Selasa, 11 Desember 2012

Ketika Cemburu Menyelinap



Ketika cemburu menyelinap di celah hati. Ada riak-riak amarah yang mengebu dan mengendap. Getar-getar yang bergemetar. Berhembus membisik dan menelisik relung. Retak-gemertak meretakkan jiwa berkeping-keping.
***
Han, seharusnya kau bersyukur karena dirimu memiliki otak ber-IQ tinggi. Tuhan menciptakanmu dengan kecerdasan dan wajah yang tampan pula. Siapa pun perempuan yang menatap mata sipitmu, pasti akan terpesona. Apabila jika kau sedang tersenyum, kedua lesung pipit itu akan terlihat jelas. Ya, sebuah senyuman yang karismatik.
Kau kerap mengisi acara seminar, perdebatan dan talk show keliling kota maupun ke luar negeri. Di usia yang masih terbilang muda, kau bisa dikatakan orang yang telah meraih kesuksesan.
Tetapi, kau memang lelaki yang sukar dijinakkan, terlebih dirimu –lelaki yang gemar berpetualang. Ya, kau-lah sang tualang. Entah sudah berapa banyak hati perempuan yang kau jelajahi. Kebiasaanmu itu adalah salah satu hal yang paling aku benci. Tak jarang hatiku terbakar cemburu. Bukan hanya sekali, tapi terlalu sering aku mencoba mengerti dan memahamimu.
Memang kuakui selama kau bersamaku, kau tak pernah mendua. Kau tidak mempermainkan hatiku. Tapi, aku tak percaya kalau kebiasaan buruk itu dapat langsung lenyap seketika. Tidak, tidak semudah itu untuk ber-metaformosis. Makanya setiap saat, aku mempelajari tentang dirimu, memahami karaktermu. Aku kerapkali menoleransi sifat-sifatmu yang membuat hati menggurutu. Namun, untuk sekali ini aku tak mampu menepisnya. Kau menunjukkan sikap yang berlebihan terhadap sahabatku sendiri.     
Ya, kau-lah sang idola yang kerap dikejar-kejar para penggemar. Setiap peluncuran buku terbarumu, mereka berduyun-duyun menggerumungi dirimu. Meminta segurat kalimat plus tandatangan dan foto bersama. Ada juga perempuan yang nekad mengajakmu dinner atau hanya sekadar jalan-jalan.
“Ra, bila Shah Jahan membangunkan Taj mahal untuk Arjumand Banu-nya, maka aku akan mempersembahkan seribu sajak hanya untukmu sebagai lambang kesetiaanku padamu.”
            “Kesetianmu hanya milik Tuhan bukan milikku. Janganlah kau menduakan-Nya. Cemburu-Nya lebih dan lebih daripada diriku. Oya ya, aku lupa bukankah hal itu merupakan hobimu?”
            “Jangan tuduh aku begitu! Aku bingung harus bagaimana lagi meyakinkan hatimu. Sudah seribu kali kukatakan aku ini uda berubah. Itu masa laluku.”
            “Tuduh? Tidak, aku tidak menuduhmu. Kau memang sang tualang yang ulung . Dan itu adalah sifatmu yang tak kan pernah bisa berubah kan?” ucapku nanar.
            “Ya, kau benar. Tapi, sekarang aku hanya berpetualang denganmu. Tidak ada yang lain.”
            “Oya.”
Bagiku kau bagaikan kupu-kupu, Han. Yang tiap perkembangannya harus selalu kupahami. Berawal dari kepompong dan akhirnya menjadi kupu-kupu yang indah. Lantas, kau terbang ke tempatku dengan warna sayap yang menawan.
Seperti embun yang basah. Setitik rasa menjelma segumpal rasa. Ada yang berdenyut dan bergelayut dalam relung. Hadirmu mengharmonisasikan perjalanan hidupku. Nada-nada bermelodi sederhana. Senar-senar berdenting nan lembut. Kau-lah lelaki yang mengisi ruang jiwa. Mewarnai hari dengan kuas merah muda.
Namun, aku tak pernah ada seutuhnya hadir dalam kehidupanmu. Mungkin kau pun dapat merasakannya. Aku tidak pernah melibatkan dirimu dalam urusan yang lain, kecuali urusan tentang hati. Sekalipun berada di kota asing ini.
Di sini –di tempat asing ini, aku hanya mengenalmu. Tak ada sanak saudara maupun teman yang menemaniku. Aku perempuan yang tak mau bergantung kepada orang lain termasuk dirimu. Ingat Han, tujuan utamaku berada di sini adalah belajar bukan karena kau. Maaf, bila kau merasa aku menduakanmu dengan segala macam kegiatanku.
“Ra, aku merasa kau tak pernah  memberi hatimu seutuhnya padaku. Kau mencicilnya, layaknya aku ini tukang kredit.” 
”Kalau aku memberimu secara cash, itu tidak sesuai dengan prinsip hidup cerdas. Hanya si idiot saja yang akan melakukannya.”
“Lantas, sampai kapan kau akan melunasinya?”
“Rasa itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Kau hanya perlu bersabar.”
“Ya, dan aku akan menangihnya setiap hari.”
“Baiklah sang kolektor.”
***
Gugusan awan berarak-arak di atas mobil berwarna hitam yang berjalan. Langit mengembang tirai mendung. Sama seperti sekelabu hatiku. Ah, kau lelaki pecemburu. Aku  tak menyangka, cemburumu lebih dari padaku. Dia sahabatmu bukan rivalmu, Han.   
Ya, memang betapa lucunya kau, Han. Ternyata sang tualang juga bisa cemburu dan marah-marah tak menentu. Bahkan sahabatmu terheran-heran melihat sikap anehmu itu. Seperti anak kecil yang merengek-rengek karena permintaannya tidak dituruti.
Akhirnya, sang tualang bertekuk letut jua. Sekarang kau tahu kan rasanya bagaimana? Rasa cemburu dan tak dihargai keberadaannya. Kau telah menggiris-iris hatiku. Dan aku melakukan hal yang sama padamu. Aku itu bayanganmu, apa yang kau lakukan itu yang akan kulakukan.
Jalanan yang berkelok-kelok dihiasi dengan deretan pohon pinus –berbaris rapi di sayap kiri-kanan yang mulus. Desau dedaunan mendesah menyusup ke relung yang meragu. Suara kicauan riang bernyanyi menyambut kedatanganku dan rombongan keluargamu, Han. Aroma sejuk yang kerap kurindukan tiap pagi.
Bukannya, aku tak ingin. Tapi, kau melakukan semua ini karena semata-mata cemburu. Aku masih ingin menyelami lautan ilmu dan mewujudkan mimpi-mimpiku. Mengapa harus sekarang? Ini terlalu cepat. Dan mungkin kau pun merasakan keraguan hatiku, membaca ketidaksetujuanku. Namun, kau menepisnya.
“Ra, menurutmu pinanganku bakal diterima nggak sama orangtuamu?”
“Aku berharap semoga ditolak.”
“Kalau begitu, aku akan langsung menculikmu.”
“Terus kau jadi WANTED dech.”
“Kita akan bersembunyi di lubang jepang.”
“Dan kita akan mati membusuk.”
“Kenapa harus berakhir dramatis gitu?”
“Aku kan penulisnya. Jadi, aku yang menentukan ending-nya.”
“Kau egois.”
“Apa nggak sebaliknya.”
Keheningan tercipta sepanjang perjalanan. Kita terdekap bisu. Tak ada keluh maupun perdebatan. Namun, hati saling bergemuruh. Pikiran kita menerawang entah ke mana. Ingin menyapa tapi dibunuh oleh kerasnya hati.
Han, dalam hubungan itu harus ada keyakinan dan kepercayaan lebih dari sekadar cincin yang melimgkar di jemari manis kita. Sebuah Cincin hanya simbolik saja. Yang penting itu adalah hati kita. Sedangkan keyakinan dan kepercayaan itulah pondasinya.
Kau tahu? Kau merupakan jauhku sekaligus dekatku yang paling mungkin. Ya, terkadang aku merasa kau jauh dan kadang pula kau dekat. Seperti saat ini aku merasa kau menjauh dari hatiku.
Catatan: Terinspirasi dari novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy
Dunia KOMA, 16-07-12
Ayu Sundari Lestari, mahasiswa Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah Medan dan bergiat di KOMA Medan.

# Dimuat di Harian Mimbar Umum, 01 Desember 2012

Jumat, 26 Oktober 2012

Puisi Analisa, 24 Oktober 2012


Menata Hari
Ayu Sundari Lestari

Luka itu sudah tiada
Tak ada lagi tangis darah yang basah
Atau kecewa yang menggelayut di dalam batin
Kini aku akan kembali ke awal
Kembali ke tempat semula jauh sebelum dirimu hadir dalam hariku
Menata hariku yang telah kau pora-porandakan
Puing-puing yang tersisa tak akan selamanya jadi puing
Dunia KOMA, 05.10.12

Suara Rindu
Ayu Sundari Lestari
Dalam senyap ada yang terdengar
Kerap menganggu
Ya apalagi kalau bukan tentang rasa
Rasa rindu yang menyelinap dalam relung
Berderu seperti belaian angin yang lembut
Suara rindu kian berteriak
Dan kita hanya dapat diam
Dunia KOMA, 04.10.12



Airmata
Ayu Sundari Lestari

Airmata ini memakiku
Menjadikan aku sosok yang terhina
Tidak, aku tidak sebodoh itu
Yang rela dimaki karenamu
Airmata ini bukan milikmu lagi
Dunia KOMA, 05.10.11.12

Belenggu
Ayu Sundari Lestari
           
Seperti deritan gerbong-gerbong tua
menyeruak dengan suara yang serak
dedaunan diinjak dan terinjak
begitulah resah yang terbenam di dalam jiwa
pikiran lelah berpikir
akal tak bermain waras
hanya terbelenggu dalam lelah
Dunia KOMA, 05.10.12




Bebas
Ayu Sundari Lestari

Ocehannya menyusup telinga namun
tak bisa menembus jiwa
tak bisa meresap dalam memori
sungguh, ocehannya hanya seperti burung beo
yang tak bermutu
lalu-lalang di awang-awang
Dunia KOMA, 05.10.12
Kosong
Ayu Sundari Lestari
tampang-tampang yang kosong
berharap laju jam berputar maju
lekas tunai dalam berpikir
kasiannya waktu belum sampai
muka-muka yang tergurat letih atau
malas yang memang tak ada obatnya
entahlah, ini bukan salah siapa-siapa
dan tak ada yang patut dipersalahkan
sajak gelisah
Dunia KOMA, 05.10.12

Rabu, 29 Agustus 2012

Meminang Rasa


serupa serdadu yang bergumuruh bak perang
mungkin begitu juga riak hati yang berdawai

liuk-meliuk melilit jiwa
di atas pangkuan senja berwajah merah
terpampang semangko rasa

*Dimuat di Harian Medan Bisnis, 12 Agustus 2012

Rabu, 15 Agustus 2012

Keindahan Jatuh Dari Cinta

Judul Buku : Jatuh Dari Cinta
Penulis        : Benny Arnas
Cetakan      :  2011
Tebal           : 216 Halaman
ISBN          : 978-602-8458-42-2
Penerbit      : Grafindo

            Tak ada habisnya jika membicarakan tentang cinta. Begitu luas dan mendalam untuk kita menafsirkan apa itu cinta. Tapi, tema sederhana inilah yang berhasil diramu Benny Arnas dengan cara dan rasa yang tentunya berbeda. Cerita-cerita orang yang sedang mabuk kepayang karena jatuh dari cinta terbingkai indah dalam judul “Jatuh Dari Cinta”. Buku ini merupakan buku tunggalnya yang ketiga setelah Bulan Celurit Api (Koekoesan, 2010) dan Meminang Fatimah ( Manuskrip, 2009).
Benny Arnas memandang dan mengartikan cinta dari sudut pandang yang berbeda. Ini jelas terlihat dari tiap cerpen yang terangkum di dalam buku ini. Benny mampu menghanyutkan pembaca dalam aliran sungai dengan kepiawaiannya bercerita. Lantas, membuatnya jatuh ke tebing jurang.
Lihat saja! dengan pembukaan cerpen yang berjudul “Natnitnole”. Dari judul saja telah membuat pembaca penasaran dan segera ingin membacanya. Keunikkan dari cerita ini  karena menggunakan sudut pandang orang pertama (aku) untuk keempat tokoh sekaligus. Menceritakan tentang keluarga. Tokoh Papa berselingkuh dan suka memukul Mama, akan tetapi cintanya Mama tak pernah memudar sampai perpisahan terjadi. Sangat miris sekali saat tokoh anak-anak muncul sebagai korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Di penghujung cerita kita disentak, ternyata Papa main tenung. Papa mendatangi dukun dan menyatakan keinginannya untuk kembali.
Dalam cerita ini Benny Arnas menilai cinta ibarat bunga Natnitnole. “Makin remuk mahkota dan kelopaknya, makin menyebarlah bau-bau harum yang bersumber dari kotak sarinya yang pecah. Makin hancur bunga itu, makin semerbak wanginya. Makin dibunuh cinta itu, makin hiduplah ia.” ( halaman 12)
Selanjutnya, cerita yang dibungkus dengan judul “Keluarga Sempurna”. Cerita ini masih menceritakan tentang kehidupan keluarga. Konflik yang terjadi lebih condong ke konflik batin. Seorang suami yang merasa tak tenang atas ketaklaziman dalam mengarungi bahtera rumah tangga bersama istrinya. Karena istrinya tak pernah marah ataupun mengeluh pada dirinya.
“Bayangkanlah. Aku adalah suami dengan keluarga kecil yang SE-LA-LU bahagia. Isriku tak pernah marah. Ia tak pernah mengeluh kalau uang belanja kurang. Tak pernah ada piring terbang di dapur. Tak juga pernah ada repetan tak henti bila si buah hati merengek di tengah malam…” (halaman 115)  
Ending cerita cukup mengangetkan, ternyata sang istri juga merasakan hal yang sama yaitu ketaklaziman dalam kehidupan bahtera rumah tangganya. Sehingga, sang istri mendaftarkan gugatan perceraian atas kesempurnaan dalam berumahtangga. Tapi, yang lebih mengejutkan anak semata wayang mereka meninggal dunia karena korban dari ketaklaziman ini.
 Cerpen penutup berjudul “Kepada Pengantin Baru”. Cerita yang berisi nasihat-nasihat untuk pengantin baru. Agar dapat menaklukkan segala hambatan dan rintangan dalam melayarkan samudera bahtera rumah tangga. Karena nantinya akan ada badai yang menghantam. Sampai akhirnya anak-anak mereka tumbuh besar.
Ada 15 cerpen di dalam buku ini. Tentunya, dengan cerita tentang cinta yang berakhir bahagia maupun dramatis. Buku ini sangat cocok untuk dibaca bagi Anda yang ingin menikmati betapa indahnya jatuh dari cinta.
Penulis mahasiswi bahasa sastra Indonesia UMN Al-washliyah Medan dan bergiat di Komunitas Pencinta Membaca dan Berkarya (KOMA Medan).

*Resensi ini dimuat di Harian Medan Bisnis, 29 April 2012

Minggu, 15 Juli 2012


Puisi ini dimuat di Harian Waspada, 15 Juli 2012


Hening malam

Hening malam bertabur bintang-bintang kecil
sinarnya menyampaikan sejuta kisah roman pician
kerlap-kerlipnya melukiskan senyumanmu yang hangat
dan malam pun menjadi penawar sepiku
Dunia KOMA, Juni 2012


Ejaan Hati

serupa dengan ejaan yang tak terselesai
begitulah ihwal hati
mengail kata dalam curam
terus-menerus memancing persepsi
tertuai anak-beranak ejaan-ejaan hati
di langit pikiran
Dunia KOMA, Juni 2012

Sabtu, 14 Juli 2012

FLASH BACK (1)

Kenangan itu sangat indah untuk dikenang...
maka simpanlah ia rapi dalam relung...

Aku Bercerita Padamu
Tahukah engkau kawan,sekarang jiwa ini telah tenggelam dalam lautan sastra. Aku tidak tahu dengan pasti entah sejak kapan mulai mengapung lalu tenggelam. Tapi, jika aku menelisik berdasakan alam bawah sadar, sepertinya sejak KOMA (Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya) menyusup ke rongga sukmaku.
Bagiku KOMA adalah rumah kedua di mana aku bisa melampiaskan rasa haus akan sastra. Bukan hanya itu saja, KOMA adalah keluarga. Sebuah sebutan sederhana tetapi mengandung makna lebih dari sederhana. Sekarang sudah bisakah engkau membaca perasaan ini?
Aku tahu sekarang engkau mulai penasaran bagaimana pertemuan istimewa kami terjadi. Semuanya terjadi mengalir begitu saja. Saat itu di kelas, dosen tidak masuk dengan lampiran alasan yang menurutku itu klise. Nah, di saat itu-lah, malaikat-malaikat KOMA menyusup ke kelas. Mereka membawa kisah yang meletupkan semangat. Aku berdecak kagum akan perjuangan mereka untuk sastra di kampus ini yang kononnya, kering akan sastra. Sungguh mereka berhasil menghipnotis aku. Eh, bukan aku saja, ada dua karibku yang terhipnotis juga Ajeng dan Dina.
Perjuangan pun dimulai kawan, aku Ajeng dan Dina mengikuti seleksi KOMA. Ketika itu diriku dibalut dilema, aku harus memilih antara dua KOMA atau UKM Seni Teater. Setelah menimbang-nimbang(berat ringannya) dan melakukan pertapaan tujuh hari tujuh malam entah di gua mana (he..he..) akhirnya kutemui jawaban.
Hari pertama seleksi KOMA, aku ikuti dengan semangat. Perserta seleksi hanya lima orang termasuk aku, Ajeng dan Dina. Jadi, boleh-lah aku sedikit narsis(ehm). kemungkinan aku bisa diterima menjadi bagian dari KOMA.

Hari pertama seleksi (Kenal-kenalan)

Sebuah sebutan yang tepat untuk agenda hari pertama seleksi ”Suntikan Semangat ke Relung Sukma”. Mau tahu mengapa aku menyebutnya demikan? Begini ceritanya kawan, materi pertama dicecar oleh kak EL-Surya (malaikat KOMA) seuntai kalimat terlantur darinya hingga mengecap di liang sukmaku sampai sekarang “ Menulislah Anda Maka Anda Ada”. Mungkin di saat itu-lah aku sudah mengapung. Barangkali.
Selanjutnya disusul dengan materi cerpen, dicecar oleh kak si Peramu Mimpi ( malaikat KOMA). Kali ini kami dibawa ke sarang KOMA yang akrab disapa punggung KOMA. Imagine! Tempat yang paling indah dari bagian kampus ini, beratap langit, berdinding hembusan angin. Itu sih menurutku entah-lah menurutmu.

Kak Nanda, Dina dan aku yang lagi menulis. Dan ini merupakan tulisan pertamaku di punggung KOMA  # serius banget ya...


Hal yang paling melekat pada dinding jiwaku tentang kak si Peramu Mimpi, sifat juangnya dalam sastra dan semangat mengejar impian membuat aku menggeleng-gelengkan kepala. Sekarang sosoknya telah berhasil meramu mimpi untukku. Tapi, kak Peramu Mimpi jangan dulu berbangga hati karena si Perangkai Mimpi tak kan tinggal diam melihat mimpinya diramu.(he..he..)
Sebelum senja merangkak menuju malam. Kami sebagai peserta seleksi banyak dibebani akan tugas. Dua puisi, satu deskripsi, menentukan ending cerpen dan meresensi cerpen. Wah, biasa mati berdiri engkau, mengerjakan tugas setinggi gunung dalam waktu semalam.
Beratap langit, berdinding angin,
komunitas kita,

dalam kesederhanaan yang bersahaja,
dengan rasa kekeluargaan,
... diisi jiwa-jiwa pemberi,

Trio ADA (Ayu, Dina, Ajeng)
Sebelum pulang jepret-jepret dulu di punggung KOMA


senyum KOMA
* punggung KOMA


Tenang dulu kawan, aku tak sepanik apa yang engkau bayangkan.No ever, semuanya kukerjakan dengan senyuman. Aku kembali merangkai mimpi, menari-narikan pena di atas kanvas, bergelayut di tengah malam menuntaskan rindu.
Hari kedua seleksi KOMA lebih menguras energi dari pada hari pertama. “Pembantaian” sebutan yang pantas kusematkan untuk hari itu. Ah kawan, jangan langsung tegang wajahmu, dengarkan ceritaku selanjutnya. Maksudnya itu, pembantaian menggali potensi menulis dan rasa loyalitas. Ada tiga posko yang harus kami lalui: posko tunggu, posko interview, dan posko …? Ups aku lupa nama posko terakahir. Sory-lah kawan membuatmu penasaran. Ini di luar dugaanku.

Seleksi Hari ke-2: pengumpulan tugas
melingkar di punggung KOMA


Pembedahan tugas

Ajeng membaca puisi

* Jadi merindu punggung seperti sajak Ajeng Miftahul Ula

Nyanyian Rindu

Kurindu memangku senja
Bersamamu menyelipkan mimpi dibalik lekak-lekuk angin
Bersamamu menerbangkan kata-kata
terbang jauh mengintip diatap langit..
Agar dijabahlah ia oleh Sang Punya

Kurindu mengazamkan asa
Bersamamu menitahkan gejolak jiwa mengoar asa
Retaklah panggung raksasa

Kurindu matahari yang membakar raga
setiap kita melingkar  diawang alam itu
Kurindu deru nafasmu saat merenda satu demi Satu
Maksud nyanyian reranting kalbu

Kurindu menjejaki seutuhnya dirimu
Aku merindu
Serindu kerinduan yang terindu
Dunia Koma, September 2011


Di antara tiga posko tersebut, yang sedikit sulit posko interview. Nah kawan, kali ini kan kubunuh penasaranmu. Setelah dari posko tunggu, aku dan Ajeng menuju posko interview. Tebak kawan apa yang terjadi . Kami kesasar . Hal yang yidak diinginkan pun tak terelak. Kami menelusuri kampus hingga akhirnya posko interview ketemu jua. Kak Maya ( malaikat KOMA) dan kak si Peramu Mimpi telah menanti, bersiap melepaskan anak panah dari busur pertanyaan, Pertanyaan pun memecahkan sekat pikiran. Otak jadi berputar ke depan, ke belakang, samping kiri-kanan. Dan mulut kaku menjawab.

Aih, kantuk menderaku. Jadi, maaf-lah kawan bila aku hentikan ceritanya sampai di sini. Tapi, sebagai penawar kecewamu aku bebaskan engkau berargumen sendiri tentang endingnya.Namun, jika engkau tak kuasa akan kurangkai mimpi untukmu di malam selanjutnya.
Dunia KOMA, 3 Januari 2011


Ocehan kakak-kakak KOMA
*hhehe, keren! buatlah di catatn...

*ini testimoni ya??

bagus kok, jujur..ehem...
*lagi2 tanda baca-
hufh!

*mengeja tiap pokok pikiran yang kau rangkai membuat aku "terbang" berenang di antara awan-awan riang.

Tenang,penggambaran yang terang dan cukup memainkan perasaan pembaca-terutama kak.Adek mampu membuat kak penasaran.Ah,ingin rasanya kak membaca kalimat berikutnya
Dek... kalau boleh kak merindu,kak rindu cerpen atau puisimu terbit di media.disaat itu kau akan terbukti bahwa kau adalah SI PERANGKAI MIMPI.

Ingatlah adikku...
LAYANG_LAYANG TERBANG bukan karena mengikuti angin tetapi MELAWAN ARUS ANGIN...

KOMA HANYALAH WADAH DAN DIRIMULAH YANG MENJADIKAN BAHWA WADAH ITU PENUH ARTI...


Bersambung cuy…..
Sumber Foto: Facebook KoMa Medan

Lingkar pelangi sesudah hujan! Hugh!




Sabtu, 07 Juli 2012

Riak-riak Rindu

Cerpen yang dimuat di harian Sinar Harapan, 07 Juli 2012

Saat malam mulai menggamit sepi, selalu ada riak-riak rindu terdengar. Suara yang berasal dari relung kita. Mendesau melalui celah dedaunan. Bunyi jangkrik mengalun seperti tangga-tangga nada seirama dengan detak jantung kita. Suara yang saling sahut-menyahut satu sama lainnya. Riak yang tak mampu membuatku terdekap mimpi. Walapun bisa, bayanganmulah yang akan menyelinap dalam tidurku.
Bila riak rindu itu sudah datang, ia menjelma seperti angin yang mendesirkan aromamu. Dan ruang hari terasa sesak karena rindu. Ya, aku terjerat terlalu dalam di hatimu. Sebenarnya, rindu ini sangat menyiksa. Betapa tidak? Wajahmu berkelebat dalam mata hatiku. Rindu telah mengacaukan semua aktivitasku. Aku tak punya daya melawannya, kecuali diam menerima kedatangannya.      
Terkadang riak-riak rindu itu juga sedikit menggoda. Ya, sejuknya embun yang kerap kaukirimkan banyak mengalirkan cerita tentang dinginnya hati kita. Kadang pula hangat mentari dapat membakar hatiku dengan cemburu. Lantas, aku penasaran seperti apa rupa rindumu? Apa pernah rasa keraguan melindap di jiwamu? Pasalnya, tak ada fotoku yang menghiasi ponsel, notebook dan dompet milikmu. Kau juga tidak pernah merintih kesakitan oleh rasa cemburu maupun rindu.
“Rik, Apa kau tak pernah merinduiku?” tanyaku.
“Terlalu munafik bila aku menjawab tidak, Lis. Aku adalah lelaki yang ingin selalu berada dalam sisimu.”
“Terus, kenapa kau tak menyimpan fotoku di dompet dan ponselmu?”
“Karena wajahmu tak layak disimpan di sana. Wajahmu telah terkanvas dalam ceruk hatiku. Jadi, kapan pun dan di mana pun aku bisa melihatmu,” ucapmu sembari menatapku dengan lekat. Tatapanmu sungguh sangat teduh. Sorot mata itu memancarkan kejujuran.“Rinduku serupa embun yang memadamkan amarahmu,” tambahmu.
Dedaunan berguguran diterpa angin, jatuh mengemulai lembut menimpa kepala kita. Altar langit tergurat senja. Wajah kita berdua terbias semburat cahaya senja sehingga aku tak dapat melihatmu dengan jelas. Gelora hati kita berdansa di ujung cakrawala. Ya, Kau lelaki yang mampu mendebar-debarkan jantungku. Tiap kata yang terlontar dari mulutmu membuatku melayang ke langit ketujuh. Kau layaknya seorang punjangga.  
Kau kerap mengatakan, bahwa rindu itulah yang justru mengikat jarak yang terbentang antara kita. Ia merupakan tali yang kuat dalam menautkan jiwa kita. Karena rindu adalah panggilan yang paling tulus dari palung sukma. Rindumu-lah yang selalu mengingatkanmu padaku, bahwa ada seorang perempuan yang menanti kepulanganmu.  
            “Lis, sepulang aku dari Palestina, aku akan langsung melamarmu,” ucapmu penuh keyakinan.
            “Melamar apa? Kerjaan, Rik?” Aku tersenyum menahan tawa, melihat ekspresi wajahmu. Aku berpura-pura tak mengerti maksudmu, layaknya orang yang lugu.
            “Ya, kau benar sekali! Kerjaan sebagai suamimu,” jawabmu kesal.
            “Ah…ah…ah…” Kali ini tawaku tak bisa lagi kutahan, aku tertawa terbahak-bahak. “Kalau mau jadi suamiku, banyak syarat yang harus kaupenuhi.” Sambungku.
            “Syarat apapun itu, aku akan memenuhinya.”
            “Berikan aku alasan, mengapa aku harus menerimamu?”  
            “Karena aku adalah lelaki yang ingin selalu berusaha untuk membahagiakanmu.”
            “Apa jaminannya?”
            “Aku telah memberikan hatiku sepenuhnya padamu. Apa itu belum cukup?”
Apakah benar ucapanmu? Pantaskah aku menanam kepercayaan padamu? Embusan lirih itu yang sebenarnya menjadi harapanku. Harapan yang membuatku bersabar menanti kedatanganmu. Tapi, benarkah itu? Aku berharap itu bukan hanya sekadar ilusi saja. Bila kau berani ingkar, mungkin aku tak dapat jatuh hati untuk kedua kalinya. Kau tahu sendiri kan? Aku perempuan yang susah untuk jatuh hati dan mengakuinya.
***
Ya, sepenuhnya ini bukan salahmu. Aku memang tak menahan kepergianmu, justru mendukungmu sepenuhnya. Kau tahu mengapa aku melakukan hal itu? Karena aku ingin belajar berdamai dengan pekerjaanmu dan perasaan khawatirku.
Sebenarnya dari awal, aku tidak menyukai pekerjaanmu itu. Terlalu banyak resiko yang mengancam keselamatanmu. Dulu, tiap kali kau mengatakan kalau akan berangkat bertugas, aku akan merengek-rengek memohon agar kau batalkan kepergianmu. Bahkan, aku pernah meminta padamu untuk meninggalkan pekerjaan itu dengan alasan klasik. Karena permintaan itu, kita saling diam-diaman berminggu-minggu.
Ya, saat jeda waktu itulah, aku mencoba untuk mengerti dan berusaha berdamai dengan profesi yang kau geluti. Rindu mencekapku erat, hingga aku sulit menhirup udara. Musabab, udaraku adalah dirimu. Mulai sejak itu, aku tak pernah mencuatkan keinginan itu lagi.
Setiap kali kau bertugas, aku berteman dengan televisi -menunggu pemberitaan tentangmu. Aku merasa tenang bila telah melihat dirimu di televisi dengan seragam merah hitam. Kau terlihat gagah mengenakannya. Dengan suara khasmu yang kerap membisik hatiku, kau mengabarkan berita kepada pemirsa. Namun, tidak bagiku. Kau mengalirkan kabar bahwa dirimu dalam keadaan yang baik-baik saja di sana.
Seperti biasa, pemandangan di belakangmu selalu sama. Gumpalan debu yang tebal dan puing-puing terserak di mana-mana. Pernah suatu hari kau sangat berhasil membuatku cemas, saat itu kau sedang meliput granat yang jatuh di rumah penduduk. Darahku membeku bila mengingat kejadian itu. Detak jantung berdegup tak menentu. Hampir saja granat itu membelok ke arah tempatmu.
Ya, kau benar, setiap peperangan selalu meninggalkan luka yang mendalam. Jerit tangis tak usai mewarnainya. Rintihan korban tak akan henti. Masa depan anak-anak menjadi suram. Darah mengalir sebegitu mudahnya. Nyawa sama sekali tak berarti. Banyak para istri yang kehilangan suaminya maupun anak yang kehilangan ayahnya. Luka itu tak akan sembuh hingga tujuh keturunan, bahkan tergores abadi.
Banyak cerita yang mengalir dari sepanjang perjalananmu di negara yang berkecamuk. Kisah tentang anak-anak yang tak berani lagi untuk memiliki impian, bahkan lupa bagaimana caranya tersenyum. Kota tenggelam dalam kelam kepedihan.   
***
Waktu merambat pelan, sangat pelan. Dari detik ke detik, menit ke menit merajut sabar dalam penantian. Gelisah kian menggelayut di kelopak hati. Jujur, kali ini khawatirku mencuat begitu besar. Aku takut jika kejadian tempo lalu terulang lagi. Kabarmu sempat menghilang dan dicuragai gugur dalam tugas. Kau menghilang entah ke mana. Pihak stasiun televisi swasta-tempatmu bekerja pun tak mengetahui keadaanmu. Dan itu adalah hal yang menyengsarakan diriku.
“Kok diam? Kan aku perginya hanya seminggu,” ujarmu.
“Aku takut,” jawabku.
“Apa yang kau takutkan? Kau takut aku tak kembali?”
Aku hanya menganggukan kepala.
“Aku pasti akan kembali dengan selamat,” ucapmu meyakinkanku.
“Kau janji ya.”
“Ya, aku janji,” ucapmu sambil menjulurkan keliking jarimu padaku dan aku menyambutnya.
Sebuah janji yang mampu mengantarkan kepergianmu dengan senyuman dan keikhlasan. Aku kerap menitipkan doa untukmu dalam sujudku. Berharap kau diberi kemudahan di tiap langkahmu.
Tiba-tiba aku teringat pada perkataanmu yang mampu memudarkan khawatirku sedikit. Kau bilang, kau dapat merasakan apa yang kurasakan. Dan di mana pun aku berada, kau selalu tahu. Kau selalu bisa menjumpaiku sekalipun aku berada di planet Pluto. Dirimulah yang paling memahami diriku, bahkan lebih dari diriku sendiri. Kau selalu bisa membaca pikiran dan perasaanku.
Dulu, jauh sebelum pertemuan kita terjadi. Aku perempuan yang munafikan arti sebongkah rasa. Sama sekali tak terpikir untuk rencana sebuah pernikahan. Tapi, hadirmu mampu mengendapkan keraguanku. Kau banyak mengajarkanku hal-hal yang baru dengan cara yang tak biasa. Aku pun tidak tahu apa membuatku jatuh hati kepadamu. Entahlah, yang aku tahu, diriku merasa nyaman setiap berada di dekatmu. Sejak kau mewarnai hariku, aku tak pernah lagi merasa kesepian.
Dan aku percaya, pada akhirnya, riak-riak rindu ini tak akan pernah berhenti, tak pernah pula mati dalam relung kita. Musabab rasa yang menautkan kita terus-menerus bergelora. Ya kan, sayang?
Dunia KOMA, Juni 2012



                                                                                                 



Senin, 23 April 2012

Menentukan Hati



Pagi masih buta. Embun menempel di dedaunan. Riuh angin berkelebat antara celah pepohonan. Langit bertudung awan pekat. Kabut jatuh. Dingin menusuk tulang-belulang. Ngilu rasanya. Senandung riang menari-nari di langit hariku. Ada rasa bahagia yang akan segera ditanggalkan. Sedih tentunya.
Sebuah kafe tepat berada di pinggir Danau Toba, aku duduk di pojoknya. Sejenak menghilangkan rasa letih yang sedari tadi bergelayut. Perjalanan dari Medan cukup menguras tenaga. Secangkir kopi disuguhkan oleh pelayan kafe. Kini, kopi itu sudah ada di atas meja bundar, berselimut taplak meja bermotif bordir bunga di tepinya.
Handphone-ku berdering. Ada pesan yang masuk. Sebaris kalimat singkat pun terbit di layar kecil ini, “Ir, apa kau sudah sampai?”
Senyum kecil terlukis di bibir. Ternyata pesan singkat dari Siska, Toni, dan Zuzu, sahabat karibku. Meski mereka termasuk sahabat yang paling cerewet, namun perhatianya selalu membuat aku enggan marah.
Sekejap jemari lentik lihai menari-nari di tombol handphone. Sebait kata kukirim “Baru saja sampai, di sini benar-benar sejuk. Pemandangannya jauh lebih indah daripada setahun yang lalu. Pokoknya menyesal kalian gak ikut.”
Eh, benar saja tebakanku mereka semuanya meradang. Kami berempat pun berbicara lewat gelombang. Kadang-kadang aku tersenyum geli membaca pesan singkat mereka. Lumayanlah, sedikit mengusir kesepianku di sini.
“Alah! Itu lah kau, gak sabar kali tunggu aku cuti,” gerutu Siska masih melalui pesan singkat.
“Sis, maaf ya. Aku gak bisa menunda keberangkatanku. Lain kali pasti kita bisa pergi rame-rame,” mencoba meredakan amarah Siska.
“Baguslah, kalau begitu, tak sia-sia kau melalak saja ke sana tiap bulan,” balas Toni. Mungkin dia sedikit menyindir diriku yang memang tiap bulannya selalu berkunjung ke sini.
“Ya, semoga bulan ini adalah bulan terakhir aku ke sini,” jawabku lirih. Mencoba menerawang masa depan.
Entahlah, semuanya bermula sejak setahun yang lalu, pertemuanku dengan seorang pemuda yang sangat bersahaja, namanya Adit. Saat itu pihak perusahaan tempat aku bekerja mengadakan liburan ke danau Toba.
Mulanya, aku bersama teman-teman makan siang di restoran yang kini kakiku berpijak, bahkan di nomor meja yang sama. Kebetulan atau memang takdir, Si Adit bekerja sebagai pelayan restoran tersebut. Masih lekat, sungguh sangat lekat. Dia menumpahkan kuah sup ke bajuku. Kontan saja, aku marah-marah. Tapi, kemarahanku seperti direm mendadak. Mata teduhnya memancarkan kedamaian.
Maaf mbak, saya tak sengaja, dengan lembutnya ia berkata. Entahlah, aku seperti patung yang terpaku. Diam membisu.
“Mbak,” dia menegurku.
“Ya, lain kali kamu hati-hati! Tengok ni bajuku pada basah. Pasti kulitku juga ikut terkelupas ni,” berusaha menutupi grogi.
Dering handphone seketika membuyarkan lamunanku. Pesan masuk dari Zuzu
“Hiks! Kau pun tak mau ngajak aku,” rengek Zuzu. Layaknya anak kecil yang meminta permen.
Memang, sahabatku yang satu ini sangat manja daripada yang lainnya. Maklum, dia adalah anak paling besar dan anak yang paling kecil dalam keluarganya, sampai-sampai sifat manjanya terbawa-bawa.
“Baiklah, oleh-olehnya jangan lupa ya. Kain Ulos!” pintanya sedikit memaksa.
“Iya, ntar kubelikanlah. Tenang aja.”
Matahari merambat. Pekik hangat telah menjemput, meski kabut belum jua beranjak. Kusudahi menghirup embun pagi. Segera bergegas meninggalkan restoran itu yang masih memutar cerita tentang aku dan Adit. 
Sebenarnya, janjilah yang mengikat diriku untuk selalu datang ke Danau Toba. Ya, tiap tanggal sembilan aku selalu ke sini. Ternyata, pertemuan yang tak terduga dengan Adit bermuara pada jalinan kasih. Kami menasbihkan Danau Toba sebagai tempat yang terindah, banyak moment bersejarah terbungkus di dalamnya. 
Seperti hari ini, aku akan bertemu dengan Adit di tepi Danau Toba. Sungguh, rindu telah berkesumat. Terkadang lelah sempat merayu, agar berhenti mengirim sepucuk rindu yang kuselipkan disakunya. Rindu dan janji bagaikan kelekar yang memenjarai hati.  
            Biasanya, akan banyak celoteh yang menguap. Aku dan Adit kerap membahas tentang Toba. Sebuah legenda yang tersohor. Ya, tentang sebuah janji antara lelaki dan perempuan. Sama seperti janji yang sering kami tuangkan.
Mungkin sudah seribu kali emak menasihatiku agar berhenti melakukan hal seperti ini. Namun mau seperti apalagi, keindahan pesona Danau yang terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara ini, selalu saja terbayang dalam benak. Nyiur anginnya kerap menyampaikan bait dan syair kerinduan yang tak kuasa untuk ditolak. Ada pujangga di sana yang menanti.
 Sejak pinangan itu diterima, Adit benar-benar mengikatku dalam lingkaran. Lingkaran yang tak mampu diriku keluar dari dalamnya. Kini sebuah cincin permata putih melekat di jari manisku. Tapi, takdir begitu sangat kejam. Kebahagiaan itu digulung arus kematian.
Segaris senyum kecut menampar langit kelabu. Ada kegalauan mendayu dalam sajak yang kami rangkai. Sebuah mimpi semu terkanvas di atas danau, membangun istana di ranah Samosir. Bagaimanalah? air kerap mengalirkan mimpi ke muara tak pasti. Lantas, berganti dengan cerita baru.
Kicauan itu adalah nyanyian menyabut pertemuan kami. Senandung indah selalu mengiringi langkah Adit. Cecahnya mampu menyentuh lubuk hati. Segitu dalamkah denyut rasa ini? 
“Akh! Kini aku mulai muak dengan semuanya,” keluhku.
“Sabar Ir, bukankah sesuatu yang indah memang banyak cobaannya?” Adit menenangkan aku.
“Mungkin aku bisa bertahan sampai akhir, namun aku tak mau membuat orang lain khawatir. Ini semua harus memang diakhiri!” suaraku serasa bergetar. Bulir menitihkan basah.
Kau terdiam. Kita membisu. Sama-sama terkejut dengan kalimat yang terlontar.  Terperangkap dengan pikiran masing-masing. Hanya bicara dalam hati. Kesiur angin mendesir menguapkan kisah bau amis. Gerimis jatuh.
Tak tentu arah, semua menggelepar dimakan usang. Pinta keluarga dan lelaki yang kini berada di sampingku tak mudah kutepis. Sungguh, aku galau dalam jeruji yang telah diranum Adit. Situasi yang sulit bagiku menentukan arah cerita ini. Bekasnya masih menziarahi relung hati. Menyerebak wangi kembang.
“Kamu ingin meninggalkanku?” tanya Adit memecah kebisuan yang sedari tadi kami cipta.
Adit menyentuh tanganku. Dingin sekali. Tatapannya sangat tajam. Seakan menikam uluh hati. Sungguh, teramat nyeri. Ada gundah menghampiri. Luka, tersemat dalam. Simfoni indah akan segera tertanggalkan. Siulan burung tak semerdu dulu.
“Apakah kamu tega memperlakukan aku begini? Membiarkan aku terus-menerus terdekap dalam jeruji semu?”
Semilir hembusan angin mengait kabut, menyempulkan asap dan Adit pun menghilang. Bait dan syair mengalir anyir ke muara. Dinding-dinding udara mengempas kencang. Mataku terkuak tepat di muka tanah yang merekah. Pusara masih basah. Sekuntum mawar putih kuletakkan bersama cincin dan segala kenangan di atas pusara Adit.
Kini hanya do’a yang mampu kutitipkan untuk Adit. Semoga dia bahagia di sana. Di sisi Tuhan. Biarlah kisah kami tenggelam di danau Toba. Musabab, takdir membedakan alam kami. Aku akan menyongsong masa depan dengan lelaki yang telah lama menanti diriku. Menjalani kehidupan tanpa Adit.
“Ir! Kami datang!” sorak Siska, Toni, dan Zuzu dari ujungnya.
“Sudah ziarah?” tanya Zuzu.
“Baru saja selesai.” jawabku. 
“Ir, maukah kamu menjadi kekasih halalku?” pinta Toni.
Mimik wajahku, Siska dan Zuzu berubah seperti orang yang melongo. Debar jantung berdetak kencang. Ada yang aneh, saat riuh bait itu mengalir, air danau bercat merah.
Dunia KOMA
Kedai Durian, 12 Desember 2011
 *cerpen ini diposting di Kompas.com