Minggu, 31 Agustus 2014

Keping-keping yang Terserak


Puisi Perdana Termaktub dalam buku antologi Cahaya dan cerpen dalam buku antologi Ma Hyang (2010)






aih, jadi bingung mau nulis apa... niatnya hanya ingin mengumpulkannya saja. Ya, seperti rekam perjalanan gitu. dari 2010 sampai sekarang... dan kubahagia ternyata sampai detik ini ku masih menulis dan berkarya. jujur, setiap buku yang ditulis keroyoan ini masing-masing memiliki kenangan dan cerita tersendiri, yang pasti tersimpan rapi... yeaaaa.

It’s Okay That’s Love; Perpaduan Apik Dunia Psikolog dan Dunia Kepenulisan






Drama ini ditulis oleh Noh Hee Kyung sebanyak 16 episode bergenre romcom (romantic-comedi). Saat ini telah tayang sampai episode 12. Awalnya, saya kira drama ini memunyai alur cerita yang cukup berat dan membuat saya tidak melirik sedikit pun. Namun pernyataan Noh Hee Kyung yang melatarbelakangi drama ini sedikit menggelitik. “Aku ingin mematahkan anggapan umum mengenai orang-orang yang seringkali kita sebut “terbelakang” dan “aneh”… kurasa sebutan itu adalah bentuk lain dari kekerasan. Sekitar 80% dari seluruh negeri ini memiliki beberapa gejala sakit jiwa, dan sekitar 20 % sebaiknya memikirkan untuk menjalani pengobatan. Hal itu menjadi perhatianku saat orang-orang sepertinya menyamakan orang sakit jiwa dengan penjahat.” (kutipan diambil dari blog mbak Fanny di Kdramatized).  
Eee… ternyata alurnya sangat ringan dan konflik-konflik yang diangkat dalam drama ini sangat dekat dengan kehidupan kita atau malah pernah menjadi konflik kita. Ya, saat ini orang-orang begitu peduli dengan luka kecil di tubuhnya dan mengabaikan luka jiwa yang menyakitkan. Di luar terlihat baik-baik saja, tapi belum tentu di dalamnya kan? Ada orang yang menyebarkan senyuman, tapi menyimpan kepahitan yang mendalam di jiwanya.  Benarkah orang yang terlihat normal justru tidak normal? orang yang memiliki ketidaknormalan justru mereka-lah yang normal? Hmmm…
Bintang utama drama ini Jo In Sung yang memerankan karakter Jang Jae Yeol seorang penulis yang sukses dan Dj tampan di sebuah radio. Menderita penyakit OCD (Obsessive Compulsive Disorder) dan Gong Hyo Jin sebagai Ji Hae Soo seorang psikiater cantik yang mudah marah tapi lembut, pekerja keras, menjadi psikiater untuk menghindari melakukan operasi. Mengalami trauma terhadap pria dan tidak ingin menikah. Ini drama perdana saya melihat Jo In Sung. Sedangkan Gong Hyo Jin tidak diragukan lagi dech kualitas aktingnya mulai dari Romance In Pasta, Best Love, The Master Sun yeaaaa… Nampak kali ya saya penggemar Gong Hyo Jin si ratu drama romcom. Tidak juga, itu karena dramanya memang  memiliki cerita bagus dan diperankan oleh aktris yang bagus pula.
Cerita ini dibuka dengan adegan Jang Jae Beom (kakak Jang Jae Yeol) yang bebas dari penjara. Jang Jae Beom langsung menemui adiknya yang tengah merayakan ulang tahunnya di klub. Ia langsung menusuk adiknya dengan garpu. Jang Jae Yeol pun terkapar, sebelum ia kehilangan kesadaran, ia melihat seorang anak SMA menghampirinya dan mengaku sebagai fansnya. Anak SMA itu bernama Han Kang Woo. Akhirnya sang kakak dijatuhkan hukum kurungan penjara 30 bulan. Waktu pun berlalu, 26 bulan kemudian. Jang Jae Yeol terkenal sebagai penulis misteri dan thriller. Padahal dulu ia penulis novel romantis. Bahkan Ji Hae Soo penikmat novelnya. Namun sekarang, Ji Hae Soo beragapan Jang Jae Yeol sakit jiwa karena menuliskan kekerasan dengan sadis dalam novelnya.
Pertemuan pertama penulis kita dan psikiater kita di acara talk show yang membicarakan tentang pikiran para kriminal yang tidak normal hingga merembet ke profesi masing-masing. Perdebatan sengit pun tercipta. Masing-masing mempertahankan harga diri sebagai psikiater dan penulis. Jang Jae Yeol berhasil mengalahkan psikiater kita. *Hmmm… bener seorang penulis memang orang yang cerdas lo….lo….. kok jadi ngemuji diri sendiri… enggak kok saya cuman suka menulis* Ji Hae Soo memberi tantangan untuk memilih dua kertas yang bertuliskan “kau akan mati” “kau akan hidup” untuk Jang Jae Yeol.
Jang Jae Yeol semakin penasaran dengan kepribadian Ji Hae Soo. Wanita yang kasar tapi sangat lembut menghadapi pasiennya, wanita yang mudah marah tapi ramah terhadap pasien dan orang-orang sekelilingnya. Wanita yang cuek pada dirinya sendiri  tapi peduli terhadap orang lain.
Alangkah senangnya Jae Yeol mengetahui Hae Soo juga tinggal di rumah Hongdae. Ia pun langsung setuju dengan Tae Young (temanya) untuk tinggal di sana. “Apa akan ada novel baru?” tanya Tae Young. “Entah artinya novel baru atau bertemu dengan wanita yang baru, aku belum tahu. Apa pun artinya aku tiba-tiba merasa semangat” ujar Jae Yeoul. Dimulailah segala hal yang “menganehkan” di dalam rumah itu. Dua psikiater, satu penderita sindrom tourette (prilaku tak terkendali, muncul dengan kejang tanpa alasan dan berbicara cepat dan rentan terhadap stress), dan seorang lagi si penulis misteri tinggal serumah. Apa jadinya ya??
Jo Dong Min orang yang paling dituakan di rumah itu berprofesi sebagai psikiater, senior Ji Hae Soo. Soo Kwang yang menderita sindrom tourrette yang kapan saja bisa kambuh serta psikiater cantik kita dan penulis tampan kita. Dalam rumah tersebut mereka hidup tanpa aturan yang membuat Jang Jae Yeol sedikit risih. Selain terobsesi terhadap  warna tertentu, Jae Yeol memiliki kelainan yaitu, ia tidur di kamar mandi, bathtub disulam sebagai tempat tidur. Jae Yeol membuat aturan di dalam rumah itu, jika orang masuk ke kamarnya maka ia akan masuk ke kamar orang tersebut, jika ia dicaci maka ia akan mencaci, jika ia dipuji maka dipuji ia akan memuji.
   Secara keseluruhan it’s okay that’s love bercerita tentang bagaimana cara mengobati luka jiwa yang dengan sengaja kita pendam. Membiarkan luka itu ternganga, menghindarinya, menutupinya dengan kecerian, seakan-akan kita bisa melewatinya begitu saja, berharap dapat sembuh dengan sendirinya. Lewat tokoh Ji Hae  Soo, Jo Dong Min dan Lee Young Jin (mantan istri Jo Dong Min) bagaimana dunia psikiater itu menerapi orang-orang memiliki luka di jiwanya. Mereka memperlakukan pasien mereka sebagai keluarga sendiri yang harus dirawat dengan penuh cinta dan kasih. Mulai dari penderita OCD, shizophernia, bipolar dan lain-lain. Jae Yeol yang baginya menulis adalah segalanya, hingga membuat waktu kerja yang tidak displin. Karya yang diplagiat, dikhianati pacar dan teman. Dikenal sebagai playboy. Bahkan Hae Soo menuding kerjaan menulis itu sangat kejam karena membuat Jae Yeol melupakan makan dan istrirahat. *heee… sebenarnya saya juga kalau sudah menulis pasti lupa segalanya tapi saya tidak setuju dengan pendapat Hae Soo itu ya… menulis juga terapi jiwa lo.. ayo, siapa yang setuju ngacung tangan!
Episode demi episode mulai terungkap sedikit demi sedikit rahasia yang disimpan tokoh-tokoh dalam drama ini. Ji Hae Soo yang telah dapat mengatasi kegelisahannya dengan bantuan Jang Jae Yeol, bahkan mereka menjadi sepasang kekasih (meski suka berantem-baikkan lagi – berantem-baikkan lagi). Jo Dong Min yang keren karena mampu mempertahankan hubungan terseksinya dengan mantan istri sebagai sahabat, penyebab mereka bercerai, Lee Kwang Soo yang dapat mengatasi sindrom tourette-nya, masa lalu Jang Jae Yeol bersama kakanya dan ibunya yang cukup mengejutkan. Dan yang lebih mengejutkan lagi di episode 12 terungkap bahwa Han Kang Woo jelas-jelas hanya tokoh imajinasi Jang Jae Yeol (meski uda ketabak sebelumnya sih). Jang Jae Yeol yang ternyata mengidap penyakit psychosis (penyakit jiwa yang cukup parah). Saya setuju dengan pendapat mbak Fanny yang mengatakan hubungan Jae Yeol dan Hae Soo seperti bom yang siap meledak kapan saja. Kali ini yang menjadi halangan hubungan mereka bukanlah calon ibu mertua masing-masing tidak menyetujui (seperti kebanyakan drama-drama lain), melainkan datang dari diri mereka berdua. apakah Hae Soo bisa menerima kenyataan Jang Jae Yeol mengidap penyakit psychosis? Apa Jang Jae Yeol dapat disembuhkan? 


Masih ada empat episode lagi, semoga saja berakhir dengan senyuman seperti poster-poster drama ini yang penuh dengan kecerian. Oya bagi yang ingin mengetahui cerita selengkapnya dapat bertandang ke blog mbak Fanny di Kdramatized dan blog mbak Mumu di Berbagi Sinopsis.




Bintang di Surga



Angin berbisik dengan gemerisik. Malam kian temaram. Mengalun kesunyian tanpa tempo. Hanya suara detik jarum jam yang berkicau. Semuanya terhempas dan terlepas. Hari-hari terkepung awan hitam.   
Wajah sendu itu masih meringkuk pilu. Derai airmata sudah mengering. Namun, tetap saja masih ada duka yang melumat relung. Kini ia merasa sendiri. Seperti malam yang tinggali keramaian. Seketika semua berubah hanya dalam hitungan detik.
Dari balik jendela, ia menatap nanar langit yang basah. Kegelisahan hati kian menyatu di antara sisa rinai hujan. Dari tadi ia tak mampu menyelesaikan pekerjaannya. Kali ini, tidak seperti biasa, jemarinya kaku menari di atas keyboard laptop merah maron. Kata-kata yang sudah diketik terasa tak selaras dengan hati, lantas dihapus. Sehingga, satu huruf pun tak menghiasi layar laptop-nya. Padahal, artikel berita itu harus siap untuk dicetak esok pagi.
Bintang-gemintang pun tidak kunjung berkerlap-kerlip menyambutnya. Perempuan itu ingin membagi cerita kepada bintang yang bersinar seperti sayap bidadari. Seolah-olah ia ingin mengadu kepada ibunya, bersekutu dengan peraduaan malam.
Benarkah, bahwa orang yang sudah meninggal itu, sesungguhnya tak pernah meninggali kita? Mereka justru berada sangat dekat. Dan apakah, mereka menjelma menjadi bintang yang acapkali muncul saat langit menjadi gelap, yang hanya menyisakan semburat cahaya remang untuk menerangi malam.  
Ah, ingin sekali ia memercayai cerita itu, berharap menemukan wajah ibunya di antara ribuan bintang yang menghiasi langit. Dulu, sang ibu sangat suka bercerita tentang bintang yang tidak akan pernah membiarkan hidup dikuasai kegelapan. Tapi, ia lebih suka bila perempuan yang masih terlihat cantik di usia berkepala tiga itu, bercerita tentang hal yang lebih serius, daripada dongeng-dongeng yang meninabobokkannya setiap malam.  
Sungguh, ia sama sekali tidak menyukai malam. Baginya malam hanyalah berupa gelap yang menyesakkan, sekaligus nyanyian sunyi yang paling membunuh. Gelap kerapkali menyelimuti bulir airmata, dan menjadi tempat persembunyian sang ibu yang meringkuk pilu. Ia sering menemukan ibunya menangis, tersedu di pucuk malam saat ribuan bintang berseri-seri di langit.
“Jangan takut pada gelap, Ra,” ucap ibunya sembari membelai kepalanya.
“Akira enggak takut, Bu tapi cuman enggak suka aja,”  bantahnya.
“Kau tahu, Ra. Dalam kegelapan kita bisa bertemu dengan orang-orang yang kita rindukan. Kau tahu kenapa, karena pada malam hari, kita baru bisa melihat bintang di langit yang pekat.” tutur ibunya. Saat itu, mata ibunya tampak berpijar seakan-akan ada cahaya yang besinar dari sorot matanya. “Lihat itu! Ada bintang yan bermain mata padamu, Akira,” seru ibunya yang menunjukkan salah satu bintang di langit.
“Masak sih, Bu?” tanyanya polos.
“Ya, coba lihat itu.”
 “Bu, apa Akira bisa ketemu sama ayah, tiap ngelihat bintang?”
Ibunya tak menjawab. Hanya tersenyum manis menatap wajah Akira. Selalu besikap seperti itu, setiap kali ia menyinggung prihal ayahnya. Tak ada jawaban yang dituai. Sang ibu sama sekali tidak pernah bercerita tentang ayahnya. Bahkan, Akira ingin tahu bagaimana rasanya dimarahi oleh seorang ayah, apa lebih galak dari ibunya.
“Tapi, kenapa bintang enggak ada di siang hari, Bu,” celetuk Akira memecahkan hening malam.
“Karena siang hari, mereka harus pulang ke rumahnya, ke surga,” jawab  ibunya.
“Hah, bintang tinggalnya di surga?” seru Akira dengan dahi yang berkerut. Ibunya hanya mengangguk tersenyum pada putri kecil yang centil itu.
***
Alunan nada instrumental Bintang di Surga milik Peterpan mengalir menembus sunyi. Mengiringi hati yang sembab. Suara perpaduan gesekan biola dengan piano mengalun melankolis. Dentum-dentum melodi terbungkus emosi yang tertahan. Lantas, mencuat sebuah kekuatan. Ya, keberanian untuk melerai tanya satu per satu dan tegar berdiri seperti karang yang dihempas pecahan ombak.
Akira menarik napas dalam-dalam, seolah-olah ingin melepaskan beban yang menyumbat pikiran dan hati. Ia menyeruput segelas susu coklat –minuman yang dulu selalu disiapkan ibunya, setiap dirinya ingin berbulan madu dengan malam. Namun, sekarang ia tidak dapat lagi mengecap rasa yang sama. Dan itulah yang paling dirindukannya, susu coklat hangat buatan sang ibu
Masih lekat diingatannya, bagaimana ia menjerit menyambut tubuh kaku ibunya. Saat itu, embun bergelayut malas di ujung dedaunan, sepotong kejadian membenamkan jiwanya di negeri antah. Sontak, menjadikan pagi berwarna merah. sejuk berganti luka. Tubuh ibunya roboh ibarat rumah yang tidak memunyai pondasi kuat. Terkapar memeluk aspal, tepat di depan kedua mata bening itu. Segenap alam menjadi bisu.
Angin berhenti berhembus. Senyuman matahari meredup. Orang-orang terpaku seperti pajangan patung di toko baju. Desing peluru melesat sukses menerobos dada sebelah kanannya. “Ibu!” teriaknya. Akira menangis sejadi-jadinya. Ia berlari. Lantas, mendekap erat tubuh ibunya yang berbanjir darah. Padahal ibunya baru saja menciumi pipi kiri-kanannya, sebelum berangkat kerja.
Ya, Akira memang mematuhi nasihat ibunya, untuk tidak seperti ibunya yang terkenal sebagai jaksa teguh. “Ra, jangan sekali-kali pun kau ingin jadi jaksa. Karena terlalu banyak musuh di sekitarmu nantinya. Kau dengar itu, Ra.” Namun sayang, ada yang terlupakan ibunya, agar jangan pernah sekali-sekali mendekati dunia itu. Apa boleh buat. Toh, sekarang Akira tercatat sebagai salah satu wartawan media cetak yang kerapkali meliput berita tentang dunia politik yang jelas mengundang banyak musuh.
Kemaren sore menjadi titik terang baginya, Akira dipertemukan dengan kenyataan, bahwa sang ayah-lah dibalik penembakan ibunya. Seorang narasumber menceritakan detail peristiwa itu dan tindakkan yang merugikan negara. Narasumber tersebut termasuk orang yang sangat dekat dengan ayahnya. Dulu, dia adalah mantan asisten ayahnya, kini masih terlibat dalam kepengurusan kenegaraan.
Bukti-bukti pun telah cukup kuat menerangi semua tanya. Tentang mengapa ayahnya harus melakukan perbuatan itu, termasuk mengapa ayahnya harus pergi meninggalkan ibunya. Bahkan,  sebelum ia terlahir ke dunia.
Lantas, apakah ia langsung membenci orang yang paling dirindukannya? Haruskah ia memaki kenyataan? Tentu ya. Akira benar-benar membenci ayahnya, mengutuk kenyataan yang tidak berpihak padanya. Tapi, itu hanya sesaat. Bagaimana pun lelaki itu tetaplah ayahnya. Lihatlah, kini Akira tertimang dalam kegalauan.
Ia bingung harus melakukan apa, mengungkapkan kenyataan kepada publik atau membiarkannya tetap tersembunyi. Apalagi kini, ayahnya menjadi orang nomor satu di negara ini. Jika ia tetap menuliskan berita itu, mungkin saja ia akan mengalami nasib yang serupa dengan ibunya. “Bu, benarkah orang yang sudah meninggal itu menjelma menjadi bintang?” tanyanya sendu. Aih, ternyata tidak setiap malam bintang menghiasi langit. Malam ini, Akira sangat berharap dapat bertemu dengan wanita yang dipanggilnya ibu. Ia ingin bertanya, seindah apa surga? Apa boleh dirinya ke sana, menjadi bintang di surga.
Sayup angin berbisik lembut, menyampaikan sejuta harapan. Menepis segala rasa yang berkecamuk di hati. Akira kembali ke meja kerjanya, berkutat di depan layar laptop merah maron. Jemari lentiknya menari seirama alunan nada-nada instrumental lagu Bintang di Surga yang sedari tadi terus-menerus mengalun.
Dunia KOMA, Mei 2013
Ayu Sundari Lestari, lahir 21 Agustus 1991 di Medan. Bergiat di Komunitas Membaca dan Berkarya (KOMA). Karyanya diterbitkan di beberapa media massa.


  *Cerpen diterbitkan di Harian Medan Bisnis edisi 24 Agustus 2014







Kamis, 21 Agustus 2014

Goresan Hati


21.08
Inginku sederhana seperti gerimis yang diam-diam membasahi segalanya. Begitupun dengan harapan, doa, cinta dan cita-cita yang tiada henti mengaliri ruang hati, terwujud di hari-hariku. Terimakasih Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat, ibu wanita yang paling mencintaiku dan orang yang paling kucintai, serta sahabat-sahabat terkasih maupun orang-orang yang mengenaliku. Terimakasih atas segala doanya.

Senja Tepian Han



Aku ingin mendengar senandungmu, menelusuri tiap lekuk lirikmu. Karena aku sudah lupa bagaimana caranya tuk bercerita dan tertawa. Aku ingin dapat kembali bercerita meski dengan cerita yang tak lagi sama.
Aku duduk di tepian sungai yang paling romantis di kota Seoul saat langit berwarna kemerah-merahan, Han River. Tak banyak yang berubah, meski waktu telah merambat tua. Kenangan itu masih saja tersimpan rapi. Begitu basah diingatan. Sangat manis dikenang. Beriak di dalam ombak, yang menegaskan kenangan itu jelas menyata.
Outlook Cafe Gureum, tempat biasa kita menyambut malam di Seoul tetaplah sama. Aku masih bisa melihat pertunjukan air mancur berwarna-warni seperti pelangi pada sisi jembatan Banpo, sambil menikmati secangkir kopi yang hangat.
Sepanjang aku berjalan menyusuri tiap sudut Seoul, jejak halaman kenangan itu terbuka dengan sendirinya. Saat kita sedang bergandengan menyusuri pasar Myun-Dong Street dengan membawa banyak belanjaan, berjalan-jalan di Cheonggyecheon Stream Park dan menjelajahi tiap sudut City Hall sambil menikmati berbagai permainan yang disediakan. Ya, kita paling suka bermain ski, bersatu dengan dinginnya salju. Membeku dalam keceriaan. Meluncur di atas salju dengan papan board.
             Seoul benar-benar sangat memukau. Di tengah-tengah kotanya terdapat sungai buatan yang airnya bersih dan jernih. Katamu, dulunya di sini adalah jalan raya. Setiap sore, banyak anak-anak yang bermain di sini. Ah, tempat ini seperti taman kota yang sengaja disediakan oleh pemerintah. Wah, hebat benar ya. Kita masih saja terus berjalan di taman ini. Dan kamu masih terus bercerita segalanya tentang Seoul.
“Nah, kalau Jakarta itu gimana, Ra?” tanyamu setelah lelah berceloteh dari tadi. Akhirnya, kau melempar pertanyaan juga.
            “Lo, kamu belum pernah ke sana, Ren?” tanyaku sembari melangkah menuju arah tepi sungai. Lantas, melepaskan sandal dan duduk menjulurkan kaki ke dalamnya. Hmmm…rasanya sejuk sekali. Kau hanya tersenyum geleng-geleng melihat tingkahku yang aneh. Tanpa intruksi, kau pun  langsung mengikuti arahku dengan berjalan santai.
            “Sampai sekarang belum, “jawabmu pendek sambil duduk di sebelahku.
 Nada bicara yang terdengar seperti orang frustasi itu, menandakan kalau kau begitu ingin ke Indonesia. Ingin melihat bagaimana rupa kampung halamanmu. Selama ini, hanya menganggapnya sebagai negeri dongeng yang kerapkali diceritakan ibumu, setiap kau ingin terlelap memeluk malam.
            “Masak sih, enggak ada saudara. Kan kamu lahir di Indonesia?” Aku sengaja menggodamu. Kamu tersenyum kecut.
            “Aku memang lahir di sana, tapi aku tinggal di sini sejak usia empat tahun,” ucapmu dengan wajah yang lesu.
            Diam-diam aku menelisik panorama sungai Han dengan sungai-sungai yang ada di Jakarta. Apalagi yang kutemukan, selain kenyataan bahwa tiap tahunnya kotaku dilanda banjir. Tetapi, seindah dan memesona apa pun di sini, tetap saja lebih nyaman di kota sendiri. Lihatlah, pemuda di depanku ini, betapa penasaran ia. Bukan, bukan karena penasaran. Perasan itu adalah rindu, rindu pada tanah lahirnya. Dengan jailnya, aku menyiram air sungai ke wajahmu,
            “Hey!” teriakmu. Kau menatapku lekat. Sebelum kau membalas, aku telah berlari duluan. Maka terjadilah kejar-kejaran. Kupikir-pikir adegan ini seperti film India saja.          
***
            Kenangan itu terus memaksa jiwaku memasuki ruang lima tahun silam. N Seoul Tower –tempat yang paling berkesan bagiku setelah sungai Han. Betapa tidak? Di sanalah, aku mendengar satu kata yang membuat jantungku berdegup kencang bagai irama nada bertempo cepat. Kau meraih tanganku, menggenggamnya sangat erat.
“Saranghae,” ucapmu sendu. Ah, bahasa itu bagai angin yang semilir di hatiku. Sungguh, kau sukses membuatku mati kutu. Ya, bukan hanya itu saja, di sana juga tertinggal jejak nyata kita. Bukti bahwa lima tahun yang lalu, kita pernah mengikat hati. Masih ada terekat, sepasang gembok yang terkunci. Sangat kuat –tertulis nama kita berdua.
Aku terjaga dari lamunanku tentang kita. Sebuah suara membisik lembut di telinga. Suara yang sangat kurindukan. “Saranghae.” Saat kumenoleh, secangkir kopi hangat ada di hadapanku. Aromanya begitu wangi.
            “Kamu,” ujarku tersenyum teduh. 
“Ya, aku akan mengucapnya setiap hari untukmu, Ra.” Seperti biasa kamu tetap bersemangat. “Tak kusangka kau segitunya rindu padaku,” ucapmu menggoda.
“Setidaknya tak  sehebat rindumu kan?”
Sejenak terkurung senyap. Saling diam. Saling menelisik. Tapi, bergejolak seperti aliran sungai Han yang terus mengalir. Tatapan kita saling menatap tajam seakan terkanvas kerinduan yang mendalam. Hingga, seuntai kalimat memecah hening.
            “Lihat, keluarga kecilmu tampak sangat bahagia.” Tatapannya beralih memandang dua orang yang sedang asyik bermain air mancur.
            “Tapi aku merana.” Suaraku terdengar lirih.
            “Maaf karena aku memintamu menikahi dia.”
            “Dan itu sama saja kau membunuh dirimu sendiri kan?” ucapku ketus. Kau hanya tersenyum kecut. “Sekarang bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyaku.
            “Apa?”
            “Berikan waktumu.” Kamu tertegun. Terdiam. Mungkin kamu terkejut dengan permintaan konyol itu.
Ya, Sehari. Hanya sehari habiskan waktumu bersamaku. Ya?” Aku memasang wajah memelas.
“Haruskah aku membawa lari istri orang?” ucapmu pelan.
            Kamu menghela napas. Seakan melepaskan beban yang begitu berat. Entah apa yang bertualang di pikiranmu. Mungkinkah permintaan itu gila? Ya, aku memang sudah gila. Kenapa sampai detik ini pun aku tidak bisa melupakanmu?
Angin berhembus lembut. Riak sungai Han bergemuruh terus meronta dan meronta seperti hatiku. Tubuhmu tirus. Wajahmu pucat. Segala gelisah mengalir. Apakah penyakit yang bersarang dalam tubuhmu semakin parah? Kecemasan ini tiada hentinya menggelayut di hati. Tapi pernah kah kamu mencoba memahamiku? Apakah kamu pernah memikirkannya? Bagaimana aku menjalani hari-hari tanpamu?
Senja berganti malam. Terlihat muram. Kamu benar-benar berubah. Tapi tidak dengan tatapanmu. Tatapan teduh itu tetap berarah padaku, sama seperti dulu.
               Dunia KOMA, Maret-April 2013

*diterbitkan di Harian Medan Bisnis edisi  6 Juli 2014





Selayang Pandang I Hear Your Voice








Saat dirimu menjadi korban, kamu tidak boleh melakukan pembalasan terhadap orang yang telah memperlakukan dirimu dengan kejam, karena itu akan menghilangkan alasan mengapa kamu menjadi korban. Kamu akan sama seperti dia.

            10 tahun yang lalu, Jang Hye Sung remaja dituduh sebagai pelaku yang melukai mata anak majikannya –Seo Do Yeon- dengan kembang api. Jang Hye Sung tidak terima tuduhan tersebut karena memang bukan dia pelakunya. Akibatnya dirinya dan sang ibu angkat kaki dari rumah majikannya yang selama ini menanggung kebutuhan mereka sehari-hari, bahkan menyekolahkan Jang Hye Sung di sekolah yang sama dengan Seo Do Yeon. Jang Hye Sung pun terpaksa keluar dari sekolah.

            Demi membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, Jang Hye Sung menemui Seo Do Yeon dengan membawa kembang api yang dinyalakannya ke arah Seo Do Yeon.  Seo Do Yeon ketakutan dan menundukkan kepalan menghindari kembang api. “Benar jika kau melihatku melakukannya (mengarahkan kembang api ke Seo Do Yeon) seharusnya kau menghindari, “ujar Jang Hye Sung. 

            Tiba-tiba saat itu terjadi sebuah kecelakaan truk yang menabrak mobil. Sang supir truk yang bernama Min Joon Guk turun melihat kondisi penumpang mobil yang tidak lain adalah Park Soo Ha kecil dan ayahnya. Melihat bahwa korban kecelakaan itu masih hidup, Min Joon Guk mengambil besi panjang lalu menghantam kaca depan mobil dan memukul ayah Park Soo Ha. Sebelum Min Joon Guk memukul Park So Ha, Handphone Jang Hye Sung berbunyi. Min Joon Guk pun mengejar Jang Hye Sung dan Seo Do Yeon.

            Kasus kecelakaan tersebut di adili di pengadilan dengan hakim ayahnya Seo Do Yeon. Kecelakaan itu akan dianggap sebagai kecelakaan biasa bukan pembunuhan karena tidak memiliki bukti. Park Soo Ha meronta-ronta bahwa ayahnya dibunuh. Min Joon Guk menatap Park Soo Ha dan bicara dalam hati “Kutipan”. Park Soo Ha semakin meronta, ia memiliki kemampuan untuk membaca pikiran orang lewat tatapan mata. Saat itulah, masuklah Jang Hye Sung sebagai saksi mata. Ia menunjukan handphone yang merekam kejadian Min Joon Guk memukul ayahnya. Seketika Min Joon Guk menyerang Jang Hye Sung sambil berteriak.    
   
                Sebenarnya, Jang Hye Sung pun mati ketakutan, tapi karena gengsi dengan Seo Do Yeon yang mau menjadi saksi, maka Jang Hye Sung pun bersedia menjadi saksi. Namun ternyata Seo Do Yeon tidaklah seberani Jang Hye Sung, ia melarikan diri dari pengadilan. 

            Kini Jang Hye Sung menjadi pengacara yang terkenal sebagai pengacara 30 detik. Pembelaannya terhadap klien selalu menggunakan kata-kata yang sama hanya berbeda nama dan latar belakang kliennya saja. Hingga akhrinya ia mengikuti tes untuk menjadi pengacara umum (kalo di Indonesia mungkin bias dibilang pegawai negeri yang digaji oleh pemerintah) dengan alasan memiliki gaji yang tinggi. Ia diterima  bersama pengacara Cha Kwan Woo (yang kita panggil pengacara Cha, sedangkan Jang Hye Sung pengacara Jang). Keduanya memiliki sikap yang bertolak belakang, pengacara Cha sangat percaya dengan kliennya, sedangkan pengacara Jung sangat apatis terhadap kliennya. Ia akan memutuskan vonis bersalah dan mengurangi hukuman kliennya tanpa mendengar pembelaan kliennya.  

            Kebetulan klien pertama pengacara Jang teman sekolah Park So Ha. Ya, kini Park Soo Ha menjadi siswa SMA. Ia terus mencari keberadaan pengacara Jang karena 10 tahun yang lalu ia berjanji untuk melindungi Jang Hye Sung dari Min Joon Guk. Dan Jang Hye Sung pun adalah cinta pertama Park Soo Ha. Sayangnya, Jang Hye Sung tidak mengingat Park So Ha.
            Secara keseluruhan drama I Hear Your Voice sangat bagus meski memliki beberapa kekurangan. I Hear Your Voice diwarnai oleh karakter-karakter tokohnya yang unik. Jang Hye Sung seorang  pengacara wanita yang memiliki watak berani, percaya diri, hidupnya santai, centil, cuek, jorok, berantakan. Sikap inilah yang membuat segala khayalan Park Soo Ha tentang Jang Hye Sung sebagai wanita yang sempurna tanpa cela buyar. Sedandkan Park Soo Ha seorang remaja yang rapi, bersih, pintar dalam segala hal termasuk memasak, orang yang selalu menempati janjinya dan tentunya jiwa pelindung ya… 

Seperti biasa drama korea selalu membuat penasaran penontonnya di setiap alur cerita, Begitu juga dengan drama I Hear Your Voice yang bergenre….. selalu ada tanda Tanya di akhir episode. Akan kah Park So Ha dapat melindungi Jang Hye Sung? Akankah Park Soo Ha dapat mengendalikan emosinya menghadapi Min Joon Guk mengingat Min Joon Guk kerap memancing emosi Park Soo Ha? Akankah Park Soo Ha tetap menjadi korban bukan pembunuh? Dan dapatkah Park Soo Ha memenangkan hati Jang Hye Sung mengingat jarak usia meraka yang cukup jauh, apalagi Park So Ha memiliki rival pengacara Cha yang jelas jauh lebih dewasa dari dirinya?   


 


Menyusuri Aliran Romantika Sungai Kapuas





Novel ini bercerita tentang kehidupan pemuda sederhana, bernama Borni yang tertinggal di tepi sungai Kapuas. Borno kecil termasuk anak yang kritis. Rasa ingin tahunya sangat besar. Beruntunglah ada tokoh Pak Tua yang bisa menjawab semua keingintahuannya.
            Cerita dimulai saat Borno kecil yang berusia 12 tahun, harus menerima kenyataan pahit bahwa sang ayah meninggal, ketika terjatuh dari perahu saat melaut dan tersengat ubur-ubur. Betapa mulianya hati beliau, karena mendonorkan jantungnya kepada pasien penderita gagal jantung sebelum meninggal. Bahkan, tidak meminta uang sepeser pun. Hebatnya, Borno mewarisi kebaikan dan ketulusan hati ayahnya.
            Setelah Borno lulus SMA, ia tidak melanjutkan kuliah karena tidak memiliki biaya. Jadilah  ia kesana-kemari mencari pekerjaan: menjadi pegawai di pabrik karet, (tetapi lama kemudian pabrik tersebut tutup karena bangkrut), bekerja di SPBU, bekerja sebagai penerima tiket di kapal feri. Namun, tidak ada satu pun pekerjaan yang bertahan. Kemudian takdir membawa Borno bekerja sebagai pengemudi sepit, yaitu: sebuah perahu kayu.
            Suatu hari ada sepucuk amplop merah alias angpau tertinggal di atas sepit Borno. Sepucuk angpau inilah yang membawanya bertemu dengan seorang gadis bernama Mei, Berawal dari sinilah, cerita romantika Borno dimulai.
            Sebenarnya, kisah cinta Borno di dalam novel ini, sangat sederhana. Tapi, siapapun yang membacanya pasti dapat merasakan perasaan yang benar-benar tulus adanya. Bayangkan saja, betapa lucunya kelakuan Borno. Setiap hari ia berusaha untuk mendapatkan anteran sepit nomor tiga belas, agar dapat menyeberangkan Mei dengan sepitnya.
            Dan yang lebih menggelikan lagi, mulanya Borno tidak tahu siapa nama Mei sebenarnya. Usahan Borno untuk mencari tahu nama Mei, dilakukannya dengan cara membuat lelucon tentang nama orang yang diberi dengan nama-nama bulan.
            “Namaku Mei, Abang.” Gadis itu beranjak berdiri. “ Meskipun itu nama bulan, kuharap Bang Borno tidak menertawakannya. Terima kasih buat tumpangannya.”
            Alamak! Betapa malangnya nasib Borno, tinggallah ia ternganga mendengar pernyataan gadis itu.
            Di dalam cerita cinta, pastilah ada suka dan dukanya. Begitu juga dengan kisah Borno. Mei tiba-tiba ingin menjauh darinya. Dan membuat hidup Borno menjadi resah. Ia sangat penasaran, mengapa Mei tiba-tiba bersikap demikian.
Akhirnya, setelah sekian lama Borno tertikam penasaran. Ia mendapatkan jawaban itu lewat sepucuk angpau merah yang dulu tertinggal di atas sepitnya. Angpau itu ternyata surat permohonan maaf Mei kepada Borno.

Novel ini dikemas dengan sangat apik oleh Tere Liye, dengan bahasa yang ringan sehingga kita tidak bosan membacanya. Inilah ciri khas dari Tere Liye, novel-novelnya selalu diceritakan dengan bahasa yang ringan dengan banyak pesan moral dan pengetahuan di dalamnya. Novel ini sangat bagus untuk dibaca oleh semua kalangan. Selamat Menyusuri romantika aliran sungai Kapuas!


Judul Buku      : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpao
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal               : 512 Halaman
Tahun terbit     : Januari 2012