Senin, 17 Oktober 2011

Sepotong Celoteh


Mungkin aku kelihatan bodoh karena terus-menerus menunggumu tanpa kepastian di persimpangan malam. Ada rasa bersalah yang membuatku untuk tetap menunggumu dan rindu yang terus merayu untuk bertemu denganmu. Maaf, kata yang ingin kulanturkan padamu, Aina.
Malam merambat naik. Aku kembali menunggumu. Seperti biasa aku bersembunyi dalam relung malam sembari memangku harapan agar malam ini kaudatang menjumpaiku. Desir angin merayap membekukan malam. Aku terus bertahan menantimu di persimpangan malam. Namun, kau tak kunjung datang.

Kekecewaan pun harus kutelan lagi. Tapi, aku tetap membangun harapan bahwa esok malam kau akan datang. Hal inilah yang terus-menerus aku lakukan selama tiga minggu, menunggumu setiap hari di persimpangan malam.

Semenjak kejadian itu, kau tidak pernah datang ke tempat biasa kita bertemu. Sungguh, aku merindui celotehmu, Aina. Ya, aku tahu kaumarah padaku karena telah memberitahukan rahasiamu pada wanita paruh baya itu, yang antara lainnya adalah emakmu sendiri, Aina.

Sebenarnya, peristiwa itu terjadi tanpa ada unsur kesengajaan. Ya, peristiwa di mana aku bertemu pertama kalinya dengan emakmu. Saat itu, emakmu datang ke kamarmu mencari uang yang ia titipkan padamu, Aina. Ia  pun menggeledah lemari pakaianmu hingga tanpa sengaja aku terjatuh dari rak lemari. Dan terjadilah pertermuan kami, antara aku dan emakmu. Maaf, jika kau tidak suka dengan pertemuan kami.

Tahukah, kau apa yang terjadi saat itu, Aina? Setetes mutiara jatuh dari pelupuknya matanya. Ketika itu, aku melihat dengan jelas betapa emakmu sangat terkejut.bukan hanya terkujut saja Aina, ada luka yang tanpa sengaja telah kaugoreskan di altar jiwanya. Beruntunglah, emakmu adalah wanita yang kuat menghadapi kenyataan itu. Seperti yang kaukatakan dia adalah wonder woman.

Jujur, awalnya aku ragu untuk membongkar semuanya. Tapi, itu adalah waktu yang tepat bagiku, Aina. Menurutku juga, ini tindakkan yang paling benar. Lagipula dengan memberitahukan tentang penyakitmu pada emakmu akan sedikit mengurangi rasa khawatirku padamu. Aku yakin dia akan melakukan hal yang terbaik untuk anaknya. Maaf, kalau kau menganggap aku sebagai penghianat.

Tidak sadarkah kau, Aina? Tindakkanmu ini sangat konyol. Betapa tidak? Kau merahasiakan prihal penyakitmu dari emakmu. Ini adalah perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Ya, mungkin selama ini aku selalu diam dengan segala keluh yang kauadukan padaku. Tapi, kali ini aku harus bertindak. Karena kau telah kelewatan. Jadi, maaf, bila aku bersikap agak tegas.

Kau juga pernah bilang padaku bahwa hubungan kalian sebagai ibu-anak sangatlah dekat. Jadi, mengapa harus ada yang dirahasiakan? Kau justru terbuka padaku. Entahlah, bagiku ini sangat membingungkan. Bagaimana tidak? Kau lebih percaya padaku daripada ibu kandungmu. Padahal kau baru mengenalku tiga bulan. Mengapa harus aku? Kenapa harus aku? Dan sederet tanya yang lain menjajal batinku. Apa pun itu alasannya, aku ucapkan terima kasih atas hubungan istimewa yang kauberikan padaku.

Entahlah, bila aku menerka jiwamu. Mungkin kau tidak ingin membuatnya khawatir. Jika itu alasannya, berarti kau salah. Itu sama saja kau merakit bom waktu untuk emakmu. Dan bom itu dapat meledak kapan pun. Bisakah kau membayangkan bagaimana bila itu terjadi? Maaf, aku tak bermaksud menakutimu, Aina.
 
Bagimu dia adalah emak yang paling sempurna di dunia ini. Dia bisa jadi siapa pun untukmu. Dikala kau sangat merindu dekapan hangat, maka, ia akan hadir menjadi sosok seorang ibu. Kalian juga sering membuat lelucon hingga tawa menyeruak. Nah, saat itu emakmu sedang menjadi temanmu.

Disaat kau dicekap rasa takut atau merasa terancam karena seseorang, maka, emakmu akan melangkah ke depan untuk melindungimu. Ia hadir sebagai sosok ayah. Sosok yang mungkin tak kaukenal wajahnya. Kau pun merasa cemburu kepada para sahabatmu yang selalu diberi kebebasan, terutama kebebasan waktu. Kau tidak bisa pergi bersama mereka atau hanya sekadar berkumpul. Waktumu hanya dihabiskan di sekolah dan di rumah. Walaupun ingin pergi entah ke mana, selalu ditemani oleh emakmu. Hingga, kau dijuluki anak mami. Julukkan yang membuatku agak risih. Emakmu seperti pacar untukmu.

Kadang kala hubungan kalian tidaklah selalu berjalan harmonis. Kesalahpahaman dan perbedaan pendapat sering menjadi faktor utama hubungan kalian merenggang. Tapi, kalian tidak tahan berlama-lama terlarut dalam masalah. Dengan seketika kalian akan kembali lagi akrab. Rasa cinta dan kasih yang kembali menghubungkan tali itu.

Sesungguhnya, alasan emakmu untuk tetap menjalani kehidupannya adalah kau. Kaulah kekuatannya itu. Aku jadi mengerti dengan semua aturan yang dibuat oleh emakmu. Hingga, kau merasa terbelenggu akan aturan itu. Bukankah semuanya memang harus ada aturannya? Bila aturan tidak ada pasti sebuah negara akan hancur. Begitu juga dengan kehidupan manusia. Semua itu ia lakukan semata-mata karena ia terlalu menyayangimu. Yakinlah, itu adalah salah satu cara untuk melindungimu.

Emakmu tak ingin kau menderita seperti dirinya, Aina. Ia ingin kau hidup bahagia. Wajar Aina, emakmu telah dua kali membina rumah tangga. Ayahmu pergi bersama wanita, yang antara lainnya adalah sahabat baik emakmu. Dan kini, rumah tangganya dihiasa dengan pertengkaran. Tapi, ia tetap berusaha bertahan hingga sampai sekarang. Sebenarnya, kau pun sangat membenci ayah tirimu. Betapa tidak? Ia seakan-akan ingin menjauhkanmu dari emakmu. Meskipun begitu, kau juga tetap menghormatinya sebagai suami emakmu.Makanya, ia sangat selektif terhadap lelaki yang dekat denganmu.  Ia ingin kau nantinya memiliki biduk rumah tangga yang bahagia. Maaf, aku terlalu banyak berceloteh, Aina.

Nah, bagaimana mungkin aku bisa bungkam? Melihat kau meradang kesakitan. Sungguh, aku tidak bisa melihatmu menahan rasa sakit, Aina. Setiap kali aku melihatnya ada semacam ribuan mata pisau menikamku. Aku tidak mungkin membiarkan penyakit itu merajarela di dalam tubuhmu, Aina. Aku juga tak sanggup melihat emakmu yang terlalu menyayangimu.

Aku tahu selama ini kau sangat mempercayaiku. Namun hari itu aku telah menyalahgunakan kepercayaan yang telah kauberi untukku. Penyakit itu harus dilawan. Bukan didiami saja. Walau setiap rintihan sakit kau menepisnya dengan senyuman. Tapi, sesungguhnya, aku tahu ada khawatir yang luar biasa terbenam di palung sukmamu.

Gulana telah berakit-rakit disela pikiranmu. Ketakutan merajai duniamu, Aina. Tapi, kau malah mengembangkan tirai kecerian. Kau ingin menutupinya dari kenyataan. Mana bisa kenyataan dapat dipungkiri. Kau sedang berbohong, Aina. Bukankah membohongi diri sendiri itu rasanya sangat menyakitkan? Maaf, Aina, aku harus katakan bahwa kau adalah Si pencundang.

Aina, Aina, kau sangat menyayangi emakmu dan tak ingin melihatnya terluka. Lantas, mengapa kau masih keras kepala menyembunyikan prihal penyakitmu? Itu justru akan membuatnya terluka. Betapa tidak? Kau merampas haknya untuk merawat dan berusaha melawan penyakitmu. Apa jadinya? Jika kau tiba-tiba pergi begitu saja tanpa penjelasan apa pun darimu.

Pasti penyesalan yang bergelayut dalam hatinya. Maka berilah ia haknya sebagai seorang ibu. Walaupun, takdir mengatakan kau harus tetap pergi. Setidaknya ia telah puas merawatmu dengan demikian ia merasa berguna untukmu. Tapi, yang paling penting ia dapat ikhlas dengan apa pun hasilnya.

Dan akibat dari ulahku itu, kau harus bersahabat dengan musuhmu. Kau harus minum tablet pahit itu setiap hari. Maaf, jika kau menganggap aku telah menyiksamu. Tapi, sungguh, tiada niatku seperti itu. aku hanya ingin kau lekas sembuh. Kau pun telah memberiku hukuman dengan cara tidak ingin bertemu denganku. Kini, aku benar-benar kehilangan sosokmu, Aina.

***

Malam selanjutnya. Aku masih di sini menunggumu kembali dalam relung malam. Selain rindu yang telah membukit. Ada maaf yang ingin kulaturkan padamu. Setidaknya, maaf dapat sedikit meluruhkan rasa bersalahku padamu, Aina. Ah, semoga hari ini kau datang.

Masih lekat dalam ingatanku bagaimana kau bercerita tentang para sahabatmu. Dengan gaya khasmu yang centil. Kau mengudarakan dialog di persimpangan malam. Memecahkan dinding beku dan aku selalu setia mendengar celotehmu. Kau sangat bangga dengan jalinan persahabatan yang kaubina dengan mereka. Saat itu, terlihat jelas aroma bahagia terpancar dari raut wajahmu.

Namun, kau mengeluh akan sifat sahabatmu. Terkadang mereka dapat meleburkan riak tawa. Dan kadang pula menjatuhkan bulir air matamu. Tapi, saat emosi menerjang batinmu karena mereka. Kau malah tidak tahu bagaimana cara untuk marah pada mereka. Kau sungguh aneh, Aina.

Hmmm… setidaknya aku lega mendengar ceritamu itu. Aku jadi tidak khawatir lagi memikirkanmu, Aina. Karena di siang hari kau tidak akan merasa kesepian. Ada sahabat yang selalu menemanimu. Menurutku, ini adalah salah satu hal yang terindah dalam hidupmu, Aina.

Aku juga ingat, saat raut wajahmu meronah merah. Ketika itu, kau bercerita tentang lelaki yang telah berhasil mencuri hatimu. Hahai! Ternyata waktu itu, kau sedang jatuh cinta. Dengan tersipu malu kau bercerita padaku. Tentang rupanya yang sangat tampan hingga sosoknya yang tidak mau pergi dari pikiranmu.

Tatapan yang begitu teduh dan cara bicara yang lembut telah membuatmu tergila-gila pada lelaki itu. Ditambah lagi dia sangat piawai mengolah senar gitar. Dia juga selalu menjadi bintang kelas tiap semester. Bukan hanya itu saja, tapi, bintang lapangan basket pun tersemat pada dirinya. Dia sangat memukau saat berada di lapangan basket. Seakan-akan tapak tangannya ada magnet. Karena bola itu tak terlepas dari tangannya. Dan sekarang dia pun menjadi bintang hatimu. Bintang hati Aina.

Kau menghela napas. “ Apa mungkin dia menyukaiku? Dia sangat sempurna. Pasti banyak perempuan cantik tergila-gila juga dengannya.” Wajahmu pun menjadi buram. Saat itu, kau benar-benar sangat lucu, Aina.

Kau juga pernah berikrar untuk membahagiakan emakmu. Tapi, kau merasa justru banyak corak luka yang tergores dihatinya. Hingga, kau berpikir bahwa emakmu tidak tahu kalau kau sangat menyayanginya. Tenang, Aina bukankah hati manusia hanya sang pencipta yang tahu? Dia-Lah yang Maha mengetahui apa yang ada dilubuk hati umat-Nya. Namun, setidaknya ada aku sebagai saksi ikrar itu. Dan kau juga harus berpikir positif.

Malam itu, ketika langit marah dan menangis, kaudatang padaku dengan sekujur tubuh yang basah kuyup. Matamu lembab merah. Kau menggigil terluka, Aina. Wajahmu sangat pucat pasi. Tapi, anehnya kau membanting diriku. Sungguh, aku terkejut. Bagaimana kau bisa melampiaskannya kepadaku? Apa karena aku tidak bisa melawan? Hingga kau memperlakukan aku sesuka hatimu. Entahlah, terkadang kautampak menyeramkan, Aina.

Begitulah, kau yang selalu datang padaku setiap malam membawa sepotong  celoteh. Sehingga, sepotong demi sepotong celoteh masih membekas didadaku sampai sekarang. Dirimu yang tidak bisa lekas terbenam mimpi membuat kita sering bertemu di persimpangan malam.Celotehanmu akan berhenti saat lelah telah menyuruhmu pergi entah ke mana. Kadang pula kita pun terlelap dalam ranjang yang sama. Dan keesokkan paginya, kau akan menyembunyikan aku dalam lemarimu.

Akhirnya, secercah harapan telah menyala. Ah, Aina, malam ini kaudatang. Sungguh, aku sangat bahagia. Dengan kaos oblong dan celana pendek kau berjalan menuju arahku. Namun, kali ini kau sedikit berbeda, seperti ada sesuatu yang ingin kaulakukan. Mungkin ini hanya firasatku saja.

Aih! Apa yang kaulakukan, Aina? Kau memandikan aku dengan cairan. Ya, hari ini kau tidak datang membawa sepotong celoteh tapi kau membawa sebotol minyak tanah. Aku pun legam menjadi abu.

Sadarkah kau, bahwa aku ini hanyalah sebuah Diary Aina. 

 Dunia KOMA
Kedai Durian, 02 Agustus 2011

Cerpen yang dimuat di Harian Waspada, 16 Oktober 2011










Mengenalmu (Keluarga Kecilku)

Dalam diam terkungkung makna. Menggulir ramu mimpi dalam jelaga malam. Merajut perangai yang tenang. Mengalirkan semangat kemuara jiwa pelangi. Lintak derai menganakpinakkan canda ditengah riak tawa menabuh. Mengerai selaput yang kian menguncup. Lengsir bicaramu menyerupai arus sungai yang tidak menemui muaranya. Syair indahmu menggugah jiwa. Pekik suara parau lantang menggemah. Memukau setiap mata. Gemulai tanganmu mengayunkan pena meraut untaian sajak. Mengawinkan pintal kata dengan rangkai kata.

Dunia Koma 
Kedai Durian, April 2011

        keluarga kecilku            

Minggu, 16 Oktober 2011

Izinkanlah

Hari ini sekelumit tanya membahana di laci jiwaku. Ya, tanya yang membuat kuterhenyu. pikiranku melesat ke 14 tahun lalu. Saat itu aku berusia 6 tahun. Layaknya, anak kecil aku panta tergantung padamu. Segala sesuatu memang harus kau yang memutuskan karena kau lebih tahu. Sumpah, aku tak protes. 

Waktu terus menjalar hingga aku beranjak remaja. Tepatnya, saat seragam putih abu-abu membalut tubuhku. Kau tetap bersikap sama, membelenggu kebebasanku. Itu pun, tidak jadi masalah bagiku. Aku berpikir positif kau melakukan itu karena cinta. Demi membahagiakanmu, memberimu ketenangan, dan kenyaman kubiarkan diriku terkurung dalam istanamu. Sekali lagi aku mengalah.

Namun, hari ini kumeminta padamu Izinkan aku bebas. Bagaimana aku mau menjadi dewasa jika kautak pernah mengizinkan aku untuk dewasa. Biarkanlah aku menetes menjadi dewasa.



 
Sampai kapankah bulir itu akan bergantung?




^suara desis^

Jumat, 14 Oktober 2011

Rembulan


Syawal kembali duduk di depan teras rumahnya sambil menatap bulan yang terbungkus tirai kabut persis sekabut hatinya sekarang. Suasana serasa teduh. Dedaunan kaku bersama jelmaan pekat. Satu titik bintang pun tak terlihat. Syawal menghela nafas kecewa. Padahal, dia ingin berbicara pada rembulan mengadu akan resah yang menyelimuti batinnya. Bulir air matanya kian berlinang menjadi kantong-kantong gulana. Isak tangisnya bersekutu bersama desau angin.
Badai yang menghantam kapal jiwanya cukup membuatnya sock. Betapa tidak? Saat dirinya masih sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, dia sudah harus menelan realita bahwa ayahnya telah meninggalkan dirinya dengan alasan merantau. “ Wal, ayah hanya pergi mencari uang yang banyak untuk Syawal. Syawal jangan menangis ya. Ayah janji akan cepat pulang”. Ternyata kalimat itulah menjadi salam perpisahannya dengan sang ayah.
Malam itu, ayah tirinya bertengkar hebat dengan bundanya. Pemandangan yang terlalu sering tersaji dihadapannya sehingga membuat Syawal muak dengan semua itu. Syawal sangat berharap ayahnya dapat kembali ke beranda mereka. Berkumpul seperti dulu. Tapi, harapan itu pupus sudah. Berita yang berhembus kencang mengalirkan derit cerita bahwa sang ayah telah menikah lagi dengan wanita yang kaya raya dan hidup bahagia menjadi pemicu sang bunda nekad untuk menikah lagi.
Sebenarnya, Syawal menentang keras pernikahan itu jauh sebelum dia tahu bagaimana tingkah laku ayah tirinya. Syawal masih berharap ayahnya akan kembali seperti janji yang diucapkan oleh ayahnya. Dia samasekali tidak percaya akan berita yang hampir membuatnya menjadi durja. Tapi, bundanya tetap berkekeh dengan keputusan yang dibuat karena rasa cemburu, emosi, gengsi atau apalah namanya. Bahkan, Syawal ambil sikap unjuk rasa tidak mau makan.
Waktu terus bergulir. Hingga kini ayahnya tak jua kunjung pulang. Janji hanya tinggal janji. Tepat saat Syawal beranjak dewasa bundanya menikah lagi dengan seorang pria yang terang-terangan sangat membenci kehadirannya. Sejak saat itulah, Syawal sangat suka menyendiri dan lebih senang berbicara kepada rembulan.
Pernikahan itu tetap terjadi. Sebuah perhalatan diselenggarakan. Tenda tergelar serta kursi berjejer rapi. Tak ketinggalan juga pentas berukur persegi tergelentang. Janur kuning melengkung di mulut gang. Nyanyian marhaban turut mengaung. Di ujung itu semua Syawal membeku atas penikahan itu dan dia yakin ini juga bukanlah kemauan bundanya. Ini terjadi karena keegoisan semata.
Syawal mulai merasa asing di rumahnya. Dia semakin jauh dari bundanya. Perhatian dan kasih sayang yang dulu tertuang sepenuhnya kepada dirinya seorang kini telah terbagi. Hingga, dia merasa bundanya tak lagi menghiraukannya. Sejak itulah, Syawal semakin akrab dengan rembulan. Dia sangat menyukai kedatangan malam daripada siang. Syawal membenci terang. Sebab terang hanya akan menunjukkan kenyataan takdirnya.
Empat belas tahun lamanya Syawal hidup satu atap dengan ayah dan kelima saudara tirinya. Tapi, Syawal merasa tak memiliki ayah. Syawal selalu merasa kesepian. Rumah seakan neraka baginya. Tinggal bersama orang yang tidak menyukai kehadirannya sungguh membuat Syawal tidak tenang tinggal di rumahnya sendiri.
Syawal masih menyatu dalam keteduhan malam. Belaian malam mengigit tubuhnya. Rembulan juga enggan keluar dari persembunyiaannya. “ Awan menyingkirlah! Biar aku dapat mengobrol dengan rembulan yang kausekap itu.” Teriak Syawal. Desir suara paraunya menyentak alam. Sekilas pepohonan berkelabat di antara riuh yang kian dingin.
Adegan demi adegan terekam oleh matanya. Pertengkaran yang tak ada ujungnya selalu menampilkan episode yang sama. Ayah tirinya yang suka main tangan sering meniggalkan jejak memar diwajah bundanya. Perkataan yang tak selayak didengarnya tetap menembus telinganya meski dia selalu berusaha menghindar. Entahlah, tangan dan kakinya terasa kaku. Tak ada tindakkan sedikit pun untuk membela bundanya. Setiap kali dua manusia itu berkelut. Syawal langsung melarikan diri ke kamar. Membungkus kepalanya dengan bantal. Selalu begitu.
“ Bunda, inikah yang disebut demi kebaikan kita?” Tanyaku.
” Wal, bunda tak ingin melihatmu tak memiliki ayah?”
“ Siapa bilang! Syawal punya ayah. Ayahnya Syawal pergi kerja mencari uang.”
Bibir Syawal menggigil. Carut wajahnya pucat pasih. Pandangan hampa. Dia masih berharap akan janji ayahnya. Syawal ingin mengabarkan pada ayahnya kalau ia tidak membutuhkan uang yang banyak. Dia hanya ingin ayahnya kembali. Syawal sungguh merindukan kehangatan keluarga yang ia rasakan seperti dulu. Saat semuanya masih lengkap. Gelap malam semakin kalut.
Rembulan masih berada di balik awan. Syawal bingung bagaimana cara menyampaikan isi hatinya pada sang ayah. Bila melalui hembusan angin, akankah ayahnya dapat merasakan atau tidak. Syawal tahu persis ayahnya sangat membenci angin. Ya, ayahnya sangat membenci angin. Menurutnya, angin hanya dapat menjauhkan kita dari seseorang saja. Dan letak angin itu selalu berubah-ubah. Karena angin, Syawal harus kehilangan neneknya saat ia berusia lima tahun. Karena angin, ayahnya pergi. Karena angin juga ibunya menikah lagi.
            Syawal berdiri. Kedua tangannya menadah seakan-akan dia ingin memeluk rembulan. Resahnya semakin meliuk-liuk hatinya. Dia buta akan arah mana yang harus ditempuh. Dia sudah tidak bisa bertahan di posisi yang terus menekan batinnya. Semua telah menggumpal menjadi danging dan darah yang menyatu di dalam tubuhnya. Bukankah kesabaran itu juga ada ujungnya?
            Saat matahari hampir tenggalam. Sepintas ayah tirinya membisikkan kata yang membuatnya tercengah “ Dasar kau anak bi Piem.” Sontak Syawal terkejut batin. Dia tidak mengerti apa maksud ayah tirinya itu. Mulai sejak saat itu, ayah tirinya sering mengatakan hal tersebut pada dirinya.
            Awalnya, Syawal tidak ambil pusing memikirkan itu. Tapi, lama-kelamaan bermunculanlah berbagai persepsinya. Apa hubunganya antara ia dan bibinya sendiri? Mengapa ayah tirinya selalu mengucapkan itu? Bahkan, yang gilanya lagi Syawal berpikir kalau dia sebenarnya adalah anak kandung bibinya. Makanya, ayahnya tidak kembali pulang. Entalah, dia tidak berani menghadapi bila kenyataannya begitu.
Dari kecil Syawal memang sudah akrab dengan rembulan. Dulu semasih ayahnya ada,  Syawal sering diajak ke teras rumah menikmati malam. Biasanya, ia mendengarkan dongeng ayahnya tentang rembulan hingga ia tertidur pulas di pangkungannya. Rembulan yang selalu berwarna putih dan berpenampilan dengan bentuk yang bearbeda-beda. Kadang bulat penuh, kadang berbentuk sabit dan kadang pula tidak terlihat karena terhalang kabut. Sudah terlalu sering diceritakan ayahnya.
Ayahnya selalu berkata, kalau di dalam bulan tinggal seorang bu peri yang baik hati. Bu peri itu akan bersedia menjadi sahabat kita sekaligus dapat menghapus rasa sedih. Bu peri itu juga akan memberi kita senyuman yang indah. Dan menjadi penerang dalam pekat hati kita. Syawal yakin ketika ia memandang bulan, ia dapat menemukan wajah ayahnya di antara kabut putih. Setiap riuh yang lahirkan pasti ayahnya juga dapat mendengarnya.
Tapi, kali ini rembulan bersembunyi di balik punggung kabut.  Bu peri pun tak dapat memadamkan rasa kalutnya yang kian berdenyut kencang. Syawal tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. wajahnya semakin membiru. Ya, rembulan seperti tidak ingin bertemu padanya. Kepalan tangan menggertak malam.
             Para tetangga yang usil sering mempertanyakan tingkah laku Syawal yang aneh itu pada dirinya. Bahkan, langsung bertanya ke ibunya. Syawal menjadi buah bibir di lingkungan komplet perumahan juga menjadi bahan cemohan kelima saudara tirinya. Dia dijuluki siluman rembulan. Syawal tak mau terjebak dalam kemelut yang sengaja memancing amarahnya. Kesekian kalinya dia meredamnya bersama rembulan.
            Kejadian tadi sore yang mencabik-cabik hatinya seketika melululantahkan benteng kesabaranya. Syawal merintih kesakitan. Sekujur tubuhnya lebab. Semburat darah segar muncrat dari hidungnya. Ujung bibirnya meninggalkan luka. Bundanya hanya diam saja. Semua terungkap dengan jelas. Ternyataan kecurigaannya benar. Dia bukan anak kandung dari kedua orang yang dianggapnya sebagai ayah dan bundanya.
Tangisnya semakin menjadi-jadi. Matanya nanar. Syawal tak lagi menghiraukan rembulan yang memang tak ingin bertemu dengannya. Kelam jatuh dari pucuk malam bersama dinginnya serta angin. Kuntum bunga menunduk melihat Syawal. Syawal berbalik arah masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah sorak ketawa ayah tirinya menjadi padam. Tenang.
Sebuah benda ditanamkannya di perut ayah tirinya.


Dunia Koma, September 2011
Penulis mahasiswi PBSID UMN Al-washliyah semester 3. Selain itu, juga bergiat di Koma.


Cerpen perdana yang dimuat di Medan Bisnis, 9 Oktober 2011
www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/10/.../r_em_b_u_l_a_n/

           



           









             

           








Cerpen dan puisi Perdanaku Termaktub Dalam Antologi Ma Hyang dan Antologi Cahaya





Senyum Merekah di Ujung Perjuangan




Berangkat dari mimpi aku melangkah dengan mantap. Walau tetes air mata tak kering mengiringi tiap denyut langkah. Halangan dan Ujian begitu gagah berdiri di depan. Namun aku yakin akan berbuah manis. Sungguh, betapa perjalanan ini sangat indah kawan. Syukur kudaratkan kepada Sang Mahacinta, cerpenku yang berjudul "Kunang Kunang" termaktub dalam antologi Ma Hyang dan lima puisiku juga termaktub dalam antologi Cahaya yang berjudul "Nasihat Untuk Pemimpin, Senja, Harapan, Aku Adalah Aku dan Doa Untuk Bunda.