, melihat segerombolan burung yang hendak menuju sarangnya. Perlahan-lahan senja ditelan keremangan. Membiaskan siluet kepakkan sayap burung yang terlihat anggun. Bergerak seperti kedipan selaput mata.

Ya, sembari kita kan menulisi hal yang berkesan sepanjang hari ini, tentang cita-cita dan impian pada lembaran daun. Lantas, menaruhnya ke dalam kotak kaleng yang kita sebut sebagai ‘harta karun’. Tepat di bawah pohon, kita menggali lubang yang sesuai ukuran kotak kaleng itu, lalu menanamnya.

“Kay, kita kan menaruh semuan barang kesukaan kita di sini,” ucapmu sembari memegang kotak kaleng.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Kenangan. Nanti kalau kita sudah besar, kita akan membongkarnya” jawabmu tersenyum. Mulutku membentuk huruf “O”
“Berarti ini juga bisa ikut disimpan dong?” tanyaku lagi sambil memegang kompas kecil yang kerapkali kau bawa ke mana-mana.
“Eits… kalau ini masih sangat kuperlukan,” sergahmu. “Entar kalau aku kesasar, biar tahu jalan pulang,” tambahmu. Kau langsung merampasnya dari tanganku.
            “Segitu pentingnya benda itu?”
       “Jelas pentinglah. Ini kan pemberianmu, jadi jika nanti aku kehilangan jejakmu, kompas ini akan memudahi aku tuk menemukanmu.” Tanganmu masih saja sibuk menggali tanah, menanam ‘harta karun’ itu di bawah pohon rindang. “Kotak kaleng ini ibarat tabungan yang berisi kenangan kita. Suatu hari nanti kalau kita sudah dewasa, salah satu dari kita berhak untuk membongkarnya. 

Dulu, di bawah pohon rindang ini pun, kau sering memainkan musikmu. Gitar tua selalu menemanimu melahirkan nada-nada yang sederhana. Lantas, kau menggunggahnya menjadi sebuah lagu. Sayangnya, kau tak lihai dalam menciptakan lirik.
            Seperti biasanya akulah yang menyempurnakan lagumu. Nada dan kata melebur menjadi satu. Bagiku berkarya bersamamu terasa menjadi utuh. Tulisanku bernyawa karena melodimu.  Begitulah kita yang saling mengisi satu sama lainnya.

***
Waktu memang sangat kejam dapat merubah apa pun, termasuk dirimu. Semuanya berubah. Seolah terlupa atau benar-benar terlupa. Kau pergi.
***

Pada senja yang basah, aku menunggumu di bawah pohon rindang. Membasahi pepohonan, dedaunan, kebun teh, atap rumah dan segala sesuatunya, termasuk hatiku. Pertanyaan begitu banyak muncul seakan-akan ada magnet yang menariknya. Pertanyaan tentangmu, Han.

Ada apa denganmu? Kenapa belum juga datang? Atau ada masalah yang sedang kau hadapi? Atau jangan-jangan kau memang sudah tidak mau lagi bertemu denganku?

Aku tetap berteduh di sini, meski seluruh tubuh tetap basah. Hujan deras semakin keras. Yang kudengar bukan lagi alunan musikmu, tapi suara hujan yang menemaniku. Jatuh seperti tempo cepat. Terdengar bak nada-nada melankolis. Perasaan berpacu, berlumur kesedihan dan kekecewaan. Hingga hujan pun menjadi diam. Tapi hatiku tetap bergemuruh risau dan tanya. Langkah kaki gontai seperti menyeret berton-ton beban. Kau ke mana, Han?

Dirimu curang, Han. Kau dengan mudahnya dapat menemukanku dengan kompas yang kuberikan. Lantas, aku harus dengan apa bisa menemukanmu. Sungguh tak ada tuntutan. Aku hanya ingin tahu mengapa kau pergi tanpa salam perpisahan. Kau tiba-tiba menghilang begitu saja. Apa kau sengaja? Agar pikiranku terus-menerus berisi sejuta pertanyaan tentangmu.   
***

 Ini adalah pagi yang paling melembutkan, meski sedikit kabut. Suara burung riang berkicau. Langit pun sedikit berselimut mendung. Orang-orang terbangun, menamatkan mimpinya. Pemetik teh, petani, anak sekolah, pedagang asongan, pegawai negeri semuanya bergerak melakukan kegiatannya masing-masing.

   Dedaunan berguguran berserak di halaman. Dari balik jendela, kenangan segalamu pun turut berguguran. Sebuah suara menghentakan seorang perempuan yang masih kelihatan muda dari lamunannya. Perempuan itu terlihat tirus dan pucat. Ia mengenakan syal di lehernya.

“Ini apa? Sampah?” tanya seseorang perempuan paruh baya. Tangannya memegang sebungkus plastik transparan yang berisi daun.
“Tadi ibu dapat di bawah kolong tempat tidurmu? Ada tulisannya juga ini,” ucapnya sambil memberikan bungkusan tersebut kepada perempuan muda itu.

Dia terpaku saat membaca tulisan pada dedaunan yang kecoklatan itu. Tangannya bergemetar. “Aku juga,” ucapnya lirih.  
Bila kau merinduiku lihatlah dedaunan. Kau akan menemukanku di antara dedaunan yang bersemi pun yang jatuh.
                                                                  Dunia KOMA, 12.06.13
Penulis mahasiswa bahasa sastra Indonesia Universitas Muslim Al-Washliyah Medan dan bergiat di Komunitas Membaca dan Berkarya (KOMA)

*Cerpen ini diterbitkan di Harian Medan Bisnis edisi  14 Juli 2013